Minggu, 18 November 2012

Perkawinana Campuran


A. Latar Belakang Penelitian
Manusia sebagai mahluk sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup. Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani.
Interaksi manusia dalam masyarakat melahirkan berbagai hubungan, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolektif. Salah satu hubungan manusia yang individual adalah hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam ikatan perkawinan.
Perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu : “Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan tersebut ada satu hal yang harus mendapatkan perhatian dan menjadi satu fenomena yang masih diperdebatkan yaitu tentang perkawinan beda kewarganegaraan. Undang-Undang Perkawinan secara eksplisit tidak mengatur tentang perkawinan beda kewarganegaraan, sedangkan pada kenyataannya sering terjadi sebagaimana yang terjadi pada beberapa artis di Indonesia.
Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 antara lain dijelaskan:
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Salah satu hal yang biasanya menjadi kendala bagi orang yang melaksanakan pernikahan beda kewarganegaraan, baik di dalam maupun di luar negeri, adalah mengenai perlindungan hukum apabila dalam perkawinan di Indonesia misalnya terjadi perceraian yang berimbas dalam hal pembagian harta, hak asuh anak dan sebagainya. Hal ini tentu saja menyulitkan lembaga perkawinan di Indonesia dalam proses penyelesaiannya karena mereka melangsungkan perkawinannya di luar negeri. Keadaan ini memberikan anggapan bahwa Undang-Undang Perkawinan dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap warganya yang melangsungkan pernikahan berbeda. Sehingga tidak adanya kepastian hukum, padahal mereka adalah warga negara yang mempunyai hak untuk dilindungi oleh hukum.
Mengingat hal di atas, maka akan lebih bijaksana apabila negara Indonesia berlandaskan Falsafah Pancasila melalui pemerintahannya bisa memberikan perlindungan dan tata cara pengaturan kepada orang yang akan melangsungkan perkawinan beda negara. Kiranya langkah ke arah itu tak akan mengurangi sikap negara dalam menghormati dan melindungi warga negaranya yang melangsungkah pernihakan dengan warga Negara lain sebagaimana pada Bab III Bagian Kedua Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu :
1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pengakuan serta pemberian perlindungan hukum kepada perkawinan beda kewarganegaraan sangat diperlukan untuk dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Perlindungan hukum disini ditujukan untuk menjamin rasa kepastian hukum terhadap mereka yang telah melaksanakan perkawinan beda kewarganegaraan tersebut sehingga mereka akan merasa tenang dan tentram dalam membina rumah tangga.
Berdasarkan data Lembaga Solidaritas Perempuan, ada dua masalah yang dihadapi perempuan Indonesia dalam masalah kawin campur. Pertama, tentang hak kewarganegaraan anaknya dan kedua perlunya kemudahan untuk mensponsori suaminya jika ingin tinggal di Indonesia. Soal kewarganegaraan anak, selama ini selalu ikut kepada sang bapak. “Harusnya anak bisa diberi peluang untuk memiliki kewarganegaraan ganda sampai umur 18 tahun sebelum akhirnya dia bisa memutuskan kewarganegaraannya,” katanya. Demikian pula menurut artis Maudy Koesnaedi. Di mata pemain sinetron yang bersuamikan pria asal Belanda, Eric Meijer, ini, salah satu masalah terbesar dari perkawinan campur adalah tak adanya wewenang seorang ibu atas hak kewarganegaraan anaknya.
Berdasarkan hal yang diuraikan di atas, penulis akan meneliti perlindungan hukum tentang perkawinan beda kewarganegaraan yang dituangkan dalam skripsi berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan WNI Akibat Perkawinan Campuran Menurut Pasal 26 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, penulis mengidentifikasikan beberapa hal yang akan diteliti sebagai berikut :
  1. Bagimanakah perlindungan hukum perempuan WNI Indonesia yang melangsungkan perkawinan campuran?
  2. Bagaimanakah kedudukan hukum perkawinan campuran menurut Pasal 26 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan?
  3. Masalah apakah yang timbul berkaitan dengan perempuan WNI yang melangsungkan perkawianan campuran?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
  1. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimanakah perlindungan hukum bagi warga Negara Indonesia yang melangsungkan perkawinan beda kewarganegaraan.
  2. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan uang jaminan dalam perkawinan beda kewarganegaraan.
  3. Untuk mengetahui masalah apakah yang timbul berkaitan dengan kedudukan uang jaminan dalam perkawinan perkawinan beda kewarganegaraan dan bagaimana penyelesaiannya.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi kepentingan ilmu hukum maupun kepentingan praktis sebagai berikut :
1. Kegunaan teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan secara khusus di bidang hukum perkawinan.
2. Kegunaan praktis.
a Sebagai bagian informasi bagi masyarakat mengenai ketentuan hukum dan masalah-masalah yang terkait dengan perkawinan beda kewarganegaraan yang dilangsungkan di dalam dan di luar negeri.
b Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dan lembaga legislatif dalam rangka penyempurnaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
E. Kerangka Pemikiran
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.2) Oleh karena itu, menurut pasal 28 E ayat (1) Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkan serta berhak kembali”.
Lebih lanjut ayat (2) menyatakan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”.
Landasan konstitusional ini menjadi dasar lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang merupakan salah satu pemenuhan tuntunan masyarakat Indonesia selama ini agar di dalam bidang kekeluargaan terdapat ketentuan hukum yang maju sesuai dengan suasana kemerdekaan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Diundangkannya Undang-Undang Perkawinan tersebut kemudian menjadi dasar kebijakan pemerintah dalam pembangunan hukum sebagaimana yang dirumuskan dalam GBHN tahun 1999-2004.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan suatu kebijakan legislatif untuk melakukan unifikasi hukum, karena seperti dikatakan Sardjono, bahwa Indonesia sudah lama bersatu dan keinginan memiliki suatu Undang-Undang Perkawinan Nasional yang mampu menampung aspirasi masyarakat tentang perkawinan yang dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, hasrat itu telah dipenuhi.3) Lebih lanjut Sardjono mengatakan bahwa :
“Terbentuknya Undang-Undang Perkawinan ini merupakan suatu sluitstuk yang berhasil dari suatu rentetan usaha-usaha kearah penyusunan perundang-undangan tentang perkawinan yang telah dilakukan bertahun-tahun oleh pembentuk undang-undang mulai pada sekitar tahun 1950-an”.
Hal itu membuktikan betapa besarnya minat yang dicurahkan secara nasional terhadap masalah perkawinan.4) Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 1974, adalah sebagai usaha pemerintah untuk melakukan pembenahan di bidang hukum perkawinan dan dengan demikian, menurut pasal Pasal 57 dan Pasal 58:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (Pasal 57)
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. (Pasal 58)
Dengan demikian maka Pasal 57 dan 58 tersebut menjelaskan tentang perkawinan campuran antara dua orang yang menikah di Indonesia agar tunduk kepada hukum yang berlainan, maksudnya hukum Indonesia dan hukum Negara yang bersangkutan yang melakukan perkawinan campuran tersebut.
Jika dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, dalam Bab III Bagian Kedua Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu :
1. Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
2. Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 10 tersebut dinyatakan bahwa perkawinan adalah merupakan salah satu bagian dari hak asasi yang dimiliki oleh manusia, perkawinan tidak dapat dipaksakan, hanya dapat berlangsung atas kehendak kedua calon mempelai dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini peraturan perundang-undangan hukum perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat). Pengertian negara hukum (rechtstaat) merupakan kebalikan dari pengertian negara kekuasaan (machstaat). Dasar yang mendukung keberadaan negara hukum adalah kebebasan rakyat, bukan kebebasan negara. Tujuan negara hukum adalah memelihara ketertiban umum dan menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.
Pemikiran negara hukum dapat ditelusuri dengan mengacu pada teori Trias Politika dari Montesquieu. Berdasarkan teori tersebut, ada yang berpendapat bahwa negara hukum adalah negara yang mengurangi hak-hak dasar warga negaranya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di lain pihak, ada yang berpendapat bahwa negara hukum adalah negara yang menjamin kebebasan pengadilan, yaitu kebebasan untuk melakukan kontrol sosial terhadap segala tindakan dari alat-alat kekuasaan negara.
Negara hukum adalah negara yang membatasi kekuasaan negara terhadap warganya dengan berlandaskan hukum. Tindakan negara terhadap warganya dibatasi oleh hukum (rule of law), sebagaimana dikemukakan Paul Scholten6) bahwa elemen utama suatu negara hukum adalah, adanya pembatasan kekuasaan yang berlandaskan hukum. Dengan demikian, pembatasan terhadap hak-hak individu hanya dapat dilakukan apabila diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan dan setiap tindakan negara harus selalu berdasarkan hukum.
Ciri negara hukum, antara lain dikemukakan dalam “Simposium tentang Indonesia adalah Negara Hukum” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 8 Mei 1966, yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, ekonomi, dan kebudayaan.
2. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
3. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.
Hukum mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Berkaitan dengan keberadaan hukum tersebut, Bagir Manan7) menyatakan bahwa tujuan hukum dapat sekaligus tampak dalam fungsi hukum, yaitu :
1. Menjamin keadilan.
2. Menjamin ketertiban dan ketenteraman (kedamaian).
Memudahkan hubungan antar anggota masyarakat.
Mendorong kemajuan atau perubahan.
Di lain pihak, Mochtar Kusumaatmadja 8)berpendapat bahwa salah satu fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya keteraturan dalam kehidupan manusia di dalam masyarakat. Selanjutnya dikatakan, tujuan hukum tidak dapat dipisahkan dari tujuan akhir hidup bermasyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan falsafah hidup yang menjadi dasar hidup masyarakat tersebut, yang pada akhirnya bermuara pada keadilan.
Undang-Undang Perkawinan diharapkan dapat mengakomodir tujuan-tujuan hukum sebagaimana dikemukakan di atas. Selain itu juga diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dalam konteks perkawinan dan akibat-akibatnya.
Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan mengatur pengertian perkawinan sebagai berikut :
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Selain pengertian perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan juga diatur mengenai keabsahan perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan sebagainya.
Berkaitan dengan hal tersebut, diatur pula mengenai Asas-asas hukum perkawinan, yaitu :9)
1. Asas Kesukarelaan
Merupakan asas terpenting Perkawinan Islam. Kesukarelaan itu tidak hanya harus terdapat antara kedua calon suami istri, tapi juga antara orang tua kedua belah pihak.
2. Asas Persetujuan
Kedua belah pihak merupakan konsekuensi logis asas pertama tadi, ini berarti bahwa tidak boleh ada paksaan dalam melangsungkan perkawinan.
3.

Asas Kebebasan Memilih Pasangan
4. Asas Kemitraan
Suami istri dengan tugas dan fungsi yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat asal, pembawaan). Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami istri dalam beberapa hal sama, dalam hal lain berbeda, suami menjadi kepala keluarga, istri menjadi kepala dan penanggung jawab pengaturan rumah tangga.
5. Asas untuk selama-lamanya
Menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup (Q.S. Al-Rum (30):(21)).
Adapun berkaitan dengan perkawinan beda kewarganegaraan yang terjadi di Indonesia, pemerintah melindungi warganya dengan mengharuskan pria asing menyimpan uang jaminan (deposit) kepada pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kasus seperti ditelantarkkannya perempuan setempat yang dinikahi warga Thailand yang bekerja sebagai pemborong jalan. Begitu kontraknya selesai, istrinya ditinggalkan begitu saja,
Kasus lainnya adalah Perempuan Indonesia yang menikah dengan pria asing kelimpungan ketika sang suami pulang ke negara asal bukan lagi cerita, status perkawinan tak jelas, kewarganegaraan anak jadi masalah. Keadaan demikian akan merepotkan bagi perempuan Indonesia. Apalagi jika selama ini ia hanya mengandalkan penghasilan sang suami. Begitu suami angkat kaki dari Indonesia, baik karena kontrak kerja habis atau cerai, beban isteri akan bertambah.
Dari kasus-kasus tersebut, Mahkamah Agung mengusulkan agar warga asing yang akan menikah dengan perempuan Indonesia harus menyimpan uang jaminan kepada pemerintah.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi yang meneliti hukum yang sifatnya deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan situasi/peristiwa yang sedang diteliti dan kemudian menganalisanya berdasarkan fakta-fakta berupa data sekunder yang diperoleh dan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu dengan berusaha mengkaji dan menguji data yang berkaitan dengan masalah perkawinan beda agama.
3. Tahap Penelitian
Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang dipergunakan maka penulis melakukan penelitian kepustakaan (Library research) yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-masalah yang akan diteliti seperti UUD 1945, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Peraturan tentang perkawinan perkawinan (GHR) staatsblad 158-1898, norma dasar pancasila, yurisprudensi.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Penulis akan meneliti buku-buku ilmiah hasil karya dikalangan hukum yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti, memahami bahan hukum primer adalah rancangan peraturan perundang-undangan,hasi-hasil penelitian, hasil-hasil karya ilmiah para sarjana.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya kamus bahasa hukum, ensiklopedi, majalah, media massa dan internet.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data diusahakan sebanyak mungkin data yang diperoleh atau dikumpulkan mengenai masalah-masalah yang berhubungan dengan masalah penelitian ini, disini penulis akan mempergunakan data primer dan sekunder.
5. Analisis Data
Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul akan dipergunakan metode analisis normatif kualitatif dengan menggunakan penafsiran gramatikal, sistematis dan outentik karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi yang bersifat ungkapan monografis dari responden.
6. Lokasi Penelitian
a UPT Perpustakaan Universitas Pasundan jl. Tamansari No. 6-8 Bandung.
b Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung, Jl. Lengkong Dalam No. 17 Bandung.
c Perpustakaan Universitas Padjadjaran Bandung, Jl. Imam Bonjol No. 37 Bandung.
d Pengadilan Agama Bandung, Jl. Pelajar Pejuang 45 No. 8 Bandung.
e Kantor Urusan Agama, Jl. Jatinangor No. 240 Kecamatan Rancaekek.
f Kantor Catatan Sipil, Jl. Ambon No. 1 B Bandung.

Daftar Pustaka : 
2) Lihat Pasal 29,Undang-Undang Dasar 1945
3) Sardjono dalam Ashim, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang N0.1 Tahun 1974, Dian Rakyat, Jakarta 1986, hml 6.
4) Ibid. hlm 7.
6) Paul Scholten dalam Ramdlon Naning, Cita dan Citra Hak_Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta : Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia-Program Penunjang Bantuan Hukum Indonesia, 1983, hlm. 26.
7) Bagir Manan, Hukum dan Asasi Manusia, Makalah pada ceramah di hadapan istri Perwira Soskoad, Bandung, 19 Mei 2000, hlm.2
8)Mochtar Kusumaatmadja dan B.Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum,Bandung: Alumni,
1999,hlm. 49 dan 52
9) Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hlm. 139.
TEMPO Edisi 051127-039/Hal. 104 Rubrik Hukum

 Browsing :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar