Minggu, 04 Agustus 2013

PEMAKAIAN HUKUM ASING DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL





PEMAKAIAN HUKUM ASING DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah:
Dosen Pengampu :
Oleh:
Rudi Hartono            :8111410174









FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG



BAB 1
PENDAHULUAN

1.             Pengertian Hukum Perdata Internasional
Untuk mengenal lebih jelas mengenai pengertian, ruang lingkup, subyek dan obyek Hukum Perdata Internasional (HPI), maka perlu diperhatikan beberapa definisi HPI menurut beberapa ahli hukum dibawah ini.
Istilah Hukum Perdata Internasional, dalam bahasa Belanda disebut “Internationaal Privaatrecht” dan dalam bahasa Inggris adalah “Private Internatonal Law” atau “Conflict of Law”. 
Menurut Graveson  dalam bukunya “Conflict of Laws - Private Internatonal Law”, Conflict of Law atau Hukum Perdata Internasonal adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta relevan yang berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek teritorialitas atau personalitas, dan karena itu, dapat menimbulkan masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum lain (biasanya hukum asing) untuk memutuskan perkara, atau menimbulkan masalah pelaksanaan yurisdiksi pengadilan sendiri atau pengadilan asing.
Van Brakel mendefinisikan Internationaal Privaatrecht (HPI) sebagai “hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan internasional”.
HPI adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan perdata antara subyek hukum dari berbagai negara.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, HPI ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan hukum perdata yang melintasi batas negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang ,masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan.
 Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong) menyebut HPI sebagai Hukum Antar Tata Hukum Ekstern. HPI bukanlah Hukum Internasional, tetapi hukum nasional. Selanjutnya dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional, mendefinisikan HPI adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan setesel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga (-warga) negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan setelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal”.
Schnitzer berpendapat bahwa, HPI bukan sumber hukumnya yang internasional, tetapi materinya yaitu hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya yang merupakan obyeknya-lah yang internasional.
Menurut Sunaryati Hartono, HPI mengatur setiap peritiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik peristiwa itu termasuk bidang hukum publik (seperti hukum tata usaha negara, hukum pajak, hukum pidana), maupun termasuk bidang hukum privat (seperti hukum perkawinan, hukum waris, dan hukum dagang).
HPI (Hukum Pergaulan Internasional) adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur transnasional (unsur-unsur ekstra-teritorial).
Dari pendapat beberapa ahli hukum perdata internasional tersebut, dapat disimpulkan bahwa, “HPI adalah segala peraturan atau norma hukum atau asas-asas hukum yang mengatur hubungan hukum antara  kepentingan perseorangan atau badan pribadi yang subyek/ obyek hukumnya atau sistem hukumnya  mengandung unsur asing”.

2.             Sumber Hukum Perdata Internasional
Sumber-sumber Hukum Perdata Internasional antara lain :
a.              Undang-undang;
b.             Traktat (Perjanjian);
c.              Asas-Asas Hukum Umum;
d.             Hukum Kebiasan;
e.              Yurisprudensi Nasional maupun Internasional;
f.              Doktrin Hukum (ajaran hukum umum).

3.             Materi Hukum Perdata Internasional
Muatan atau materi yang diatur dalam HPI adalah :
a.              HPI material (substantive),  memuat   :
1)            Hukum Pribadi;
2)            Hukum Harta Kekayaan;
3)            Hukum Keluarga;
4)            Hukum Waris.
b.             HPI Formal (ajektip) yang mengatur tentang :
1)            Klasifikasi;
2)            Persoalan preliminer, persoalan pendahuluan;
3)            Penyelundupan hukum;
4)            Pengakuan hak-hak yang telah diperoleh;
5)            Ketertiban Umum;
6)            Asas timbal balik;
7)            Penyesuaian;
8)            Pemakaian hukum asing;
9)            Renvoi;
10)        Pelaksanaan keputusan Hakim asing.

