Minggu, 18 November 2012

Pengertian dan Istilah Hukum Waris Adat


Pengertian dan Istilah Hukum Waris Adat

Di Indonesia ada tiga sistim hukum yang mengatur masalah pewarisan, yaitu hukum islam, hukum barat dan hukum adat. Masing-masing sistim hukum tersebut mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri. Hukum waris adat mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas bangsa Indonesia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Hilman Hadikusuma :
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat yang khas Indonesia, yang berbeda dari hukum islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya terletak dari latar belakang alam pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan dan kedamaian di dalam hidup. ( Hilman Hadikusumah, 1983 : hlm.19)

Selain itu hukum waris adat merupakan suatu peraturan yang mengatur masalah pewarisan adat. Sebagaimana dinyatakan oleh Soepomo. Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.( R.Soepomo, 1980 : hlm.81-82 ).
Hukum waris tidak saja terdapat dalam hukum adat, tetapi juga terdapat dalam hukum islam dan hukum barat. Hal ini bukan saja akibat adanya pembagian dalam pasal 163 dan pasal 131 I.S., tetapi kenyataannya sekarang masih terasa dan terdapat pembagian itu.
Untuk membedakan hukum waris dalam satu sistim hukum dengan hukum waris dalam sistim hukum lainnya, maka dalam hal ini digunakan istilah hukum waris adat. Istilah waris belum ada kesatuan arti, baik yang ditemui dalam kamus hukum maupun sumber lainnya. Istilah waris ada yang mengartikan dengan “harta peninggalan, pusaka atau hutang piutang yang ditinggalkan oleh seorang yang meninggal dunia seluruh atau sebagian menjadi hak para ahli waris atau orang yang ditetapkan dalam surat wasiat”. Selain itu ada yang mengartikan waris “yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal”.
Nampak ada perbedaan, disatu pihak mengartikan istilah waris dengan harta peninggalan dan dipihak lain mengartikan dengan orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut. Adanya perbedaan pendapat ini menunjukkan belum adanya keseragaman dalam bahasa hukum kita.
Untuk mendapatkan suatu pengertian yang jelas perlu adanya kesatuan pendapat tentang suatu istilah tersebut. Untuk mencapai itu, usaha yang dilakukan adalah menelusuri secara etimologi.
Istilah waris berasal dari bahasa Arab yang diambil alih menjadi bahasa Indonesia, yaitu berasal dari kata “warisa” artinya mempusakai harta, “waris artinya ahli waris, waris”. Waris menunjukkan orang yang menerima atau mempusakai harta dari orang yang telah meninggal dunia. Hal ini juga dapat dilihat dari “Sabda Nabi Muhammad SAW. : Ana warisu manla warisalahu artinya saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris (H.R Ahmad dan Abu Daud)”.
Dalam hukum adat istilah waris lebih luas artinya dari arti asalnya, sebab terjadinya waris tidak saja setelah adanya yang meninggal dunia tetapi selagi masih hidupnya orang yang akan meninggalkan hartanya dapat mewariskan kepada warisnya.
Hukum waris adat atau ada yang menyebutnya dengan hukum adat waris adalah hukum adat yang pada pokoknya mengatur tentang orang yang meninggalkan harta atau memberikan hartanya (Pewaris), harta waris (Warisan), waris (Ahli waris dan bukan ahli waris) serta pengoperan dan penerusan harta waris dari pewaris kepada warisnya.
Untuk mengetahui secara mendalam, berikut ini kemukakan pendapat dari para ahli hukum adat, seperti Ter Haar, Soepomo, Iman Sudiyat, Soerojo Wignyodipoero dan Hilman Hadikusuma.
Menurut Ter Haar BZN :
…hukum waris adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yang menarik perhatian, ialah proses penerusan dan peralihan kekayaan material dan immateriel dari turunan keturunannya.

Menurut Soepomo :
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang yang tidak terwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya.

Menurut Soerojo Wignyodipoero :
Hukum adat waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang materiil yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan kepada keturunannya serta sekaligus juga mengatur saat, cara dan proses peralihannya.( Soerojo Wignyodpoero, 1985 : 161)

Menurut Iman Sudiyat :
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerus / pengoperan dan peralihan /perpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari generasi ke generasi.

Menurut Hilman Hadikusuma :
…hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistim dan azas-azas hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.

Dari beberapa pendapat di atas terdapat suatu kesamaan bahwa, hukum waris adat yang mengatur penerusan dan pengoperan harta waris dari suatu generasi keturunannya. Hal ini menunjukkan dalam hukum adat untuk terjadinya pewarisan haruslah memenuhi 4 unsur pokok, yaitu :
1. adanya Pewaris;
2. adanya Harta Waris;
3. adanya ahli Waris; dan
4. Penerusan dan Pengoperan harta waris.

1 komentar: