Jumat, 29 Maret 2013

Benarkah Makanan Organik Bisa Bikin Subur dan Panjang Umur?

Jakarta, Makanan organik dianggap lebih sehat karena tidak banyak mengandung pestisida meski kandungan gizinya belum tentu setinggi makanan non-organik. Namun baru-baru ini sebuah studi mengungkapkan makanan organik dapat meningkatkan kondisi kesehatan, meski manfaat ini baru terlihat pada lalat buah.

"Kami tak tahu mengapa kondisi lalat yang diberi makanan organik jauh lebih baik daripada yang tidak. Itu mungkin membutuhkan studi lebih lanjut. Namun tampaknya ini akan jadi awal yang baik untuk memahami potensi manfaat kesehatannya, terutama pada manusia," ungkap ketua tim peneliti Ria Chhabra, seorang pelajar dari Clark High School di Plano, Texas.

Studi ini dilakukan oleh Chhabra yang mendapatkan gagasan setelah mendengar orangtuanya mendiskusikan apakah perlu membeli makanan organik untuk alasan kesehatan. Beruntung salah seorang gurunya, Dr. Johannes H. Bauer yang juga asisten profesor biologi Southern Methodist University, Texas bersedia membimbingnya.

"Jarang-jarang ada seorang anak SMA memiliki posisi yang begitu menonjol di lab. Tapi Ria memiliki energi dan keingintahuan yang sangat besar, hal itu meyakinkan saya untuk memberi kesempatan pada proyek ini," kata Bauer.

Dalam studi ini, lalat buah (Drosophila melanogaster) diberi makanan organik ataupun makanan konvensional atau non-organik diantaranya kentang, kedelai, kismis dan pisang. Setiap serangga diberi ekstrak dari masing-masing bahan makanan yang sudah diuji secara independen untuk menghindari pencampuran bahan.

Hasilnya, lalat buah yang diberi makanan organik memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik, lebih resisten terhadap stres oksidatif (yang berkaitan dengan pembentukan penyakit), lebih tahan lapar (mengindikasikan tingkat keberlangsungan hidup) dan hidup lebih lama atau panjang umur.

"Yang mengejutkan, pada sebagian besar tes yang kami lakukan, lalat buah yang diberi makanan organik memiliki performa yang lebih baik dalam tes dibandingkan lalat yang diberi makanan biasa," tandas Bauer seperti dilansir dari cbsnews, Jumat (29/3/2013).

Kendati begitu, dalam studi yang dipublikasikan di jurnal PLoS One ini Bauer mengakui jika tim peneliti belum yakin apakah makanan organik juga jauh lebih sehat bagi manusia.

Lagipula menurut Bauer, tim peneliti juga menemukan adanya hasil negatif atau netral pada sejumlah makanan seperti kismis. Artinya efek positif terhadap kesehatan bisa jadi spesifik pada makanan-makanan organik tertentu saja, tidak semuanya.

Kecanduan Terhadap Rokok Dipengaruhi oleh Faktor Genetis

Jakarta, Beberapa orang mungkin dapat melepaskan diri dari kecanduan nikotin rokok dengan mudah, tetapi orang lain mungkin dapat mengalami kesulitan dan cenderung menjadi perokok berat. Risiko kecanduan terhadap nikotin berbeda-beda pada masing-masing orang, dipengaruhi oleh faktor genetisnya.

Menurut studi yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Psychiatry, seseorang yang mulai merokok di usia remaja, cenderung menjadi perokok berat dan kebiasaan tersebut akan terus berlanjut sepanjang hidupnya. Ternyata, kecanduan nikotin ini berbeda pada orang yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada gen-nya.

Peneliti dari Duke University menemukan bahwa meskipun gen tidak mungkin membuat seseorang lebih cenderung untuk mencoba rokok, tetapi gen mungkin memainkan peran tentang bagaimana seseorang menjadi kecanduan terhadap nikotin. Penemuan ini menyoroti pentingnya menjauhkan rokok dari kehidupan anak di usia remaja.

Penelitian tersebut dilakukan dengan mengamati 1.037 pria dan wanita yang merupakan bagian dari Dunedin Multidisciplinary Health and Development Study di New Zealand. Peneliti telah mengikuti peserta sejak lahir sampai usia 38 tahun untuk mempelajari perilaku, kesehatan, dan gaya hidup.

Tim peneliti membuat sebuah 'skor risiko genetik' dengan mengamati penanda gen yang dianggap terkait dengan merokok. Berdasarkan skor risiko genetik tersebut, peneliti dapat memprediksi siapa saja diantara peserta studi yang lebih mungkin kecanduan nikotin.

Dari keseluruhan peserta studi, sebanyak 880 orang telah mencoba untuk merokok. Skor risiko genetik tidak bisa memprediksi siapa saja yang akan mencoba merokok, namun para peneliti menemukan bahwa seseorang dengan skor risiko genetik yang tinggi, 24 persen lebih mungkin menjadi perokok harian pada usia 15 tahun dan 43 persen lebih mungkin menjadi perokok harian di usia 18 tahun.

Sedangkan pada orang dewasa dengan skor risiko genetik yang tinggi, 27 persen lebih mungkin mempertahankan kebiasaan merokoknya dan 22 persen lebih mungkin mengalami kegagalan dalam upayanya berhenti merokok.

"Bagaimanapun, hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan risiko genetik yang tinggi terhadap kebiasaan merokok, tetap dapat mengembangkan kecanduan rokok meski dirinya mulai merokok ketika telah dewasa," kata Daniel Belsky, pemimpin penelitian dalam sebuah pernyataan yang ditulis Everyday Health, Kamis (28/3/2013).

Akan tetapi, orang dengan risiko genetis tinggi dan telah memulai kebiasaan merokok sejak remaja, akan lebih cenderung menjadi perokok berat di kemudian hari. Hal ini disebabkan karena risiko genetik tersebut akan lebih ampuh di kelompok usia remaja.

Sehingga, penting bagi orangtua untuk menjauhkan rokok dari anak-anaknya yang mulai menginjak remaja. Anda mungkin tidak dapat mengawasinya setiap saat selama 24 jam, tetapi yang perlu Anda lakukan adalah dengan memberikan perhatian dan pengarahan pada anak.

Anak yang kurang perhatian dari orangtua, cenderung mencari kesenangannya sendiri dan lebih mungkin mencoba untuk merokok. Bagaimanapun juga, risiko genetik terhadap rokok tersebut tidak akan menyebabkan kecanduan jika Anda tidak pernah memulai merokok.



Orang yang Tidur Larut Malam dan Bangun Siang Lebih Sukses Karirnya

Jakarta, Tidur larut malam dan kebiasaan begadang sering disebut-sebut tidak baik bagi kesehatan. Anehnya, sebuah penelitian baru-baru ini menemukan kebiasaan yang dianggap buruk tersebut justru meningkatkan kecerdasan, penalaran hingga kemampuan analitik.

Para peneliti dari University of Madrid meneliti hampir 1.000 orang remaja dan menemukan bahwa orang yang suka terjaga hingga larut malam lalu bangun siang memiliki beberapa kualitas yang lebih unggul dibanding yang tidur lebih dini, terutama aspek kecerdasan, penalaran, pemikiran konseptual dan analitis.

Orang yang sering bangun pagi memiliki nilai yang lebih tinggi di sekolah. Tapi untuk masalah kesuksesan karir, peneliti menemukan orang yang bangun siang lebih unggul. Peneliti menduga bahwa kecenderungan ini disebabkan karena perilaku yang dilakukan setelah matahari terbenam cenderung menarik orang dengan rasa ingin tahu yang besar.

"Orang yang bangun siang cenderung menjadi orang yang lebih kreatif, ekstrovert, penyair, seniman dan penemu. Sedangkan yang bangun pagi lebih banyak berpikir deduktif seperti yang sering dilakukan pegawai negeri dan akuntan," kata Jim Horne, profesor psikofisiologi di Loughborough University seperti dilansir Medical Daily, Kamis (28/3/2013).

Untuk membandingkan kedua tipe orang ini, Horne menegaskan ada 2 perbedaan yang mencolok. Orang yang tidur lebih larut malam dan bangun siang cenderung lebih sosial dan lebih berorientasi pada manusia. Sedangkan orang yang bangun pagi cenderung lebih mengutamakan berpikir logis.

Tak hanya itu, penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Emotion ini juga menunjukkan bahwa orang yang bangun pagi cenderung lebih bahagia. Diduga sebabnya karena jam biologis orang yang bangun pagi pada umumnya lebih sesuai dengan masyarakat.

Penelitian sebelumnya yang dilakukan Angkatan Udara AS juga menunjukkan bahwa orang yang bangun siang lebih unggul dalam 'berpikir lateral'. Penelitian lain dari University of Southampton juga menemukan bahwa orang yang bangun siang rata-rata memiliki penghasilan yang lebih besar.