4.             Masalah-Masalah Pokok HPI
Masalah-masalah pokok HPI adalah :
a)             Hakim atau badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur asing. Dalam hal ini menurut Graveson, bahwa asas-asas HPI berusaha membentuk aturan-aturan yang digunakan antara lain untuk membenarkan pengadilan secara internasional memiliki yurisdiksi untuk mengadili perkara-perkara tertentu apapun (chois of yuridiction).
b)             Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan atau menyelesaikan persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur asing. Menurut Graveson, bahwa HPI tidak berusaha menentukan kaidah-kaidah hukum intern mana dari suatu sistem hukum yang akan digunakan hakim untuk memutus suatu perkara, melainkan hanya membantu menentukan sistem hukum yang seharusnya diberlakukan (the appropriate sistem).
c)             Bilamanakah suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan hakim asing dan atau mengakui hak-hak/kewajiban-kewajiban hukum yang terbit berdasakan hukum atau putusan hakim asing.
Masalah ini berkaitan erat dengan persoalan apakah suatu forum asing memiliki kewenangan yurisdiksional dalam memutus suatu perkara. Tidak perlu dipermasalahkan juga, apakah forum asing ini telah menerapkan sistem hukum atau aturan hukum yang tepat. Dalam hal ini, masalah-masalah pokok yang dijawab oleh HPI banyak berkaitan dengan dasar-dasar bagi pengadilan untuk mengakui atau menolak hukum asing/hak-hak asing di dalam yurisdiksinya.[10]

5.             Asas-asas Umum HPI Material
1.1         Hukum Pribadi (law of persons)
1.             Status Personal (personal status)
Status personal adalah keadaan suatu pribadi dalam hukum yang diberikan dan /diakui oleh Negara untuk melindungi masyarakat dan lembaga-lembaganya. Status personel meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan ketidak mampuan berbuat dalam bidang hukum. Status personel ini tidak dapat diubah oleh pemiliknya.
Status personel menentukan “hukum mana” di antara berbagai sistem hukum yang relevan mengenai status kewenangan (status personal) subyek-subyek hukum harus diatur.
Ada dua asas untuk menentukan status personal seseorang, yakni :
a.             Asas personalitas/kewarganegaraan (lex patriae), artinya untuk menentukan status personal suatu pribadi hukum adalah berdasarkan “hukum nasionalnya” (lex patriae). Asas ini diikuti oleh Negara-negara Eropa kontinental yang bersistem hukum sipil (civil law system);
b.             Asas territorial/Domisili (lex domicili), artinya status personal suatu pribadi (seseorang) berdasarkan “hukum” di negara mana ia berdomisili. Asas ini berlaku di negara-negara Anglo Saxon (Common law system).

2.             Kewarganegaraan (nationality)
Untuk menentukan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh asas-asas umum hukum internasional (convensi, kebiasaan, dan asas-asas umum) mengenai kewarganegaraan seseorang.
Ada dua asas utama dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, yakni :
a.              Asas tempat kelahiran (ius soli), yaitu kewarganegaraan seseoang ditentukan berdasakan  tempat kelahirannya;
b.             Asas keturunan (ius sanguinis), yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasarkan keturunannya.

3.             Domicilie.
Domisili adalah tempat seseorang menetap secara permanen yang menurut hukum dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang (center of his life). Berdasarkan asas domisili, status dan kewenangan personal seseorang berdasarkan hukum domisili (hukum tempat kediaman tetap) orang yang besangkutan.
Ada tiga macam konsep domisili, yaitu :
1)             Domicile of origin, yaitu tempat kediaman tetap seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Bagi anak sah, “domiscile of origin” adalah Negara dimana ayahnya berdomisili saat si anak lahir. Bagi anak tidak sah, domisili ibunya yang menjadi “domicile of origin” si anak.
2)             Domicile of dependence (by operation of the law), yaitu tempat kediaman tetap seseorang tergantung pada domisili orang lain. Anak yang belum dewasa mengikuti domisili ayahnya. Domisili isteri mengikuti domisili suaminya.
3)             Domicile of choice, yaitu tempat kediaman seseorang berdasarkan pilihannya atau atas kemauanya.
Dalam sistem hukum Inggris, untuk memperoleh “domisile of choice”,  harus dipenuhi 3 (tiga) syarat yaitu:
a.             mempunyai kemampuan bersikap atau bertindak dalam hukum (capacity);
b.             harus mempunyai tempat kediaman (residence) tertentu dalam kehidupan sehari-hari (habitual residence);
c.             mempunyai hasrat atau itikad (intention) untuk terus menetap di tempat yang baru.

4.             Badan Hukum (Corporations)
Pribadi hukum (corporations), adalah suatu badan yang mempunyai kekayaan yang terpisah dari anggotanya, dianggap sebagai subyek hukum karena mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai hak dan kewajiban atau tanggung jawab seperti halnya orang. Pribadi hukum (badan hukum) ini mempunyai pengurus dapat mengelola kekayaannya dan melakukan perbuatan hukum (perjanjian).
Ada 4 (empat) asas hukum untuk menentukan sistem hukum mana yang dapat digunakan untuk menetapkan atau mengatur status dan kewenangan yuridis badan hukum yang mengandung unsur hukum asing, yakni:
1)             Asas kewarganegaraan/domisili pemegang saham (lex patriae atau lex domicile);
2)             Asas centre of administration/(business) yang beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik suatu badan hukum mengikuti hukum dari tempat kegiatan administrasi/manajemen bisnis badan hukum tersebut;
3)             Asas place of incorporation, beranggapan bahwa status dan kewenangan badan hukum ditetapkan berdasarkan hukum dari tempat badan hukum secara resmi didirikan/dibentuk;
4)             Asas centre of exploitation atau centre of operations, artinya bahwa status dan kedudukan badan hukum diatur berdasarkan hukum dari tempat badan hukum itu memusatkan kegiatan operasional, eksploitasi, atau memproduksi barang.

1.2         Hukum Harta Kekayaan (law of property)
Hukum harta kekayaan (law of property), terdiri dari: pertama, kekayaan materiel, meliputi : (a) benda-benda tetap/benda tidak bergerak (immovables property), (b) benda-benda lepas/bergerak (movables property), kedua, kekayaan imaterial, dan ketiga, perikatan (obligations).
1.             Kekayaan Materiel
Ad.a.  Status benda tetap/benda tidak bergerak (immovables property)
Bahwa status benda tetap/tidak bergerak ditetapkan berdasarkan ”asas lex rei sitae/lex situs” atau hukum dari tempat letaknya benda tetap berada.
Ad.b.  Status benda lepas/bergerak (movables)
Untuk menentukan status hukum benda bergerak /lepas (movables) ditetapkan berdasarkan sebagai berikut:
a.         hukum dari tempat pemegang hak atas benda lepas/bergerak (bezitter/eigenaar) berkewarganegaraan (asas nasionalitas);
b.         hukum dari tempat pemegang hak atas benda berdomisili (asas domicile);
c.         hukum dari tempat benda diletakkan (lex situs/lex rae sitae).
 Untuk benda bergerak, sebelumnya berlaku asas “mobilia personam sequntuur” (benda mengikuti status orang yang menguasainya).
2.             Kekayaan Immateriel
2.a.    Status benda tidak berwujud
Status benda-benda tidak berwujud (surat-surat piutang (surat-surat berharga),  HAKI (merk, paten, hak cipta dsb) ditentukan berdasarkan:
a.              hukum dari tempat kreditur atau pemegang hak atas benda berkewarganegaraan atau berdomisili (asas lex patriae/atau lex domicili);
b.             hukum dari tempat benda-benda itu diakan gugatan (lex fori);
c.              hukum dari tempat pembuatan perjanjian hutang piutang (lex loci contractus);
d.             hukum yang sistem hukumnya dipilih oleh para pihak dalam perjanjian yang menyangkut benda-benda tidak berwujud (choisce of law);
e.              yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang menyangkut benda tersebut (the most substatantial connection);
f.              pihak yang prestasinya dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan  tampak paling khas dan karakteristik (the most characteristic connection).
2.b.    Hukum jaminan
Untuk hukum jaminan, status hukum yang berlaku adalah, sebagai berikut:
a.              hukum dari tempat si pemegang jaminan (kreditur) menjadi warganegara atau domisili (lex patriae atau lex domicile);
b.             hukum dari tempat yang memiliki kaitan yang paling substantial dengan perjanjian induknya, atau
c.              hukum yang dipilih oleh para pihak sebagai the applicable law dalam perjanjian induk, atau hal yang tidak ada pilihan hukum, hukum yang merupakan “the proper law of contract” dari perjanjian induk.

3.             Hukum Perikatan (obligation)
Hukum perikatan (obligation) meliputi : (a) Perjanjian (contracts); (b) Perbuatan melanggar hukum (torts).
3.a.    Perjanjian (contracts)
Perjanjian HPI adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih berisi janji-janji secara timbal balik yang diakui oleh hukum, atau pelakanaannya diakui sebagai kewajiban hukum dan mempunyai unsur asing.
Unsur asing yang dimaksud adalah subyeknya atau obyek yang diperjanjikan, atau sistem hukumnya.
Dalam Perjanjian (kontrak) perdata Internasional, kedua belah pihak berhak menentukan atau memilih sistem hukum tertentu yang menguasai atau sebagai dasar suatu perjanjian.
Pilihan hukum  harus dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian, termasuk klausula apabila terjadi sengketa di antara para pihak diselesaikan melalui lembaga peradilan ataukah lembaga arbitrase.
Pilihan hukum yang dimaksud tidak boleh bertentangan atau mengganggu ketertiban/kepentingan umum.
Apabila belum dilakukan pilihan hukum pada saat membuat perjanjian (kontrak), maka dapat menggunakan asas-asas yang berlaku dalam perjanjian HPI.
Asas-asas dan teori tentang penentuan hukum “the proper law contract, adalah sebagai berikut :
1.             Asas dai teori  lex loci contactus. Ini merupakan teori klasik yang berlandaskan “asas locus regit actum, Berdasarkan asas ini “the proper law of contract”,  hukum yang berlaku adalah  hukum  Negara/tempat;  kontrak/perjanjian dibuat.
2.             Asas lex loci solutionis, yaitu menggunakan hukum dari tempat/negara dilaksanakannya/ pelaksanaan suatu perjanjian;
3.             Asas kebebasan para pihak (party autonomy), artinya para pihak mengadakan kesepkatan untuk menentukan sistem hukum mana yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa mereka. Asas ini merupakan asas pilihan hukum dan berlaku adanya pembatasan-pembatasan, misalnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan asas-asas hukum umum  perjanjian.
Selain berdasarkan asas-asas tersebut, ada teori-teori untuk mengatasi kelemahan yang terdapat pada ketiga asas-asas tersebut. Teori yang dimaksud adalah :
1)            Teori Pengiriman (theory of expedition/mail box theory/post box theory). Dalam perjanjian HPI pada umumnya para pihak yang melakukan perjanjian tidak saling bertemu, perjanjian dilakukan dalam jarak jauh (melalui sarana electronic),  dalam hal ini hukum yang berlaku terhadap perjanjian demikian adalah “hukum dari Negara si penerima tawaran yang mengirimkan/ menyampaikan pernyataan penerimaannya”;
2)            Teori pernyataan (theory of declaration/theory of arrival). Menurut teori ini hukum yang berlaku adalah dari Negara/tempat”pernyataan penawaran diterima” (hukum dari Negara/tempat yang menawarkan).

3.b.    Perbuatan Melanggar Hukum (tort)
Ada tiga asas mengenai hukum yang dipergunakan dalam perbuatan melanggar hukum (tort), yaitu :
a)             Hukum dari tempat terjadi perbuatan melanggar hukum (lex loci delicti commissi);
b)            Hukum dari tempat dimana perbuatan melanggar hukum diadili (lex fori);
c)             Dipakai teori “the proper law of the tort” (lex propria delicti), yaitu digunakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling signifikan dengan rangkaian peristiwa/perbuatan dan situasi kasus yang dihadapi.
Asas atau teori “the proper law of the tort (Inggris) di Amerika Serikat dikenal dengan “The most significant relationship theory”.

1.3         Hukum Keluarga
1.             Perkawinan
Hukum yang dipergunakan untuk perkawinan HPI (yang ada unsur asing) adalah:
a.              hukum dari Negara/tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrations);
b.             hukum masing-masing pihak berwarga negara;
c.              hukum masing-masing pihak berdomisili.
Dari ketiga asas tersebut yang paling valid adalah “lex loci celebrationis” yakni hukum dari tempat pekawinan dilangsungkan.
2.             Hubungan orang tua dengan anak
Ada dua macam status anak, yakni:
1)             Anak sah, adalah anak yang lahir dari pekawinan kedua orang tuanya;
2)             Anak tidak sah, terdiri dari:
(a)     anak lahir dari hubungan incest;
(b)     anak yang lahir dari perzinahan;
(c)     anak yang lahir di luar nikah.
Anak incest dan anak zinah tidak dapat disahkan.
Anak luar nikah, dapat disahkan (tanpa perkawinan) asal diakui oleh ayahnya  dengan memakai hukum si ayah (asas lex patriae atau asas lex domicili si ayah). Dapat juga disyahkan dengan perkawinan kedua orang tuanya.
Hubungan hukum antara anak dengan ibu dipergunakan hukum si ibu bekewarganegaraan atau berdomisili (lex patriae atau lex domicile)
Hubungan antara anak dengan orang tuanya, hukum yang dipergunakan adalah:
a.              hukum domisili orang tua, waktu perkawinan dilangsungkan (common law);
b.             hukum nasional ayah pada saat perkawinan atau pengakuan (civil law);
c.              hukum nasional atau domisili anak (lex patriae atau lex domicile);
d.             hukum tempat diajukan pengesahan/pengakuan terhadap anak (lex fori).


3.             Adopsi
Untuk mengadopsi anak dari Negara asing, hukum yang dipakai adalah hukum kewarganegaraan si anak (adoptant) atau  hukum sang hakim (lex fori) dimana diajukannya adopsi.
4.             Perceraian dan akibat perceraian
Beberapa asas HPI, bahwa berakhirnya perkawinan karena perceraian dan akibat-akibat perceraian harus diselesaikan berdasarkan sistem hukum dari tempat:
a)             lex loci celebrationis;
b)             joint nationality (tepat suami-isteri menjadi warganegara);
c)             joint recident/lex domicile (tempat suami-isteri berkediaman/berdomisili setelah perkawinan);
d)            lex fori (tempat diajukannya gugatan).

1.4         Hukum Waris (successions)
Untuk menentukan hukum waris dalam HPI, ada beberapa asas yang digunakan antara lain adalah :
a)             lex situs, yaitu hukum dari Negara tempat benda tetap berada (terletak);
b)             berdasarkan kewarganegaraan si pewaris (asas lex patriae);
c)             hukum domisili si pewaris (lex domicile).
Dalam hal warisan dengan testamen (wasiat), untuk menentukan kecakapan pewaris (legal capacity) pembuat testamen dipergunakan asas:
a)             hukum tempat pewaris berdomisili (lex domicile), atau menjadi warganegara (lex patriae) saa testamen dibuat;
b)             hukum dari tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga Negara saat meninggal dunia;
c)             hukum dari tempat pembuatan testamen (lex loci actus).
Persyaratan formal untuk menentukan sahnya testamen yang esensi validitasnya (essential validity) adalah berdasarkan hukum kewarganegaraan atau domisili pewaris saat testamen dibuat (lex patriae atau lex domicili), atau hukum dari tempat pembuatan testamen (asas lex loci actus).
                    
2.             HPI Formal (Ajektif)
HPI Formal (Ajektif) meliputi :
a)             Kualifikasi
Kualifikasi adalah  tindakan “penerjemahan” fakta-fakta atau menata sekumpulan fakta yang dihadapi dan mendefinisikannya serta menempatkannya dalam kategori tertentu.
Macam-macam kualifikasi dalam HPI, yaitu : (a)  kualifikasi hukum (classification of law), yaitu penggolongan seluruh norma hukum ke dalam bagian-bagian hukum tertentu yang sebelumnya telah ditetapkan; (b) kualifikasi fakta (classification of facts), yaitu kualifikasi yang dilakukan terhadap fakta-fakta hukum untuk ditetapkan dan disimpulkan ke dalam satu atau lebih permasalahan hukum berdasarkan norma atau sistem hukum yang berlaku.
Ada 5 (lima) macam teori kualifikasi, yakni :
a.              kualifikasi lex fori, artinya kualifikasi yang didasarkan pada hukum sang hakim/ hukum dari pengadilan pemeriksa perkara (lex fori).
Kualifikasi lex fori ada  dua macam, yakni:
1)              kualifikasi primer, yaitu kualifikasi untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. Untuk menentukan hukum (asing) yang harus diberlakukan, dipergunakan kualifikasi menurut norma-norma hukum HPI lex fori;
2)              kualifikasi sekunder, yaitu bila sudah diketahui hukum asing yang harus diberlakukan, hukum inilah yang digunakan untuk melakukan klasifikasi selanjutnya dalam menyelesaikan kasus tersebut.
b.             kualifikasi lex causae, adalah hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan HPI adalah kesluruhan sistem hukum yang besangkutan dengan kasus;
c.              kualifikasi secara bertahap, artinya kualifikasi yang dilakukan dengan bantuan titik-titik taut dan secara bertahap berdasarkan lex fori lebih dahulu kemudian lex cause dan sebaliknya;
d.             kualifikasi analitis (otonom), artinya dengan menggunakan metoda perbandingan dan analytical jurisprudence, yaitu kualifikasi didasarkan pada pengertian umum HPI;
e.              kualifikasi HPI, yaitu bahwa setiap  kaidah HPI harus dianggap memiliki tujuan yang hendak dicapai, tujuan yang hendak dicapai harus didasarkan pada kepentingan HPI yang mencakup ( keadilan, kepastian hukum, ketertiban dan kelancaran) dalam pergaulan internasional.

b)             Persoalan Pendahuluan (Preleminer/incident question)
Bila dalam suatu persoalan pokok (main issue) yang diajukan kepada hakim telah dipastikan hukum yang akan dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan pokok, dan ternyata hukum asing, maka perlu diselidiki lebih dahulu mengenai sah tidaknya atau mengenai isi dari hubungan hukum lain (subsidiary question) yang erat dengan persoalan pokok tersebut.
Persoalan preliminer (pendahuluan) baru muncul apabila dipenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu:
1)             dalam peristiwa HPI yang bersangkutan  harus dipergunakan hukum asing;
2)             pemakaian HPI asing tersebut menghasilkan keputusan yang berbeda daripada norma-norma HPI sang hakim;
3)             norma-norma substantif/material dari kedua stelsel, juga harus berbeda.
Hukum yang dipergunaan untuk persoalan pendahulan (preliminer) adalah (lex fori, lex cause atau campuran), hal ini tergantung dari setiap kasus.

c)             Penyelundupan hukum (fraus legis/fraudulent creation of point of contant)
Penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang atau pihak-pihak yang mempergunakan berlakunya hukum asing dengan cara-cara yang tidak benar, dengan maksud untuk menghindari berlakunya hukum nasional.
Akibat penyelundupan hukum asing, adalah batal demi hukum.

d)             Pengakuan hak yang telah diperoleh, pelanjutan keadaan hukum ( vested right/ acquired right)
Artinya bahwa suatu hak yang telah diperoleh menurut ketentuan hukum asing, akan diakui dan dilaksanakan seperlunya dalam suatu Negara, sepanjang hak-hak itu tidak bertentangan dengan konsep “ketertiban umum” Negara yang bersangkutan. Dengan demikian perubahan fakta-fakta tidak akan mempengaruhi berlakunya suatu norma yang  semula telah dipakai.

e)             Ketertiban umum (Public Policy)
Ketertiban umum (Public policy) berfungsi sebaga pembatas atau pencegah berlakunya hukum asing yang menurut norma HPI Negara yang bersangkutan seharusnya dipergunakan. Bila pemakaian hukum asing ini berakibat akan dilanggarnya sendi-sendi asas hukum nasional, maka hakim dapat mengesampingkan pemakaian hukum asing.

f)              Asas timbal balik (reciprocity)
Asas timbal balik (reciprositas) merupakan pencerminan dari asas persamaan hak, persamaan penilaian, dan persamaan perlakuan yang berlaku dalam pergaulan internasional.
Asas timbal balik menjadi dasar suatu tindakan mengesampingkan berlakunya hukum asing yang menurut norma HPI si hakim sendiri seharusnya dipergunakan. Di kesampingkannya hukum asing  tersebut, adalah akibat sikap Negara asing yang mengesampingkan hukum nasional sang hakim yang seharusnya dipergunakan.
Penggunaan asas resiprositas dalam HPI boleh dilakukan karena hal tersebut merupakan keharusan. Asas ini boleh dilakukan kalau sikap Negara asing tersebut sangat merugikan Negara sang hakim sendiri.
Sikap Negara asing yang merugikan Negara sang hakim dapat bersifat melanggar hukum maupun tidak melanggar hukum.
Tindakan timbal balik balik digolongkan ada dua macam, yaitu timbal balik formal dan material.
Timbal balik formal adalah apabila orang asing di suatu Negara sendiri  mendapat perlakuan yang sama dengan warganegara sendiri apabila di Negara orang  asing tersebut, warga Negara sendiri diperlakukan sama dengan warga Negara dari Negara asing tersebut.
Timbal balik material, adalah apabila dalam peraturan perundang-undangan yang menentukan hak-hak yang diberikan kepada orang asing dalam suatu Negara, sama dengan hak-hak yang diperoleh warganegaranya Negara yang bersangkutan. Ini merupakan tindak lanjut dari kebijaksanaan suatu Negara yang berupa “national treatment”.

g)             Penyesuaian (Adaptation/Adjustment)
Penyesuain adalah suatu kegiatan meliputi suatu pengertian hukum asing ke dalam pengertian hukum//terminology hukum sendiri.
Penyesuaian itu meliputi (transposition, substitution, adaptation, dan berdasarkan suatu ketentuan/peraturan).
Transposition, adalah pemindahan (transfer) dari hubungan-hubungan hukum, perbuatan-perbuatan hukum atau pernyataan kehendak menurut suatu sistem hukum tertentu ke dalam pengertian-pengertian hukum lain.
Substitution, adalah pengertian hukum sendiri (intern) digantikan dengan  pengertian hukum asing yang sama nilainya. Dalam hal ini dilakukan perbandingan hukum.
Adaptation, adalah penghalusan hukum dengan mengkombinasikan pengertian-pengertian hukum yang saling berkaitan.
Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan  suatu ketentuan atau peraturan.

h)            Pemakaian Hukum Asing
Yang dimaksud pemakaian hukum asing tidak hanya hukum asing yang tertulis (perundang-undangan) saja, melainkan juga hukum tidak tertulis, yaitu hukum (kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin /pendapat para ahli hukum) dari Negara yang bersangkutan.
Pemakaian hukum asing pada HPI, dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.          hukum asing dianggap sebagai hukum (regulation);
2.          hukum asing dianggap sebagai fakta (regularity);
3.          hukum asing dianggap sebagai bagian hukum nasional (treaty/convention).

i)               Renvoi
Renvoi adalah penunjukkan hukum asing oleh hukum nasional (sendiri). Bila sistem HPI suatu Negara, menunjuk berlakunya suatu hukum asing, hal tersebut data diartikan bahwa yang dimaksud sebagai hukum asing adalah : (a) ketentuan hukum intern Negara yang bersangkutan yaitu “sachnormen” atau (b) seluruh sistem hukum Negara tersebut, termasuk norma HPI atau kollision normennya.
Di Jerman, penunjuk pertama disebut “sachnorm verweissung”, penunjukan kedua disebut “gesamt verweissung”.

j)               Pelaksanaan putusan Hakim asing
Bila seorang hakim nasional mengadili perkara suatu kasus (tantra/pidana/perdata) internasional, maka ia menyelenggarakan peradilan internasional (de doublement functionell) dan putusannya merupakan Hukum Internasional (konkrit), walaupun ia bukan Hakim Internasional dan lembaganya tetap Pengadilan Nasional.[14]
Permasalahannya, apakah hakim Negara lain mengakui dan melaksanakan putusan hakim asing yang bersifat (Hukum) Internasional?
Pengakuan, berarti bahwa pengadilan suatu Negara menyatakan menerima suatu putusan hakim asing tetapi tidak melaksanakannya.
Pelaksanaan, berarti bahwa pengadilan suatu Negara memberlakukan putusan hakim asing dan menyediakan segenap kemampuannya agar putusan tersebut mempunyai daya laku.[15]
Beberapa asas dasar pengakuan putusan hakim asing, yakni :
1.             Prinsip penghargaan. Hal ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan asas timbal balik (reciprocity), juga perwujudan saling pengertian dan persahabatan antar Negara untuk menghormati sistem hukum Negara lain dan hak-hak yang timbul daripadanya.
2.             Pengakuan terhadap hak-hak yang telah diperoleh. Hal ini berdasarkan pemikiran  hak para pihak yang diperoleh atau diakui oleh putusan hakim asing yang selayaknya dipertahankan pelaksanaannya di Negara lain.
3.             Teori kewajiban, bahwa putusan hakim asing wajib ditaati oleh para pihak, dan harus dilaksanakan dimanapun para pihak berada.
Putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan apabila :
1.             putusan diperoleh melalui kecurangan;
2.             putusan hakim asing bertentangan dengan ketertiban umum;
3.             putusan hakim asing bertentangan dengan prinsip keadilan;
4.             pengadilan asing tidak memiliki yurisdiksi terhadap kasus yang diperiksa.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar