Selasa, 29 Januari 2013

Klausula Eksonerasi Pada Karcis Parkir




Klausula Eksonerasi Pada Karcis Parkir Dan
Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Konsumen

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata Kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen

Oleh:
Rudi Hartono            :8111 410 174







FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

BAB I
PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang Permasalahan
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pada tahun 1999 telah lahir Undang-Undang perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada konsumen. dalam undang undang ini juga dijelaskan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian memang perlu di atur karena untuk menghindari sikap negatuf pelaku usaha terhadap konsumen.
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianggap sebagai sasaran utama para pelaku usaha dengan tidak memrhatikan efek baiknya dengan kata lain konsumen merupakan faktor yang sering mendapat perlakuan negatif dari pelaku usaha. Undang-undang tentang perlindungan konsumen ini memanag telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang ada dalam undang-undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen. contohnya adalah, Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan produk-produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi ditumbuhi jamur dan bakteri yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Peristiwa peristiwa seperti itu tentunya sangat merugikan konsumen, maka seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab dengan kejadian tersebut sebagai implementasi dari undang undang nomor 8 tahun 1999.

Perlindungan konsumen adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli maupun dalam bentuk barang maupun jasa. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
Beberapa contohnya adalah :
Ø  Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan produk-produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi ditumbuhi jamur dan bakteriyang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Ø  Masih ditemukan ikan yang mengandung formalin dan boraks, seperti kita ketahui bahwakedua jenis cairan kimia ini sangat berbahaya jika dikontaminasikan dengan bahan makanan,ditambah lagi jika bahan makanan yang sudah terkontaminasi dengan formalin dan borakstersebut dikonsumsi secara terus-menerus akibat ketidaktahuan konsumen makakemungkinan besar yang terjadi adalah timbulnya sel-sel kanker yang pada akhirnya dapatmemperpendek usia hidup atau menyebabkan kematian.
Ø  Daging sisa atau bekas dari hotel dan restoran yang diolah kembali, beberapa waktu lalu public digemparkan dengan isu mengenai daging bekas hotel dan restoran yang diolahkembali atau dikenal dengan sebutan daging limbah atau daging sampah. Mendengar namanya saja kita akan merasa jijik dan seakan-akan tidak percaya pada hal tersebut, namunfakta menyebutkan bahwa dikawasan cengkareng, Jakarta Barat telah ditemukan sertaditangkap seorang pelaku pengolahan daging sampah. Dalam pengakuannya pelakumenjelaskan tahapan-tahapan yang ia lakukan, yaitu ; Limbah daging dibersihkan lalu dicucidengan cairan formalin, selanjutnya diberi pewarna tekstil dan daging digoreng kembalisebelum dijual dalam berbagai bentuk seperti sup, daging empal dan bakso sapi. Dan halyang lebih mengejutkan lagi adalah pelaku mengaku bahwa praktik tersebut sudah ia jalaniselama 5 (lima) tahun lebih.
Ø  Produk susu China yang mengandung melamin. Berita yang sempat menghebohkan publik China dan juga Indonesia adalah ditemukannya kandungan melamin di dalam produk- produk susu buatan China. Zat melamin itu sendiri merupakan zat yang biasa digunakandalam pembuatan perabotan rumah tangga atau plastik. Namun jika zat melamin inidicampurkan dengan susu maka secara otomatis akan meningkatkan kandungan protein padasusu. Walaupun demikian, hal ini bukan menguntungkan para konsumen justru sebaliknyahal ini sangat merugikan konsumen. Kandungan melamin yang ada pada susu inimenimbulkan efek samping yang sangat berbahaya.
Faktanya banyak bayi yang mengalami penyakit-penyaktit tidak lazim seperti, gagal ginjal, bahkan tidak sedikit dari mereka yangmeninggal dunia. Dari keempat contoh diatas dapat kita ketahui bahwa konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan. Selain konsumen harus membayar dalam jumlah atau harga yang boleh dikatakan semakin lama semakin mahal, konsumen juga harus menanggung resiko besar yangmembahayakan kesehatan dan jiwanya hal yang memprihatinkan adalah peningkatan harga yang terus menerus terjadi tidak dilandasi dengan peningkatan kualitas atau mutu produk. Hal-hal tersebut mungkin disebabkan karena kurangnya pengawasan dari Pemerintah serta badan-badan hukum seperti Dinas kesehatan, satuan Polisi Pamong Praja, serta dinasPerdagangan dan Perindustrian setempat. Eksistensi konsumen tidak sepenuhnya dihargai karena tujuan utama dari penjual adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam jangka pendek bukan untuk jangka panjang.
      Lebih  luas dari hal itu para warga masyarakat yang sering meninggalkan kendaraan bermotornya dalam ruang tempat parkir juga termasuk dalam kategori konsumen, maka dengan kata lain pengguna lahan parkir adalah termasuk dari salah satu pengguna jasa yaitu tempat parkir, diharapkan pelaku usaha atau penggelola parkir dapat menjamin dari segala kerugian yang diderita oleh pengguna jaa parkir, akan tetapi konsumen tempat parkir juga kerap kali menjadi pihak yang dirugikan jika terjadi kehilangan atas kendaraannya maupun barang yang dalam kendaraan maupun kerusakan-kerusakan yang terjadi selama waktu penitipan dalam tempat parkir. Hal ini dikarenakan sering adanya eksoneri atau klausa baku pada kartu parkir. Oleh karena itu, menarik untuk saya susun masalah ini dalam bentuk makalah yang berisi tentang Perlindungan konsumen.  Dalam makalah ini saya akan menjelaskan lebih lanjut tentang lahan parkir di Indonesia, apakah yang harus dituntut konsumen parkir maupun bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pengguna lahan parkir jika terjadi kerusakan maupun kehilangan kendaraan selama diparkir, serta membuat solusi yang mungkin akan berguna bagi pembaca khususnya mahasiswa/i maupun khalayak umum  dimasa mendatang.
1.2   Permasalahan
            1.2.a Bagaimana asas-asas dalam hukum perlindungan konsumen ?
            1.2.b Bagaimana tindakan pelaku usaha jika terdapat kasus adanya kerugian yang diderita oleh konsumen sebagai pengguna barang dan atau jasa?
          1.2.c Apakah tanggung jawab pelaku usaha terhadap kasus telah terlaksana dengan baik atau belum, bagaimana intervensi pemerintah dengan adanya klausa baku parkir serta hubungan pengguna jasa dengan konsumen ?
1.3   Tujuan Penulisan
      Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a.      Untuk mengetahui Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha pada kasus eksonerasi atau Klausula Baku  Perlindungan Konsumen Parkir, dan Hak-hak Konsumen yang di Perlakukan Tidak Adil ;
b.      Untuk mengetahui apakah tanggung jawab pelaku usaha ;
c.       Untuk mengetahui kasus mengenai perlindungan konsumen dan analisis hukumnya.










BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Perumusan Masalah
            2.1.a Pengguna jasa lahan parkir merupaka salah satu bentuk konsumen yang dijelaskan lebih rinci pada penggertian konsumen yaitu setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yakni :
1. Asas manfaat
Harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk melaksanakan kewajiban dan haknya secara adil.
3. Asas keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan
Memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Baik pelaku maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan dari perlindungan konsumen adalah untuk meningkatan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat konsumen; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,  menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akases untuk mendapat informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.1.b Adapun jika terdapat kerugian yang diderita oleh pengguna jasa parkir, maka Undang-undang menggatur adanya  upaya-upaya yang dapat dilakukan  olehnya untuk menuntut dari kerugiannya tersebut.
Dalam Pasal 19 mengatur tanggung  jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau diperdgangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.  Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi dengn pengembalian uang, penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,  perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
ü  Contoh kasus : Bagaimana jika Motor Hilang di Parkiran, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kehilangan kendaraan di lokasi parkir pasti tidak diinginkan pemiliknya. Dalam praktik, memang umum ditemui pengelola parkir yang memasang tulisan ”kehilangan barang bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir” di lokasi parkir sebagai bentuk pengalihan tanggung jawabnya atas kendaraan yang hilang atau barang yang hilang dalam kendaraan. 
Pencantuman tulisan seperti di atas pada karcis atau lokasi parkir yang berisi pernyataan bahwa tidak bertanggung jawab atas kehilangan dikenal dengan eksoneri atau klausula baku. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) pencantuman klausula baku oleh pelaku usaha yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha adalah dilarang, dan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK klausula tersebut dinyatakan batal demi hukum.  
Dalam hal hilangnya kendaraan milik konsumen, pemilik tempat parkir tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja. Pemilik tempat parkir dapat digugat secara perdata karena Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365, 1366, dan 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”).

 Pasal 1365
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

 Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya

Pasal 1367
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. 
Selain itu, dalam Putusan MA No 3416/Pdt/1985, majelis hakim berpendapat bahwa perparkiran merupakan perjanjian penitipan barang. Oleh karena itu, hilangnya kendaraan milik konsumen menjadi tanggung jawab pengusaha parkir. Di sisi lain, secara pidana, ada Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menentukan bahwa:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” 
Akan tetapi, dalam pasal tersebut ada unsur “dengan sengaja” yang harus dipenuhi. Sehingga, jika pemilik tempat parkir tidaklah sengaja menghilangkan kendaraan (dalam hal ini motor), melainkan lalai, maka tidak dapat dituntut atas dasar Pasal 406 ayat (1) KUHP. Tentunya unsur kelalaian atau kesengajaan ini kemudian harus dibuktikan dalam proses pembuktian di pengadilan.  Umumnya, pemilik kendaraan atau pengguna jasa tempat parkir lebih mengutamakan untuk memperoleh ganti kerugian atas kerugian yang dialaminya, yakni hilangnya kendaraannya. Oleh karena itu, penyelesaian melalui jalur perdata lebih banyak dipilih untuk memperoleh ganti kerugian. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi para pihak untuk menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.
Jadi, pemilik atau pengelola tempat parkir harus bertanggung jawab terhadap kendaraan yang telah dititipkan kepadanya, dan konsumen parkir yang dirugikan karena  kendaraannya hilang di lokasi parkir dapat menggugat pemilik atau pengelola tempat parkir secara perdata.

2.1.c      Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam UU perlindungan konsumen pasal 19 yaitu :
UU No.8 tahun 1999 Pasal 19,
1).        Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2).        Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3).        Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4).        Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5).        Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Inti dari pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang di sebutkan pada pasal 19 ayat 1, Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
      Berdasarkan ayat 2 pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.
            Hubungan antara pemilik kendaraan yang diparkir dengan pihak pengelola parkir sesungguhnya adalah hubungan antara konsumen dengan produsen (jasa). Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) pasal 1 butir 2 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus disetujui dan diikuti oleh konsumen.
Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”. Bisnis perparkiran sendiri sebenarnya adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar bagi pengelolanya. Karena itu jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir harus lebih diseimbangkan.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sesungguhnya pencantuman klausula baku ini telah dilarang oleh UUPK. Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, di antaranya apabila klausula tersebut menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha dan menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan tersebut dinyatakan batal demi hukum. Dalam penjelasan UUPK dinyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak, di satu sisi, memang seolah-olah mengesahkan keberadaan klausula baku tersebut.
Selama para pihak yang terlibat setuju-setuju saja maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun di sisi lain asas kebebasan berkontrak tidaklah adil bila diterapkan pada dua pihak yang memiliki posisi tawar yang tidak seimbang.
Dalam kasus ini kedudukan konsumen memang lebih rendah jika d bandingkan pelaku usaha yang seharusnya adalah tidak demikian. Dalam pasal 9 ayat 1 UUPK jelas di sebutkan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.



BAB III
PENUTUP
3.1.   Simpulan
            UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau jasa; hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
  • Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
  • Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
  • Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
  • Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
  • Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
  • Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
  • Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Asas-asas dalam perlindungan konsumen terbagi atas beberapa asas, diantaranya yaitu :
  • Asas manfaat.
  • Asas keadilan
  • Asas keseimbangan
  • Asas keamanan dan keselamatan, dan
  • Asas kepastian hukum.
UU No.8 tahun 1999 Pasal 19, tanggung jawab pelaku usaha:
a.       Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

b.      Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c.       Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

d.      Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

e.       Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

3.2.   Saran
                  Berdasarkan pembahasan diatas  bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
Saran yang dapat penulis berikan adalah, dalam pelaksanaannya Undang-Undang perlindungan konsumen di Indonesia saat ini harus lebih di tegakkan lagi agar tujuan dari pada undang undang itu sendiri dapat terlaksana dengan baik. Sehingga undang undang ini betul betul dapat menengkat harkat dan mmartabat konsumen serta dapat memberikan kepastian hukum yang jelas.










DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Dalam Seminar Nasional : Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Horison Hotel, Bandung. 8 April 2000.

Dasar hukum:
1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No.732);

Putusan:
Putusan MA No 3416/Pdt/1985

Tidak ada komentar:

Posting Komentar