Minggu, 18 November 2012

Apa itu hujan asam?



Istilah hujan asam pertama kali digunakan Robert Angus Smith pada tahun 1972. Ia menguraikan tentang keadaan di Manchester, sebuah kawasan industri di bagian utara Inggris. Hujan asam ini pada dasarnya merupakan bagian dari peristiwa terjadinya deposisi asam.
Deposisi asam terdiri dari dua jenis, yaitu deposisi kering dan deposisi basah. Deposisi kering ialah peristiwa kerkenanya benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap pabrik. Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber pencemaran.
Sedangkan deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asap di dalam udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air hujan yang turun bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui udara yang mengandung asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke bumi. Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber pencemaran. Hujan secara alami bersifat asam karena Karbondioksida (CO2) di udara yang larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan dan binatang. Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar pH 5,6. Apabila hujan terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas klorine yang bereaksi serta bercampur di atmosphere sehingga tingkat keasaman lebih rendah dari pH 5,6 disebut dengan hujan asam.
Pada dasarnya kejadian Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, Sulfur Dioxide (SO2) dan nitrogen oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui pembakaran. Akan tetapi sekitar 50% SO2 yang ada di atmosfer diseluruh dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan gunung berapi maupun kebakaran hutan secara alami. Sedangkan 50% lainnya berasal dari kegiatan manusia, misalnya akibat pembakaran (Bahan Bakar Fosil) BBF, peleburan logam dan pembangkit listrik. Minyak bumi mengandung belerang antara 0,1% sampai 3% dan batubara 0,4% sampai 5%. Waktu BBF di bakar, belerang tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas di udara. Oksida belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Soemarwoto O, 1992).
 
Lalu apa akibat dari Hujan Asam khususnya hewan dan tumbuhan?

Hujan asam yang larut bersama nutrisi didalam tanah akan menyapu kandungan tersebut sebelum diserap pohon untuk tumbuh. Kemudian, akan melepaskan zat kimia beracun seperti aluminium, yang menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran, terserang penyakit, kekeringan dan mati. Tidak hanya pepohonan (tumbuhan), hewan pun memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam. Jenis-jenis hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena sifat hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang ekstrim. Hewan lain pun akan terancam pula apabila kondisi hujan asam yang terus menerus mengakibatkan kematian tumbuhan dalam jumlah yang cukup banyak sehingga ketergantungan hewan terhadap sumber makanan semakin sedikit.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah Hujan Asam?
Ada cara yang mudah dan murah untuk mencegah terjadinya hujan asam. Yaitu dengan melakukan penghematan energi. Penghematan energi mempunyai keuntungan dalam mengurangi CO2 selain mengurangi emisi lainnya. Namun, tentunya bersifat fleksibel, sehingga terdapat pilihan yang luas yang bisa dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat


REFERENCE

Platt U., "Differential optical absorption spectroscopy (DOAS)", in Air Monitoring by Spectroscopic Techniques. Chem. Anal. Ser., 127, 27-84, 1994

J. P. Burrows et al., The Global Ozone Monitoring Experiment (GOME): Mission Concept and First Scientific Results, vol. 56(2), pp. 151-175, 1999.

Eisinger, M., and J. P. Burrows, Tropospheric Sulfur Dioxide observed by the ERS-2 GOME Instrument. . Journal of Atmospheric sciences, , No. 25, pp. 4177-4180, 1998. Geo phys. Res. Letter, 1995.

Read, W. G., L. Froidevaux, and J. W. Waters, 1993: Microwave limb sounder measurement of stratospheric SO2 from the Mt. Pinatubo volcano. Geophys. Res. Lett., 20, 1299-1302.

Boucher et al.:2003; Sensitivity of atmospheric sulphur to DMS flux and oxidation, Atoms. Chem. Phys., 3, 49-65, 2003

Richter, A., M. Eisinger, A. Ladstätter-Wei_enmayer, and J. P. Burrows, DOAS zenith sky observations. 2. Seasonal variation of BrO over Bremen (53_N) 1994{1995, J. Atm. Chem.,in press, 1998a.

Wagner, T., K. Chance, U. Frieß, M. Gil, F. Goutail, G. Hönninger, P.V. Johnston, K. Karlsen-Tornkvist, I. Kostadinov, H. Leser, A. Petritoli, A. Richter, M. Van Roozendael, U. Platt, Correction of the Ring effect and I0-effect for DOAS observations of scattered sunlight Proc. of the 1st DOAS Workshop, Heidelberg, 13., 14. Sept., Heidelberg, Germany, 2001.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar