Kamis, 12 September 2013

Gizi seimbang

Gizi seimbang[1] adalah susunan makanan sehari–hari yang mengandung zat-zat gizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh, dengan memerhatikan prinsip keanekaragaman atau variasi makanan, aktivitas fisik, kebersihan, dan berat badan (BB) ideal[2].
Di Amerika Serikat dan beberapa negara lain, prinsip Gizi Seimbang divisualisasi berupa “piramida” Gizi Seimbang. Tidak semua negara menggunakan piramida, tetapi disesuaikan dengan budaya dan pola makan setempat. Misalnya, di Thailand dalam bentuk piramida terbalik sebagai “bendera”, dan di China sebagai “pagoda” dengan tumpukan rantang. Para pakar gizi yang bergabung dalam Yayasan Institut Danone Indonesia (DII) bersama para penulis dari Tabloid Nakita (Kompas-Gramedia), mengadaptasi piramida sesuai dengan budaya Indonesia, dalam bentuk tumpeng dengan nampannya yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai “Tumpeng Gizi Seimbang” (TGS).* TGS dirancang untuk membantu setiap orang memilih makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat, sesuai dengan berbagai kebutuhan menurut usia (bayi, balita, remaja, dewasa dan usia lanjut), dan sesuai keadaan kesehatan (hamil, menyusui, aktivitas fisik, sakit).
Tumpeng Gizi Seimbang, oleh Yayasan Institut Danone Indonesia
Tumpeng Gizi Seimbang (TGS) menggambarkan 4 prinsip Gizi Seimbang (TGS)[3] meragakan 4 prinsip Gizi Seimbang (GS): aneka ragam makanan sesuai kebutuhan, kebersihan, aktivitas fisik dan memantau berat badan ideal. TGS terdiri atas beberapa potongan tumpeng: satu potongan besar, dua potongan sedang, dua potongan kecil, dan di puncak terdapat potongan terkecil. Luasnya potongan TGS menunjukkan porsi makanan yang harus dikonsumsi setiap orang per hari. TGS yang terdiri atas potongan-potongan itu dialasi oleh air putih. Artinya, air putih merupakan bagian terbesar dan zat gizi esensial bagi kehidupan untuk hidup sehat dan aktif.
Dalam sehari, kebutuhan air putih untuk tubuh minimal 2 liter (8 gelas). Setelah itu, di atasnya terdapat potongan besar yang merupakan golongan makanan pokok (sumber karbohidrat). Golongan ini dianjurkan dikonsumsi 3—8 porsi. Kemudian di atasnya lagi terdapat golongan sayur dan buah sebagai sumber vitamin dan mineral. Keduanya dalam potongan yang berbeda luasnya untuk menekankan pentingnya peran dan porsi setiap golongan. Ukuran potongan sayur dalam PGS sengaja dibuat lebih besar dari buah yang terletak di sebelahnya. Dengan begitu, jumlah sayur yang harus dilahap setiap hari sedikit lebih besar (3-5 porsi) daripada buah (2—3 porsi). Selanjutnya, di lapisan ketiga dari bawah ada golongan protein, seperti daging, telur, ikan, susu dan produk susu (yogurt, mentega, keju, dan lain-lain) di potongan kanan, sedangkan di potongan kiri ada kacang-kacangan serta hasil olahan seperti tahu, tempe, dan oncom.
Terakhir dan menempati puncak TGS makanan dalam potongan yang sangat kecil adalah minyak, gula, dan garam, yang dianjurkan dikonsumsi seperlunya. Pada bagian bawah tumpeng terdapat prinsip Gizi Seimbang lain, yaitu pola hidup aktif dengan berolahraga, menjaga kebersihan dan pantau berat badan. Karena prinsip gizi seimbang didasarkan pada kebutuhan zat gizi yang berbeda menurut kelompok umur, status kesehatan, dan jenis aktivitas, maka satu macam TGS tidak cukup. Diperlukan beberapa macam TGS untuk ibu hamil dan menyusui, bayi dan balita, remaja, dewasa, dan usia lanjut.

Sejarah Gizi Seimbang

Gizi terjemahan dari bahasa Inggris "Nutrition" dan “nutrition science”. Meskipun belum resmi ditetapkan oleh Lembaga Bahasa Indonesia, istilah Gizi dan Ilmu Gizi telah dipakai oleh Prof.Djuned Pusponegoro, dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ilmu penyakit anak di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 1952[4]. Tahun 1955 , Ilmu Gizi resmi menjadi mata kuliah di Fakultas Kedokteran UI, dan tahun 1958 secara resmi dipakai dalam pidato pengukuhan Prof.Poerwo Soedarmo[5] sebagai Guru Besar Ilmu Gizi pertama di Indonesia, di Fakultas Kedokteran UI. Sejak itu sampai sekarang banyak Fakultas Kedokteran , Fakultas Pertanian , Fakultas Teknologi Pangan, Fakultas Kesehatan Masyarakat telah mendirikan Bagian atau Departemen Ilmu Gizi. Tahun 1965 di Jakarta diresmikan Akademi Gizi dari Departemen Kesehatan, yang sampai sekarang tersebar di hampir semua propinsi di Indonesia sebagai Pendidikan Politeknis Kesehatan Jurusan Gizi . Pengesahan kata Gizi sebagai terjemahan resmi dari Nutrition dan Nutrition Science[6], diperoleh pada akhir tahun 50an dari Prof DR. Haryati Soebadio seorang dosen, ahli bahasa, dan sebagai direktur Lembaga Bahasa Indonesia Fakultas Sastra UI . Prof.DR.Soebadio, menjelaskan tentang akar bahasa Indonesia kebanyakan dari bahasa Arab dan Sanksekerta. Kata Inggris Nutrition dalam bahasa Arab di sebut GHIZAI, dan dalam bahasa Sanksekerta SVASTAHARENA. Keduanya artinya sama, makanan yang menyehatkan. Atas petunjuk tersebut Prof.Poerwo Soedarmo, ketika itu masih menjabat sebagai Kepala Lembaga Makanan Rakyat Kementerian Kesehatan dan Direktur Akademi Gizi Kementerian Kesehatan, bapak gizi Indonesia memilih kata GIZI sebagai terjemahan resmi kata nutrition, yang sejak tahun 1952 kata GIZI itu sudah dipakai dikalangan ilmu kedokteran dan kesehatan masyarakat. Sedang kata SVASTAHARENA di pakai dalam lambang organisasi PERSAGI,[7] sampai sekarang.

Ilmu Gizi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari " Proses Makanan sejak masuk mulut sampai dicerna oleh organ-organ pencernakan, dan diolah dalam suatu sistem metabolisme menjadi zat-zat kehidupan (zat gizi dan zat non gizi) dalam darah dan dalam sel-sel tubuh membentuk jaringan tubuh dan organ-organ tubuh dengan fungsinya masing-masing dalam suatu sistem, sehingga menghasilkan pertumbuhan (fisik) dan perkembangan (mental) , kecerdasan, dan produktivitas sebagai syarat dicapainya tingkat kehidupan sehat, bugar dan sejahtera."
Ilmu gizi publik adalah ilmu gizi yang diaplikasikan untuk kesejahteraan publik (masyarakat luas) dengan tidak sengaja mengkaitkannya dengan masalah kesehatan masyarakat, tetapi juga dengan masalah-masalah ekonomi, kemiskinan, pertanian, lingkungan hidup, pendidikan , kesetaraan gender, dan masalah-maslah pembangunan manusia lainnya.
Secara pendek dan populer ilmu gizi sering diartikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan makanan dengan kesehatan. Sementara itu pada saat yang bersamaan fakultas kedokteran hewan IPB menterjemahkan Animal Nutrition sebagai nutrisi makanan ternak. Dengan demikian nutrisi lebih banyak di pakai untuk makanan ternak sedangkan gizi resmi di pakai di fakultas kedokteran dan semua lembaga gizi.

Dulu kita mengenal pedoman makan berslogan “4 Sehat 5 Sempurna” (4S5S) yang dipopulerkan oleh Prof. Poerwo Soedarmo, , di tahun 1950-an. Namun, sejak tahun 1990-an, pedoman tersebut dianggap tak lagi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi gizi. Hal ini juga sesuai dengan adanya perubahan pedoman “Basic Four” di Amerika Serikat—yang merupakan acuan awal 4S5S pada masa itu—menjadi “Nutrition Guide for Balance Diet”. Di Indonesia, “Nutrition Guide for Balance Diet” diterjemahkan menjadi “ Pedoman Gizi Seimbang” (PGS)[8]. Pada konferensi pangan sedunia tahun 1992 di Roma dan Genewa, yang diadakan oleh FAO, dalam rangka menghadapi beban ganda masalah gizi di negara berkembang, antara lain ditetapkan agar semua negara berkembang yang semula menggunakan pedoman sejenis “Basic Four” memperbaiki menjadi “Nutrition Guide for Balance Diet”. Indonesia menerapkan keputusan FAO tersebut dalam kebijakan Repelita V tahun 1995 sebagai PGS dan menjadi bagian dari program perbaikan gizi. Namun, PGS kurang disosialisasikan sehingga terjadi pemahaman yang salah dan masyarakat cenderung tetap menggunakan 4S5S. Baru pada tahun 2009 secara resmi PGS diterima oleh masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang menyebutkan secara eksplisit “Gizi Seimbang” dalam program perbaikan gizi.

Perbedaan Empat Sehat Lima Sempurna dengan Gizi Seimbang

Sesuai dengan prinsip Gizi Seimbang, pola makan berdasarkan "Pedoman Gizi Seimbang" (PGS) tidak dapat berlaku sama untuk setiap orang. Tiap golongan usia, status kesehatan, dan aktivitas fisik, memerlukan PGS yang berbeda sesuai kondisi masing-masing. Hal ini berbeda dengan pola makan berdasarkan slogan "4 sehat 5 sempurna" (4S & 5S) yang berlaku bagi semua orang di atas dua tahun. Tak jelas bagaimana pedoman yang mengelompokkan makanan hanya ke dalam 4 kelompok secara kualitatif itu dapat menjadi acuan untuk memenuhi kebutuhan berbagai golongan masyarakat. Pada saat slogan 4S5S diciptakan tahun 1950-an, diasumsikan bahwa kebiasaan makan masyarakat makin sehat sehingga berbagai masalah kesehatan karena kekurangan dan kelebihan gizi dapat dicegah dan dikurangi. Asumsi ini ternyata tidak terwujud, baik di Indonesia maupun negara-negara lain, termasuk negara asal 4S5S di AS. Oleh karena itu pedoman 4S5S sejak awal tahun 1990-an secara internasional telah digantikan oleh pedoman yang lebih rinci yang disebut PGS dengan alasan sebagai berikut.
Pertama,
  • Susunan makanan yang terdiri atas 4 kelompok ini, belum tentu sehat, bergantung apakah porsi dan jenis zat gizinya sesuai dengan kebutuhan. Contoh, jika pola makan kita sebagian besar porsinya terdiri atas sumber karbohidrat (nasi), sedikit sumber protein, sedikit sayur dan buah sebagai sumber vitamin, maka pola makan tersebut tidak dapat dianggap sehat. Sebaliknya, jika pola makan kita terlalu banyak sumber lemak dan protein seperti hidangan yang banyak daging dan minyak atau lemak, tetapi sedikit sayur dan buah, maka pola makan itu tak dapat dianggap sehat.
  • Selain jenis makanan, pola makan berdasarkan PGS menekankan pula proporsi yang berbeda untuk setiap kelompok yang disesuaikan atau diseimbangkan dengan kebutuhan tubuh. PGS pun memperhatikan aspek kebersihan makanan, aktivitas fisik, dan kaitannya dengan pola hidup sehat lain.
Kedua,
  • Susu bukan "makanan sempurna" seperti anggapan umum selama ini. Dengan anggapan itu banyak orang, termasuk kalangan pemerintah, menganggap susu merupakan "jawaban" atas masalah gizi[9]. Sebenarnya, susu adalah sumber protein hewani yang juga terdapat pada telur, ikan dan daging.
  • Oleh karena itu di dalam PGS, susu ditempatkan dalam satu kelompok dengan sumber protein hewani lain. Dari segi kualitas protein, telur dalam ilmu gizi dikenal lebih baik dari susu karena daya cerna protein telur lebih tinqggi daripada susu.
Ketiga,
  • Slogan 4S5S yang dipopulerkan oleh Prof. Poerwo Soedarmo, Bapak Gizi Indonesia, di tahun 1950-an dianggap tak lagi sesuai dengan perkembangan iptek gizi, seperti halnya slogan "Basic Four" di Amerika yang merupakan acuan awal 4S5S pada masa itu. "Basic Four" dari AS yang diciptakan tahun 1940-an bertujuan mencegah pola makan orang Amerika yang cenderung banyak lemak, tinggi gula, dan kurang serat. Namun, setelah dievaluasi tahun 1970-an, ternyata slogan tersebut tidak memperbaiki pola makan penduduk Amerika, yang disertai dengan meningkatnya penyakit degeneratif terkait gizi. Sejak itu, slogan "Basic Four" diperbarui dan disempurnakan menjadi "Nutrition Guide for Balance Diet" dengan visual piramida.
  • Di Indonesia "Nutrition Guide for Balance Diet" diterjemahkan menjadi PGS yang juga menggunakan visual piramida. Berbeda dengan Nutrition Guide AS yang berlaku untuk usia di atas 2 tahun, di Indonesia PGS berlaku sejak bayi dengan memasukkan ASI eksklusif sebagai Gizi Seimbang.
Pada konferensi pangan sedunia yang diadakan oleh FAO tahun 1992 di Roma dan Genewa, antara lain ditetapkan agar semua negara berkembang yang semula menggunakan slogan sejenis "Basic Four" memperbaiki menjadi "Nutrition Guide for Balance Diet". Keputusan FAO tersebut diterapkan di Indonesia dalam kebijakan Repelita V tahun 1995 sebagai PGS dan menjadi bagian dari program perbaikan gizi. Namun, PGS kurang disosialisasikan sehingga terjadi pemahaman yang salah dan masyarakat cenderung tetap menggunakan 4S5S. Baru pada tahun 2009 secara resmi PGS diterima masyarakat, sesuai dengan Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009 yang menyebutkan secara eksplisit "Gizi Seimbang" dalam program perbaikan gizi.

Catatan kaki

  1. ^ "Istilah GIZI adalah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar". Diakses 24 September 2012.
  2. ^ "Apa itu gizi seimbang?". Diakses 24 September 2012.
  3. ^ "Tumpeng Gizi Seimbang". Diakses 24 September 2012.
  4. ^ Soekirman, Prof.PhD (1999/2000). ""Arti kata Gizi dan Definisi Ilmu Gizi",". Ilmu Gizi dan Aplikasinya. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. hlm. 5. ISBN. Text " accessdate 24 September 2012 " ignored (help)
  5. ^ "Prof.Poerwo Soedarmo, Bapak Gizi Indonesia". Diakses 23 September 2012.
  6. ^ "gizi.depkes.go.id, SEJARAH ASAL KATA/ISTILAH “GIZI” SEBAGAI TERJEMAHAN KATA INGGRIS “NUTRITION”". Diakses 23 September 2012.
  7. ^ "Persagi". Diakses 23 September 2012.
  8. ^ "KOMPAS.com, Kamis, 27 Januari 2011 "Gizi Seimbang, Pedoman Gizi Terbaru"".
  9. ^ "Susu untuk Anak Sekolah diPedesaan". Suara Pembaruan. 9 September"2009. hlm. 4.

Minggu, 04 Agustus 2013

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN KARENA PENGARUH LABEL DAN IKLAN



TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN KARENA PENGARUH LABEL DAN IKLAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen Pengampu : Andry Setiawan, SH.,M.Hum
Oleh:
Rudi Hartono            :8111410174








FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Permasalahan
Dalam era globalisasi saat ini perkembangan komunikasi dan informasi berjalan sangat pesat sejalan dengan laju pembangunan di segala bidang. Hal tersebut menuntut suatu gerak manusia yang cepat, efisien, dan mudah agar segala kebutuhan dapat segera terpenuhi. Globalisasi informasi dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berkembang dengan baik karena cepatnya jaringan informasi. Pesatnya pembangunan disegala bidang mendorong meningkatnya mobilitas gerak manusia yang cepat dan dinamis sehingga meminta penyampaian informasi yang cepat dan dinamis pula. Media  sebagai salah satu sarana dalam penyampaian informasi mempunyai berbagai jenis seperti media  cetak (koran, majalah, tabloid dan lain-lain) dan media  elektronik (televisi, radio, dan lain-lain).
Media  cetak sebagai salah satu media  merupakan sarana penyampaian informasi yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, pelaku usaha dalam memasarkan produknya dapat menggunakan media  cetak untuk pemasangan iklan. Iklan merupakan salah satu bentuk penyampaian informasi mengenai barang dan atau jasa dari pelaku usaha kepada konsumennya, maka dari itu iklan tersebut sangat penting kedudukannya bagi perusahaan sebagai alat untuk membantu memperkenalkan produk atau jasa yang ditawarkannya kepada konsumen. Tanpa adanya iklan berbagai produk barang dan atau jasa tidak dapat mengalir secara lancar ke para distributor atau penjual, apalagi sampai ke tangan para konsumen atau pemakainya.
Agar produk yang  ditawarkan oleh pelaku usaha  memiliki nilai jual yang tinggi terkadang pelaku usaha menghalalkan segala cara. Salah satunya dengan melalui iklan yang memuat janji yang muluk-muluk mengenai kegunaan dan manfaat produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen meskipun pada kenyataannya bahwa produk tersebut kegunaan dan manfaatnya tidak sesuai dengan janji yang terdapat dalam iklan tersebut. Sehingga iklan tersebut telah membohongi konsumen atau masyarakat. Untuk itu maka konsumen perlu diberikan suatu perlindungan khusus terhadap iklan-iklan yang menyesatkan. Perlunya peraturan yang mengatur perlindungan konsumen karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha, karena mengenai proses sampai hasil produksi barang atau jasa yang telah dihasilkan campur tangan konsumen sedikitpun. Sehingga kenyataannya konsumen selalu berada dalam posisi yang dirugikan.

Dalam kode etik periklanan menegaskan bahwa iklan itu harus jujur, harus dijiwai oleh rasa persaingan sehat. Iklan tidak boleh menggunakan kata “ter”, “paling”, “nomor satu” dan atau seterusnya yang berlebihan tanpa menjelaskan dalam hal apa keunggulan tersebut, dan harus dapat membuktikan sumber-sumber otentik pernyataan itu. Jadi untuk mencegah iklan yang merugikan konsumen perlu ada pengaturan yang mengatur mengenai periklanan.
Iklan sebagai sarana promosi seharusnya menyampaikan kepada konsumen informasi atas suatu produk yang jelas, jujur dan bertanggung jawab. Hal ini pun telah diatur secara jelas dan sama, secara garis besar, dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia ( TKTCPI ) yang disusun oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, dan masih banyak lagi peraturan perundang-undangan lain yang mengatur mengenai periklanan.
Namun, hingga sekarang masih tetap beredar iklan-iklan yang melanggar peraturan-peraturan di atas, dimana isinya menipu, mengelabui dan menyesatkan konsumen. Tentu saja iklan-iklan seperti ini memberikan akibat dan pengaruh buruk pada masyarakat, salah satu di antaranya adalah tumbuhnya konsumerisme, dimana masyarakat terpengaruh oleh isi dan pesan iklan yang dibuat begitu atraktif, hingga kadang menjadi berlebihan, dan membuat masyarakat membeli barang yang seharusnya bukan menjadi kebutuhannya, dan tak jarang dimana masyarakat pun mendapatkan barang yang mereka beli tidak sesuai dengan yang diiklankan atau dalam keadaan yang tidak semestinya. Banyak aturan-aturan yang dilanggar dalam rangka pembuatan iklan yang demikian kreatif dan penyampaian pesan secara berlebihan kepada konsumen, seperti penggunaan atribut profesi, melakukan perbandingan dengan produk sejenis dari produsen yang berbeda, iklan-iklan yang menggunakan kekerasan, atau iklan-iklan yang melanggar etika dan kesusilaan. Walaupun PPPI dan Undang-undang Perlindungan Konsumen telah menetapkan sanksi terhadap iklan-iklan tersebut di atas, namun hingga sekarang, iklan-iklan tersebut tetap beredar tanpa khawatir akan diberikan sanksi atau mendapatkan teguran dari lembaga-lembaga yang berwenang.
     Meskipun ketentuan mengenai periklanan secara umum telah ada tetapi tidak diatur secara khusus, namun pada kenyataannya masih banyak terdapat pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk menuangkannya ke dalam sebuah makalah yang berjudul : “Tanggung  Jawab Pelaku  usaha  Terhadap Konsumen Karena Pengaruh Label dan iklan”.
 Makalah ini bermaksud untuk menganalisa mengapa iklan-iklan yang melanggar aturan, atau isinya yang menipu, mengelabui dan menyesatkan masyarakat itu masih sering beredar. Apakah hal ini disebabkan karena lembaga-lembaga, seperti YLKI dan PPPI yang tidak secara tegas dalam menerapkan aturan-aturannya, atau karena aturan-aturan yang ditetapkan tersebut tidak dijalankan sesuai kehendak undang-undang? Lalu dimanakah letak batasan tanggung jawab dari masing-masing pihak yang terkait di dalamnya? Adakah perlindungan hukum di masyarakat terhadap iklan-iklan semacam itu atau perlu dibuat peraturan baru apabila aturan-aturan tersebut di atas tetap tidak diterapkan secara tegas? makalah ini, berkesimpulan, bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen dan TKTCPI belum berjalan sesuai kehendak undang-undang, karena para produsen dan biro iklan yang tidak menerapkan peraturan-peraturan mengenai periklanan dengan tertib, law enforcement di Indonesia yang yang kurang berjalan dengan baik dan kurangnya kontrol di masyarakat
1.2   Permasalahan
            1.2.a    Bagaimana asper-aspek hukum perlindungan konsumen?
            1.2.b    Apakah bentuk perlindungan hukum yang dapat dilakukan terhadap konsumen akibat iklan yang menyesatkan di media massa?
            1.2.c    Bagaimana pertanggungjawaban pelaku usaha atas iklan yang menyesatkan di media massa ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

1.3   Tujuan Penulisan
1.3.a.       Untuk mempelajari dan memahami bentuk perlindungan hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen akibat iklan yang menyesatkan di media  massa.
1.3.b.      Untuk mempelajari dan memahami pertanggungjawaban pelaku usaha periklanan terhadap iklan yang menyesatkan di media massa dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.




BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Perumusan Masalah
            2.1.a  Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
 A.     ASPEK KEPERDATAAN
Kaedah-kaedah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum PERDATA (KUH Perdata). Disamping itu tentu saja juga kaedah-kaedah hukum perdata adat yang tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara tertentu. Kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukumantara pelaku usaha penyedia barang dan atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam :
1.      KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga dan keempat;
2.      KUHD, buku kesatu dan buku kedua;
3.      Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaedah-kaedah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum, dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan atau penyelenggara jasa antara lain sebagai berikut :
1.      Hal-hal yang Berkaitan dengan Informasi
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apapun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang atau jasa tersebut. Dengan traksaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, beli sewa, sewa menyewa, pinjam meminjam, dsb) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan dan atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa purna jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya ( antara lain label dari produk makanan dalam kemasan ). Sedang untuk produk hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut sesuatu produk konsumen.
2.      Beberapa Bentuk Informasi
Diantara berbagai informasi tentang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen , tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini termasuk juga yang diatur di dalam Undang-undang tentang perlindungan konsumen.
a.       Tentang Iklan
Menurut ketentuan dari UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat (1) berbunyi :

Pelaku Usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah… dan seterusnya. Sayangnya dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan iklan. Yang terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan berkaitan dengan periklanan saja.
Dari hal-hal terurai diatas tentang kedudukan periklanan dalam masyarakat usaha, setidak-tidaknya terdapat dua batasan iklan, yang satu ditetapkan oleh Departemen Kesehatan yang lainnya oleh sistem penyiaran nasional. Kedua batasan iklan tersebut berjalan bersama masing-masing untuk bidang masing-masing. Sampai saat ini tidak terdapat gangguanapapun baik terhadap masyarakat pembuat maupun pengguna produk konsumen yang diiklankan berdasarkan masing-masing rumusan yang bersangkutan. Bagi konsumen informasi produk konsumen sangat menentukan sehingga haruslah informasi itu memuat keterangan yang benar, jelas, jujur, dan bertanggung jawab.
Mengenai perilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut:
1)      Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a)         Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan  harga barang dan/atau tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b)         Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c)         Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d)         Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e)         Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f)         Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2)  Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
Selanjutnya,  berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha periklanan ini diatur dalam Pasal 20, sebagai berikut Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
b.      Tentang label
Informasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagi peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti penandaan, label, atau etiket. Ketentuan tersebut terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
1.      UU Barang, UU No.10 Tahun 1961, memberikan informasi tentang barang, Pasal 2 ayat (4) UU ini menentukan :
Pemberian nama dan/atau tanda-tanda yang menunjukkan asal, sifat, susunan bahan, bentuk banyaknya dan/atau kegunaan barang-barang yang baik diharuskan maupun tidak diperbolehkan dibubuhkan atau dilekatkan pada barang pembungkusnya, tempat barang-barang itu diperdagangkan dan alat-alat reklame, pun cara pembubuhan atau melekatkan nama dan/atau tanda-tanda itu.
2.      Baik produk makanan, maupun obat diwajibkan mencantumkan label pada wadah atau pembungkusnya. Permenkes No.79 Tahun 1978 tentang Label dan Periklanan Makanan, Pasal 1 angka 2, menyebutkan :
Etiket adalah label yang dilekatkan, dicetak, diukir atau dicantumkan dengan jalan apa pun pada wadah atau pembungkus.
c.       Hal-hal yang Berkaitan dengan Perikatan
Dalam KUHPerdata Buku ke-III tentang perikatan (Van Verbintenissen), termuat ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang risiko jenis-jenis perikatan tertentu, syarat-syarat pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang diadakan (Pasal 1233). Perikatan yang terjadi karena undang-undang, dapat timbul karena undang-undang, baik karena undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal) atau perbuatan yang melanggar hukum (Pasal 1352, 1353, dan seterusnya).
B.     ASPEK HUKUM PUBLIK
1.      Hukum Pidana
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebutkan kata “konsumen”. Meskipun demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa Pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen, antara lain :
a.       Pasal 204 : Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau mebagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b.      Pasal 205 : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
c.       Pasal 382 : Barangsiapa menjual, menawarkan  atau menyerahkan makanan, minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
d.      Dan lain-lain.
Diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terdapat pada bidang kesehatan. Termasuk dalam kelompok ini adalah Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan.
Selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelektual, seperti hak cipta, paten, dan hak atas merek, dewasa ini diberi perhatian yang cukup besar, khususnya dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidana berupa pembajakan hak cipta, misalnya sekarang diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.


2.      Hukum Administrasi Negara
Seperti halnya hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah instrument hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai saknsi administratif.
Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun penyalur hasil-hasil produknya. Saknsi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Jika terjadi pelanggaran, izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah. Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. Produksi di sini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hukum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hukum perdata dan/atau pidana.
Sanksi administrative seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana, ada beberapa alasannya:
Pertama,  sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi pemerintah terkait. Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative produsen.
Walaupun secara teoritis instrumen hukum administratif Negara ini cukup efektif, tetap ada kendala dalam penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan masih teramat jarang dilakukan. Bahkan, untuk kasus-kasus tertentu, sperti pencemaran oleh PT. Inti Indorayon Sumatera Utar, Pemerintah masih mengandalkan inisiatif konsumen untuk mempersalahkannya. Pemerintah tampaknya menjadikan sanksi administratif ini sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentu saja, kedua pertimbangan tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan konsumen tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang cukup.
3.      Hukum Transnasional
Sebutan “Hukum transnasional” mempunyai dua konotasi. Pertama, hukum transnasional yang berdimensi perdata, yang lazim disebut hukum perdata internasional. Kedua, hukum internasional yang berdimensi public, yang biasanya dikenal sebagai hukum internasional publik. Hukum perdata internasional sesungguhnya bukan hukum yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari hukum perdata nasional. Hukum perdata internasional hanya berisi petunjuk tentang hukum nasional mana yang akan diberlakukan jika terdapat kaitan lebih dari satu kepentingan hukum nasional. Melalui petunjuk inilah lalu ditentukan hukum atau pengadilan mana yang akan menyelesaikan perselisihan tersebut.
Hukum internasional (publik) sering dinilai sebagai instrument yang “mandul” dalam menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara. Kepentingan nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus menjadi “macan kertas” yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak mempunyai kekuatan memaksa.
Masalah perlindungan konsumen merupakan salah satu bukti diantaranya. Gerakan ini memang berkembang pesat di berbagai penjuru dunia, namun intensitas gerakan tersebut tidka selalu sama pada tiap-tiap Negara. Kondisi suatu Negara sangat dominan menentukan seberapa jauh gerakan ini mendapat tempat di masyarakatnya. Sumber terpenting dari hukum internasional adalah perjanjian antarnegara dan konvensi-konvensi internasional. Walaupun begitu, keberadaan sumber-sumber hukum internasional itu tetap tidak banyak artinya jika belum diratifikasi oleh Negara yang bersangkutan.
C.     PERANAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pada era perdagangan bebas di mana arus barang dan jasa dapat masuk ke semua Negara denga bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan jujur. Persaingan jujur adalah suatu persaingan di mana konsumen dapat memiliki barang atau jasa karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pola perlindungan konsumen perlu diarahkan pada pola kerja sama antarnegara, antarsemua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur. Sampai saat ini secra universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan dihormati, yaitu :
1.      Hak keamanan dan keselamatan ;
2.      Hak atas informasi;
3.      Hak untuk memilih;
4.      Hak untuk didengar, dan
5.      Hak atas lingkungan.
Aspek-aspek hukum terhadap perlindungan konsumen di dalam era pasar domestic dan dbebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar dan dari sisi pasar global. Keduanya harus diawali dan sejak barang dan jasa diproduksi, didistribusikan/dipasarkan dan diedarkan samapi barang dan jasa tersebut dikonsumsi oleh konsumen.
Bertolak dari pemikiran di atas, pada dasarnya Negara dapat diketahui bahwa aspek hukum public dan aspek hukum perdata mempunyai peran dan kesempatan yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen. Aspek hukum public berperan dan dapat dimanfaatkan oleh Negara, pemerintah instansi yang mempunyai peran dan kewenangan untuk melindungi konsumen.
2.1.b Bentuk Perlindungan Hukum yang Dapat Dilakukan oleh Konsumen Akibat Iklan yang Menyesatkan di Media Massa
Iklan merupakan sarana bagi konsumen untuk mengetahui barang dan/jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha dalam hal ini pengiklan, karena konsumen mempunyai hak, khususnya untuk hak untuk mendapat informasi dan hak untuk memilih. Bagi perusahaan iklan merupakan bagian dari kegiatan pemasaran produknya dan iklan dianggap berhasil apabila terdapat peningkatan jumlah pembeli produk yang ditawarkannya. Iklan adalah struktur informasi dan  susunan komunikasi  nonpersonal yang biasanya dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa, dan gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam  media.  Menurut Sudarto dalam  tulisannya berjudul “ Periklanan dalam Surat Kabar Indonesia” mengungkapkan bahwa menurutnya (defenisi) iklan adalah salah satu komunikasi yang harus memenuhi ke empat hal berikut:
1.      Komunikasi tidak langsung
2.      Melalui media komunikasi masa
3.      Dibayar berdasarkan tarif tertentu
4.      Diketahui secara jelas sponsor atau pemasang iklannya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “menyesatkan” berasal dari kata “sesat” artinya “salah jalan; tidak melalui jalan yang benar”. Namun apabila kata “sesat” ditambah awalan “me-“ dan akhiran “kan” maka ia akan berubah menjadi kata “menyesatkan” yang mengandung arti “membawa ke jalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan)”.  Sedangkan kata “iklan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti : 1) berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; 2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar atau majalah. Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengenai iklan yang menyesatkan terkandung dalam Pasal 9, 10, 11, 12, 13 dan Pasal 17.
Jadi berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa iklan menyesatkan adalah suatu berita pesanan yang mendorong, membujuk khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui kebenarannya yang pasti sehingga dapat merugikan konsumen. Dari pengertian iklan menyesatkan di atas, maka timbul pertanyaan, konsumen  yang mana dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut ?
Sebelum membahas tentang siapa pihak yang dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut. Tentunya perlu diketahui terlebih dahulu pengertian konsumen secara umum. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amarika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument, secara harfiah adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang  atau jasa itu nanti menentukan termasuk konsumen mana pengguna tersebut.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH-Perdata) tidak ditemukan istilah konsumen, tapi berdasarkan pendirian Mahkamah Agung terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan, karena istilah ini agak dekat dengan istilah konsumen. Istilah-istilah tersebut antara lain “pembeli” (Pasal 1460, Pasal 1513, jo 1457 KUH-Perdata), “penyewa” (Pasal 1550, jo Pasal 1548 KUH-Perdata), “penerima hibah” (Pasal 1744 KUH-Perdata) dan sebagainya. Sedangkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) ditemukan istilah tertanggung (Pasal 246), “penumpang” (Pasal 393, Pasal 394 jo Pasal 341).7
Pembeli barang dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Kesemua mereka itu sekalipun pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir (untuk non-komersial) atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut.
Menurut Kotler konsumen adalah individu atau kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang melakukan pembelian untuk tujuan produksi.
Pakar masalah konsumen di Belanda, Hodius menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan jasa. Dia ingin membedakan antara kosumen bukan pemakai akhir (konsumen antara) dan kosumen terakhir.
Menurut AZ Nasution dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar”, pengertian konsumen itu terdiri dari:
a.       Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.
b.      Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang/jasa untuk digunakan dengan tujuan tertentu membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
c.       Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Menurut UUPK memberikan pengertian mengenai konsumen dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 butir 2 yaitu:
”Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan untuk diperdagangkan”.
Dalam penjelasan Pasal 1 butir 2 UUPK tersebut dijelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedang konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dari  beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas bahwa konsumen yang dimaksud dalam perlindungan konsumen adalah konsumen akhir begitu pula dalam penulisan makalah ini.
Konsumen selalu berada dalam posisi yang lemah, konsumen merupakan objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, konsumen harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur dan melindungi konsumen.
Menurut AZ Nasution bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum konsumen, yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dan hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat. Pada Pasal 1 UUPK dimaksud dengan Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Sedangkan konsumen yang dilindungi adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Setelah diketahui tentang apa itu iklan yang menyesatkan dan siapa yang dirugikan, maka timbul pertanyaan baru, bagaimana upaya konsumen untuk mempertahankan hak-haknya yang telah dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut dan bagaimana perlundungan Undang-undang Perlndungan Konsumen melindungi hak-hak konsumen yang telah dirugikan tersebut. Undang-undang Perlindungan Konsumen isinya adalah mengatur prilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi. Salah satunya melindungi konsumen atas iklan yang menyesatkan konsumen.
Permasalahan akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik periklanan . untuk itu pelaku usaha periklanan  harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk menawarkan barang dan/jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari tindakan-tindakan curang yang dilakukan pelaku usaha. Mengenai pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur mengenai periklanan walupun tidak secara khusus.
Perlindungan hukum bagi konsumen atas iklan yang menyesatkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yaitu dengan adanya pengaturan dalam Bab III Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen dan juga hak dan kewajiban pelaku usaha yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.
Dalam Bab IV merupakan upaya Undang-undang Perlindungan Konsumen untuk melindungi konsumen, yaitu terdapatnya aturan mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha yang mengiklankan produknya larangan-larangan tersebut dapat dilihat dalam Pasal-Pasal 9, 10, 12, 13 dan 17.
Dalam Pasal 20 Undang-undang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai tanggung jawab pelaku             usaha periklanan yang telah dijelaskan sebelumnya. Hal ini untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha periklanan yang curang.
Sistem pembuktian terbalik sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 22 dan Pasal 28 UUPK juga merupakan upaya untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha yang curang. Begitu pula adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang terdapat dalam Pasal 19 UUPK.
Bentuk lainnya untuk melindungi konsumen, yaitu dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang diatur pada Bab VIII Undang-undang Perlindungan Konsumen mulai dari Pasal 31 sampai dengan Pasal 43. Salah satu tugas BPKN adalah menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha.
Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam rangka melindungi konsumen selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, dalam Bab IX Pasal 44 memungkinkan di bentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). LPKSM ini mempunyai tugas salah satunya adalah membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan dari konsumen seperti YLKI dan YPKB.
Iklan yang menyesatkan atau yang tidak sesuai dengan kebenarannya merugikan konsumen, sehingga menimbulkan sengketa antara konsumen yang menuntut haknya terhadap pelaku usaha yang mengiklankan produk yang dijualnya. Mengenai penyelesaian sengketa ini diatur dalam Bab X tentang  penyelesaian konsumen. Upaya-upaya penyelesaian sengketa dapat ditempuh dengan cara yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) yaitu penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen dapat dilakukan dengan cara:
1.      Penyelesaian di luar pengadilan.
2.      Penyelesaian melalui pengadilan
Ad. 1. Penyelesaian di luar pengadilan
Pasal 47 mengatur mengenai penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang diselenggarakan untk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak terutang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.
Penyelesaian di luar pengadilan ini dapat dilakukan dengan cara yaitu:
a.       Penyelesaian secara damai diantara mereka yang bersengketa.
b.      Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Cara penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, tidak menutup kemungkinan dilakukannya penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersangkutan. Penyelesaian sengketa secara damai yang dimaksud adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen ini.
Cara penyelesaian secara damai ini merupakan bentuk penyelesaian yang mudah, murah dan (relatif) lebih cepat apabila dapat berjalan dengan lancar. Tetapi penyelesaian dengan cara ini membutuhkan kesabaran, saling pengertian dan menghormati hak-hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian dengan cara damai membutuhkan kemauan dan kemampuan berunding untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai.
Biasanya penyelesaian dengan cara damai ini jarang tercapai karena pelaku usaha sering mengelak karena mereka merasa mempunyai kekuatan yang lebih besar dari konsumen yang dirugikan. Dasar hukum penyelesaian secara damai terdapat pula dalam KUH Perdata Buku III, Bab 18, Pasal 1851-1854 tentang perdamaian (dading) dan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) jo, Pasal 47 seperti yang telah diuraikan di atas.
Penyelesaian sengketa melalui BPSK merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Bab XI dari Pasal 49 sampai dengan Pasal 58. BPSK merupakan lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di setiap daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 49 ayat (1)).
Keanggotaan BPSK terdiri dari unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Setiap unsur tersebut diwakili sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Tugas dan wewenang BPSK menurut Pasal 52 UUPK adalah sebagai melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen BPSK membentuk Majelis dengan jumlah anggota harus ganjil, yaitu terdiri dari sedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur dibantu seorang panitera. BPSK diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan itu diterima. Menurut Pasal 54 ayat (3) bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Majelis BPSK bersifat final dan mengikat. Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan oleh pelaku dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterima.
Ad.2 Penyelesaian sengketa melalui pengadilan
Dalam Pasal 48 Undang-undng Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa “penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK bersifat “final” diartikan tidak adanya upaya banding dan kasasi, yang ada “keberatan”. Apabila  pelaku usaha keberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh majelis BPSK, maka ia dapat mengajukan keberatannya itu kepada Pengadilan Negeri,  menurut Pasal 58 UUPK dalam jangka waktu 14 hari Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut. Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi luang waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan kasasi.
Cara mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha menurut Pasal 46 ayat (1) UUPK dapat dilakukan oleh:15
a.       Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya.
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c.       Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d.      Pemerintah dan/atau instansi terkait.
Agar UUPK ini dapat dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, maka terdapat sanksi-sanksi yang dapat dikenakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini. Sanksi-sanksi tersebut diatur dalam Bab XIII UUPK dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:
a.       Sanksi administratif, diatur dalam Pasal 60. BPSK dapat menjatuhkan sanksi administratif berupa ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
b.      Sanksi pidana pokok, yaitu diatur dalam Pasal 62. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap:
1)      Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e dan Pasal 18 dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah).
2)      Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d, huruf f dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
c.       Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 63. Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
1)      Perampasan barang tertentu.
2)      Pengumuman keputusan hakim.
3)      Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen.
4)      Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
5)      Pencabutan izin usaha.
Berdasarkan Pasal 31 UUPK dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen maka dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Dalam rangka untuk melindungi konsumen Badan Perlindungan Konsumen Nasional melakukan hal-hal sebagai berikut:
1.         Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
2.         Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
3.         Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
4.         Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
5.         Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
6.         Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
7.         Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu analisis bahwa dengan adanya UUPK ini maka sedikit banyak konsumen dapat terlindungi haknya. Disebutkan dalam Bab IV UUPK merupakan salah satu upaya dari undang-undang ini untuk menjangkau perlindungan tersebut. Dengan adanya aturan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk mengiklankan produknya. Dengan adanya aturan ini maka jelas diketahui pelaku usaha mana yang mengiklankan produknya secara tidak benar atau menyesatkan. Lebih lanjut dalam Pasal 20 UUPK dijelaskan tentang tanggung jawab pelaku usaha periklanan keberadaan pasal ini untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha periklanan yang curang. Karena dalam pasal tersebut adalah usaha undang-undang ini untuk menjerat pelaku usaha periklanan tersebut.
2.1.c Pertanggungjawaban PU Periklanan yang Menyesatkan di Media Massa
Menurut Kamus  Besar Bahasa Indonesia, pertanggungjawaban itu terdiri dari dua kata yaitu kata “tanggung dan jawab”jika digabung mengandung arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalu terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb) kemudian jika kedua kata tersebut ditambah awalan per- dan akhiran -an, setelah ditambah awalan dan akhiran tadi menjadi kata pertanggungjawaban. Kata pertanggungjawaban mengandung arti 1) perbuatan (hal dsb) bertangung jawab; 2) sesuatu yang dipertanggungjawabkan.
Permasalahan akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik periklanan serta undang-undang lainnya yang terkait. Untuk itu pelaku usaha periklanan harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk menawarkan barang dan atau jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen dari tindakan-tindakan yang curang yang dilakukan pelaku usaha. Mengenai pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur mengenai periklanan walaupun tidak secara khusus.
Dalam kode etik periklanan yang disebut dengan Tata  Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia pada Bab II bagian A butir 1 tentang asas-asas umum periklanan mengatakan bahwa iklan harus jujur, bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan bertanggungjawab tersebut maksudnya iklan tersebut tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan merugikan masyarakat.
Setiap komponen pemasaran, yang terdiri dari; pengiklan, perusahaan periklanan dan media periklanan mempunyai tanggung jawab menurut peran dan bobot keterlibatan masing-masing dalam penciptaan dan penyebaran pesan-pesan iklan.
1.         Pengiklan;  bertanggung jawab atas benarnya informasi tentang produk yang diberikan kepada Perusahaan Periklanan. Termasuk ikut memberi arah; batasan dan masukan pada pesan iklan, sehingga tidak terjadi janji yang berlebihan (overclaim) atas kemampuan nyata produk.
2.         Perusahaan Periklanan; bertanggungjawab atas ketepatan unsur persuasi yang dimasukkannya dalam pesan iklan, melalui pemilahan dan pemilihan informasi yang diberikan Pengiklan, maupun dalam upaya menggali dan mendayagunakan kreativitasnya.
3.         Media Periklanan; bertanggungjawab atas kesepadanan antara pesan iklan yang disiarkannya dengan nilai-nilai sosial-budaya dari profil khalayak sasarannya.
Jadi bentuk tanggung jawab tergantung pada bobotnya keterlibatannya. Pengiklan harus mempertanggungjawabkan produk dan/atau jasa yang ditawarkan, sehingga tanggungjawabnya berbentuk product liability dan profesional liability. Perusahaan iklan yang hanya membantu membuatkan suatu iklan tanggung jawabnya berbentuk profesional liablity. Begitu pula media periklanan sebagai penyedia jasa untuk menayangkan iklan pengiklan tanggung jawabnya berbentuk tanggung jawab profesional liability.
Undang-undang Nomor 21 Tahun 1981 tentang Pokok Pers menyatakan bahwa periklanan termasuk “keluarga pers”. Dalam Pasal 13 ayat (6) menegaskan bahwa ketentuan mengenai periklanan akan diatur oleh Dewan Pers. Periklanan termasuk keluarga pers maka sistem pertanggungjawaban menganut sistem water fall (sistem pertanggungjawaban air terjun) atau seperti istilah yang digunakan oleh Oemar Seno Adji sebagai pertanggungjawaban secara suksesi/berurutan. Sistem ini banyak memberi peluang pada atasan membebaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul dan membebankan tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul dan membebankan tanggung jawab kepada bawahan.
Sistem pertanggungjawaban suksesif tersebut, kurang tepat bila diterapkan dalam bidang periklanan, karena dalam bidang periklanan tidak ada hubungan atasan bawahan antara pelaku usaha di bidang periklanan. Artinya semua pelaku usaha di bidang periklanan (pengiklan, perusahaan periklanan dan media masa) memiliki kedudukan yang sama dan berdiri sendiri serta tidak ada atasan dan  bawahan.
Menurut Machtum dari Majalah Gatra dalam Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Periklanan tanggal 4 September 1995 di BPHN Jakarta bahwa mengenai pertanggungjawaban materi iklan harus ada tanggung jawab renteng, artinya yang membuat, yang mengedarkan dan yang menadah (pengiklan, perusahaan iklan, dan media iklan) semuanya terkena tanggung jawab. Karena jika hanya yang membuat saja atau yang mengedarkan saja yang terkena tanggung jawab tersebut tidak adil. Jadi menurutnya Undang-undang Pers tidak sesuai untuk periklanan sehingga harus dicabut mengenai ketentuan yang mengatur periklanan.
Dalam Undang-undang Pers yang baru Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 diatur mengenai larangan perusahaan iklan, yaitu terdapat dalam Pasal 13 seperti yang telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Mengenai pertanggungjawaban iklan tidak disebutkan, namun di dalam penjelasan Pasal 12 Undang-undang Pers disebutkan bahwa penanggung jawab adalah penanggung jawab meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Pasal 12 mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penangung jawab secara terbuka melalui media bersangkutan.
Perusahaan pers sebagai media pemasangan iklan, maka perusahaan pers bertanggungjawab atas iklan yang dipasang dalam medianya. Tanggung jawab perusahaan pers yaitu berbentuk profesional liability, karena dia bertanggung jawab atas jasa pemasangan iklan pada medianya. Pasal 13 menyebutkan mengenai larangan-larangan iklan yang dimuat oleh perusahaan pers. Apabila ketentuan tersebut dilanggar maka akan dikenai pidana denda sebanyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pers.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan mengenai periklanan secara jelas, tetapi ada pasal yang terkait mengenai informasi atas produk kesehatan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Pasal yang terkait itu adalah terdapat Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi “penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektifitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan”. Penjelasan pasal tersebut tampak bahwa informasi produk bagi konsumen dapat ditemukan dalam penandaan atau informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk dan/atau kreativitasnya, tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau menipu (iklan melawan hukum). Tanggung jawab atas iklan sedia farmasi dan alat kesehatan ini merupakan tanggung jawab seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut.
Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan Pangan, mengenai iklan terdapat dalam Bab III tentang Iklan Pangan Pasal 44 sampai Pasal 58. mengenai pertanggung jawaban mengenai iklan pangan ini terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) yang mengatakan bahwa penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut bertanggung jawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang bersangkutan telah lebih dulu mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti kembali kebenaran isi iklan yang bersangkutan.
Jadi dalam Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan selain pengiklan (produsen, distributor dan retailer) yang bertanggung jawab atas iklan pangan adalah perusahaan iklan yang membuatkan iklan serta media periklanan yang menayangkan iklan tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan tidak terdapat mengenai bentuk pertanggungjawaban atas iklan, tetapi pada dasarnya semua pelaku usaha yang terlibat dalam iklan rokok tersebut mempunyai tanggung jawab atas iklan rokok yang dibuat sesuai dengan bobot keterlibatannya.
Dalam ketentuan pidana Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan jika ketentuan dalam Pasal 18 dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan barang siapa melanggar ketentuan Pasal 15, Pasal 20 dan atau Pasal 21 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Jadi pada umumnya tanggung jawab atas iklan yang menyesatkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut baik pengiklan, perusahaan iklan, media periklanan. Mengenai bentuk tanggung jawab dapat berupa product liability atau profesional liability atau kedua-duanya tergantung bobot dan sejauh mana pelaku usaha itu terlibat dalam pembuatan iklan tersebut.
Proses terjadinya suatu iklan, baik melalui media cetak atau elektronik, pada umumnya inisiatifnya datang dari para pengiklan (produsen, distributor, suplier dan retailer). Kemudian perusahaan iklan dan/atau media periklanan dengan persetujuan pengiklan secara kreatif menerjemahkan inisiatif tadi dalam bahasa periklanan untuk ditayangkan atau dimuat dalam media sebagai informasi produk bagi konsumen luas. Masalah tanggung jawab muncul dalam hal:
1.      Informasi produk yang disajikan iklan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2.      Menyangkut kreatifitas perusahaan periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas etika periklanan.
Dalam butir 1 di atas, yang bertanggung jawab adalah pengiklan, karena sudah menyangkut produk yang dijanjikan pada konsumen melalui iklan. Konsumen dapat meminta pertanggungjawaban pelaku usaha didasarkan pada product liability.
Sebaliknya dalam butir 2, yang bertanggung jawab adalah pengiklan serta perusahaan iklan dan/atau media. Perusahaan dan media iklan ini tidak dapat begitu saja menolak bertanggung jawab dengan dalih “kami hanya membuat dan menayangkan iklan, materinya tanggung jawab pengiklan”. Ketiga pelaku usaha tersebut dapat dimintakan pertanggungjawaban secara renteng apabila iklan yang ditayangkan menyesatkan konsumen, mengingat dalam peristiwa tersebut pelakunya tidak hanya seorang atau satu pihak saja.
Pelaku usaha dalam mengiklankan produknya di media cetak atau elektronik harus mempunyai itikad yang baik dan memenuhi prestasinya secara baik. Jika kemudian konsumen membeli produk yang diiklankan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan isi kebenaran yang ditayangkan dalam iklan tersebut, maka pelaku usaha tidak melakukan prestasi secara benar. Jadi dengan demikian dapat dikemukakan bahwa apabila konsumen yang memakai barang yang diiklankan dan tidak sesuai dengan yang ditawarkan oleh pelaku usaha dalam iklannya, maka konsumen dapat menggugat pelaku usaha tersebut berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dan Bab X Pasal 45 dan Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Upaya menggugat pelaku usaha karena telah melakukan perbuatan melawan hukum tidak perlu adanya hubungan langsung antara korban dan pelaku usaha, namun konsumen sebagai korban harus mampu membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut:
1.         Telah melakukan perbuatan malawan hukum.
2.         Telah melakukan kesalahan.
3.         Telah menimbulkan kerugian terhadap konsumen.
4.       Terdapat hubungan kausal antara perbuatan hukum tersebut dengan kerugian yang diderita korban.
Dilihat dari kepentingan konsumen sebagai korban untuk memperoleh ganti rugi, maka konstruksi peraturan semacam ini jelas sangat memberatkan konsumen. Konsumen yang telah menjadi korban dari kesalahan pelaku usaha, tetapi ketika ia akan menggugat ganti rugi ia masih harus pula untuk membuktikan terlebih dahulu empat hal di atas. Hal ini dirasakan tidak adil bagi konsumen, karena kedudukan konsumen secara sosial ekonomi lebih lemah dibandingkan pelaku usaha. Oleh karena itu, untuk memungkinkan tanggung jawab pelaku usaha diperkenalkan ide tentang tanggung jawab pelaku usaha diperkenalkan ide tentang tanggung jawab mutlak (strict liability), yang diikuti dengan beban pembuktian dari konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum. Artinya, apabila konsumen akan menuntut pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum, konsumen tidak harus membuktikan kesalahan pelaku usaha karena dengan adanya strict liabiity pelaku usaha langsung dianggap bersalah dan unsur kesalahan langsung dibebankan pada pelaku usaha yang wajib membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Undang-undang Perlindungan Konsumen menganut prinsip tanggung jawab langsung (strict liability), yaitu dengan adanya tanggung jawab produk (product liability) dan tanggung jawab atas jasa (profesional liability) yang merupakan tanggung jawab produk perdata yang didasarkan dari tanggung jawab secara langsung. Tanggung jawab pelaku usaha tersebut tersirat dalam Pasal 7 sampai Pasal 11 dan lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) undang-undang Perlindungan Konsumen. Hal ini membuka peluang bagi konsumen agar dapat memperoleh suatu produk (barang dan/atau jasa) yang sesuai dengan yang dijanjikan dan sekaligus melahirkan tanggung jawab di pihak pelaku usaha (produsen) untuk memberikan ganti kerugian apabila produk yang diiklankan menjadi penyebab timbulnya kerugian di pihak konsumen.
Tanggung jawab tersebut timbul karena adanya kesalahan di pihak pelaku usaha (based on fault), karena karakter dasar strict liability pada dasarnya adalah perbuatan melawan hukum, maka unsur-unsur yang dibuktikan konsumen, yaitu:
1.         Unsur perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku usaha.
2.         Unsur kerugian yang dialami konsumen dan ahli waris.
3.         Unsur adanya hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian tersebut.
sedangkan unsur kelalaian atau kesalahan tidak menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikannya tetapi pelaku usahalah (produsen) yang harus membuktikan kerugian yang diderita konsumen dan bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya. Hal ini menyebabkan konsumen tidak lagi direpotkan oleh kewajiban untuk membuktikan kesalahan atau kelalaian pelaku usaha dan kepentingan pelaku usaha tetap terlindungi apabila kerugian yang dialami oleh konsumen benar-benar bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya.
Di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen ketentuan yang mengisyaratkan adanya tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7-Pasal 11, Pasal 19 ayat (1) UUPK secara lebih jelas dan tegas merumuskan mengenai tanggung jawab produk ini dengan menyatakan bahwa “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Hal ini menunjukkan bahwa undang-undang tersebut menganut strict liability without false atau pertanggung jawaban tanpa pembuktian. Artinya jika konsumen akan menuntut kepada pelaku usaha, maka pelaku usaha langsung dianggap bersalah dan unsur kesalahan tersebut langsung dibebankan kepada pelaku usaha. Prinsip tanggung jawab langsung (strict libility) ini merupakan dasar dari bentuk tanggung jawab produk (product liability) dan profesional libility.
Undang-undang Perlindungan Konsumen menganut juga sistem pembuktian terbalik. Hal ini berarti bahwa beban pembuktian (ada atau tidak adanya kesalahan) berada pada pelaku usaha. Pasal 22 menegaskan beban pembuktian pada pelaku usaha dalam perkara pidana pelanggaran Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 dan Pasal 21 dengan tidak menutup kemungkinan jaksa untuk melakukan pembuktian. Selanjutnya begitu pula dalam perkara perdata ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 menyangkut pelanggaran Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23.
Mengenai tanggung jawab pelaku usaha periklanan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen terdapat dalam Pasal 20 yang mengatakan bahwa “pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan tersebut”. Semua pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas kebenaran isi dari iklan mengenai produk yang dipromosikan untuk memasarkan dan menawarkannya kepada konsumen, perusahaan iklan harus bertanggung jawab atas iklan yang dibuatnya atas hasil kreatifitasnya dan media periklanan bertanggung jawab atas penayangan iklan tersebut. Berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 28 bahwa tanggung jawab untuk membuktikan adanya kesalahan atas iklan yang dibuat oleh pelaku usaha periklanan dan segala akibat yang ditimbulkannya adalah tanggung jawab pelaku usaha periklanan sendiri. Jadi pelaku usaha dianggap telah bersalah kecuali ia mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Seandainya ia gagal membuktikannya, maka ia harus bertanggung jawab mengganti rugi atas kerugian yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi produknya.
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu analisis bahwa pada umumnya tangung jawab atas iklan yang menyesatkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam pembuatan iklan tersebut baik pengiklan, perusahaan iklan, media periklanan. Mengenai bentuk tanggung jawab dapat berupa product liability atau profesional liability atau kedua-duanya tergantung bobot dan sejauh mana pelaku usaha itu terlibat dalam pembuatan iklan.












BAB III
PENUTUP
3.1.   Simpulan
Berdasarkan uraian pada Bab Pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pertanggungjawaban  pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) khususnya terdapat dalam Pasal 20. Sistem pembuktiannya adalah sistem pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 28. Prinsip pertanggungjawaban yang terdapat dalam UUPK adalah strict liability atau tanggung jawab secara langsung/mutlak. Tanggung jawab secara langsung tersebut tersirat dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 11 dan lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPK.
Pelaku usaha periklanan terdiri dari pengiklan, perusahaan iklan, dan media massa iklan. Semua pelaku usaha periklanan harus bertanggung jawab sesui dengan bobot keterlibatannya dalam proses pembuatan iklan.
2.      Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen atas iklan yang menyesatkan adalah dengan cara mengajukan gugatan. Mengajukan gugatan dapat dilakukan dengan :
a.       Seorang konsumen yang atau ahli warisnya.
b.      Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (clas action).
c.       Lembaga Perlindungan Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat.
d.      Pemerintah dan/atau instansi terkait.
Mengenai upaya penyelesaian sengeketa menurut UUPK dapat dilakukan dengan cara :
a.       Penyelesaian di luar pengadilan, yang dapat dilakukan dengan cara :
1)      Penyelesaian secara damai, yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen ini.
2)      Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK
b.      Penyelesaian melalui pengadilan sesuai dengan undang-undang tentang lembaga peradilan.
3.2.   Saran
Perlu adanya kerjasama antara konsumen, pelaku usaha, lembaga-lembaga konsumen dan pemerintah agar UUPK dapat diterapkan dengan baik sesuai dengan tujuannya serta perlunya kegiatan mensosialisasikan UUPK yang dapat dilakukan oleh siapapun baik pemerintah, pelaku usaha, lembaga-lembaga konsumen, Perguruan Tinggi, maupun instansi pemerintah dilingkungan masing-masing dengan melakukan penyuluhan kepada konsumen mengenai hak dan kewajiban yang dimilikinya dan pelaku usaha supaya mengetahui batas-batas aturan yang tidak boleh dilanggar. Peranan lembaga lembaga konsumen harus lebih ditingkatkan dalam melayani pengaduan, keluhan dan memberikan informasi kepada konsumen. Pemerintah atau instansi yang berwenang harus bertindak secara cepat dan konsisten sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam menanggapi pengaduan atas permasalahan konsumen.














DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Depdikbud, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Liliweri, Alo, 1996, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Balai Citra Aditya Bakti, Bandung.
Nasution, Az., 1995, Konsumen dan Hukum, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta.
___________, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Wedya, Jakarta.
Noviani, Ratna, 2002, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta. 
Sofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan Istrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Transkrip Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan tentang Periklanan, BPHN, Jakarta, 1995.
Undang-Undang :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821 Tahun 1999.