BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyaknya kasus perceraian ataupun
kasus-kasus lain yang berhubungan dengan hukum keluarga muslim di Indonesia
cukup membuat sibuk aparat hukum yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
menjalankan fungsi Peradilan, sehingga kadang-kadang jumlah perkara yang masuk
di Peradilan tidak sebanding dengan jumlah hakim yang menangani perkara itu
guna memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan oleh para
pihak pencari keadilan.
Selain itu jenis perkara yang banyak
dan diajukan oleh para pihak pencari keadilan didominasi oleh kaum perempuan
yang seharusnya merasa terlindungi dengan adanya perjanjian yang berupa ta’lik
talak yang diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah
dilangsungkan, namun kenyataannya justru pelanggaran ta’lik talak membawa kaum
perempuan mengajukan tuntutan ke Pengadilan Agama di wilayah hukum
masing-masing Pengadilan di Indonesia. Namun
ada wilayah hukum tertentu yang jumlah perkaranya sedikit yang oleh karena
mempunyai komunitas tertentu dengan hukum kebiasaan atau tradisi budayanya
dibidang perkawinan yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan sebelum
dilaksanakan akad nikah menurut hukum Islam ternyata dapat mempertahankan
perkawinan mereka hingga salah satu dari pasangannya meninggal dunia.
Masyarakat hukum itu dinamakan
masyarakat hukum adat yang tersebar di seluruh Nusantara dengan agama, bahasa
dan adat istiadat yang beraneka ragam sehingga ada beberapa asas yang
membedakan corak / warna budaya Indonesia terakumulasi dalam
hukum Adat secara material, yaitu :
1. Mempunyai sifat kebersamaan
/ komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam
ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan itu mencakup lapangan hukum
adat.
2. Mempunyai corak magis
religius yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia.
3. Sistem hukumnya diliputi
oleh pikiran yang serba kongkrit, artinya memperhatikan banyaknya peristiwa /
kejadian dan berulang-ulangnya perhubungan antara manusia.
4. Hukum adat bersifat
visioner, artinya perhubungan-perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh
karena ditetapkan adanya suatu ikatan yang dapat dilihat.
Dengan demikian apabila boleh
berasumsi bahwa perkawinan yang dilaksanakan dengan suatu perjanjian perkawinan
yang bukan merupakan perjanjian ta’lik talak seperti yang tercantum dalam
Kompilasi Hukum Islam ternyata lebih dapat menekan lajunya angka perceraian di
suatu wilayah hukum Peradilan, karena perjanjian perkawinan yang dilaksanakan
cenderung memakai asas / hukum Perdata Barat.
BAB
II
PEMBAHASAN
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah seperti yang Penulis
uraikan di muka, maka diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakan sebenarnya sistem hukum menurut Hukum Perdata Barat dan Hukum
Islam ?
2.
Bagaimanakah perbedaan dan persamaan asas hukum perjanjian perkawinan menurut
Hukum Perdata Barat dengan Hukum Islam ?
Pengertian
Sistem Hukum menurut Hukum Perdata Barat dan Hukum Islam
Apabila berbicara tentang sistem hukum maka yang dimaksud
terlebih dahulu adalah arti dari istilah sistem itu sendiri yaitu menurut
Satjipto Rahardja dalam bukunya Ilmu Hukum : Sistem adalah suatu kesatuan yang
bersifat kompleks, terdiri dari bagian-bagian yang berhubungan dan bekerja
secara aktif untuk mencapai tujuan.
Dan secara garis besar makna sistem dapat digambarkan
menurut Shrode dan Voich sebagai berikut :
The term “system” has two important connotations which are
implicit, if not explicit, in almost any discussion of systems. The first is
the nation of system as an entity or thing which has a particular order or
structural arrangement of its parts. The second is the nation of system as a
plan, method, divice or procedure for accomplishing something. As we shall see,
these two nations are not markedly different, since order or structure is
fundamental to each.
Jadi, istilah sistem mengacu pada 2 hal yaitu pertama,
berupa sesuatu wujud (entitas) atau benda yang mempunyai tata aturan
atau susunan struktural dari bagian-bagiannya, seperti lembaga pemerintahan,
alam semesta, manusia dan kedua menunjuk pada suatu rencana, metode,
alat atau tata cara untuk mencapai sesuatu, seperti sistem kontrol, sistem
transportasi. Bahwa kedua pengertian ataupun penggunaan tersebut tidaklah
mempunyai perbedaan berarti, karena keteraturan, ketertiban atau adanya
struktur itu merupakan hal yang mendasar bagi keduanya. (terjemahan bebas).
Setelah diketahui makna sistem maka kata tersebut
dirangkaikan menjadi sistem hukum sehingga mengandung pengertian : Suatu
kesatuan peraturan-peraturan hukum yang terdiri atas bagian-bagian (hukum) yang
mempunyai kaitan (interaksi) satu sama lain, tersusun sedemikian rupa menurut
asas-asasnya yang berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
Namun hukum barulah dapat dikatakan sebagai sistem, menurut
Filler, jika memenuhi 8 asas yang dinamakannya “principles of legality”,
yaitu :
a.
Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan tidak boleh mengandung
sekedar keputusan ad hoc.
b.
Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
c.
Peraturan-peraturan tidak boleh ada yang berlaku surut.
d.
Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat dimengerti.
e.
Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu
sama lain.
f.
Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi apa yang
dapat dilakukan.
g.
Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah-ubah peraturan,sehingga
menyebabkan orang kehilangan orientasi.
h.
Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya
sehari-hari.
Di Indonesia, terdapat 3 sistem hukum yang eksis (living
law) yaitu :
a.
Sistem hukum adat
b.
Sistem hukum Islam
c.
Sistem hukum Barat (Belanda)
Sistem hukum adat adalah sistem hukum yang tidak tertulis
yang tumbuh dan berkembang serta terpelihara karena sesuai dengan kesadaran
hukum masyarakatnya, senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan perubahan dan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Yang berperan melaksanakan sistem hukum
adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang disegani dan berpengaruh dalam
lingkungan masyarakat adat demi memelihara ketertiban dan ketentraman
masyarakat.
Sistem hukum Islam dibedakan atas 2 macam yaitu syariat dan
fiqh. Syariat bersumber Al Qur’an dan Hadist tanpa adanya penafsiran lagi
sedangkan fiqh bersumber pada pendapat / pemikiran ulama (Ijma) dan Qiyas
(analogi).
Sistem hukum Barat (Belanda) diwujudkan dalam bentuk
Undang-undang yang disusun secara sistematis dan lengkap dalam bentuk kodifikasi
untuk adanya kepastian hukum. Karena pengaruh jajahan Belanda di Indonesia maka
kitab Undang-undang Hukum Perdata di negeri Belanda berdasarkan asas
konkordansi ditiru dalam membuatnya, maka untuk lebih jelasnya disini akan
ditinjau lebih dahulu berdasarkan awal sejarah pembentukannya yang hingga
sekarang ini masih eksis dipergunakan di Indonesia.
Sementara peraturan-peraturan hukum di suatu negara dapat
dikatakan sebagai satu sistem hukum, seperti halnya sistem hukum Indonesia.
Dalam sistem hukum Indonesia terdapat beranekaragam bidang hukum yang
masing-masing mempunyai sistemnya sendiri-sendiri sehingga timbulnya istilah
sistem hukum perdata, sistem hukum pidana, sistem hukum tata negara dan
sebagainya. Lalu dalam sistem perdata (Barat) misalnya terdapat lagi sistem
hukum orang, sistem hukum benda, sistem hukum perikatan dan sistem hukum
pembuktian.
Dengan demikian dalam suatu negara mengenal hirarki atau
tingkatan sistem hukum. Semua peraturan hukum positif di Indonesia merupakan
sistem hukum sekaligus juga merupakan sub-sub sistem hukum Nasional.
Sistem hukum adalah sistem abstrak (konseptual) sebab
terdiri atas unsur-unsur yang tidak kongkrit yang tidak menunjukkan kesatuan
yang dapat dilihat. Unsur-unsur dalam sistem hukum memiliki hubungan khusus dengan
unsur-unsur lingkungannya. Lain dari itu dikatakan juga bahwa sistem hukum
adalah sistem yang terbuka karena peraturan-peraturan hukum beserta
istilah-istilahnya yang bersifat umum terbuka untuk ruang interprestasi yang
berbeda dan untuk interprestasi yang lebih luas. Sistem hukum bersifat
konsisten (tetap) dan bulat, artinya utuh dalam kesatuannya, tidak boleh
bercerai-berai, antara teori dan prakteknya harus ada kecocokan dan kalaupun
terjadi bias atau penyimpangan karena adanya berbagai kepentingan dalam
masyarakat Indonesia yang majemuk maka akan berlaku secara konsisten asas-asas
hukum seperti :
1. Lex
specialis derogat legi generali
2. Lex
posteriori derogat legi priori
3. Lex
superior derogat legi inferiori
Sistem hukum perdata Barat (BW) yang berlaku di Indonesia
masih dipengaruhi oleh sistem hukum Eropa Kontimental yang berkembang di
negara-negara Eropa Barat, awal sekali di Prancis, lalu diikuti oleh
negara-negara Eropa Barat lainnya seperti Belanda, Jerman, Belgia, Swiss, Italia,
Amerika Latin dan termasuklah negara Indonesia pada masa penjajahan
pemerintahan Hindia Belanda dahulu.
Prinsip yang ditekankan pada dasar sistem hukum Eropa
Kontimental ini adalah Hakim sebagai corongnya Undang-undang karena hukum sudah
tersedia dan ada dalam bentuk Undang-undang yang lengkap dan tersusun secara
sistematis (kodifikasi). Hakim menurut sistem ini tidak akan dapat secara
leluasa untuk menciptakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat,
tetapi putusan hakim dalam suatu perkara hanyalah mengikat kepada
para pihak yang bersengketa saja.
Pengertian Hukum Perdata Barat sebenarnya tidak lepas dari
konteks sejarah karena setelah merdeka bangsa Indonesia masih belum memiliki
hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri tapi masih memakai peraturan
perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial Belanda, namun atas dasar
nasionalisme peraturan tersebut mengalami perubahan nama menjadi Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dari asalnya Burgerlijk Wetboek (BW) sedangkan kata
Barat mengacu pada pengaruh sistem hukum Eropa Barat / kontinental yang masih
sangat kental melekat terhadap materi kitab Undang-undang Hukum Perdata
tersebut.
Berbeda dengan sistem hukum Islam yang berlaku di Indonesia
berdasarkan teori reception in complex, maupun teori reception,
yang keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang tampaknya tidak bisa
dipisahkan karena sudah sejak sebelum tahun 1800 dan tahun-tahun sesudahnya
telah diakui bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam sebab penduduk telah
menganut agama Islam walaupun terdapat sedikit bias terhadap pelaksanaannya
karena adanya pengaruh dari teori reception yang mengatakan bahwa di
Indonesia berlaku hukum adat asli. Kedua teori tersebut tidak terlalu perlu
untuk dipertentangkan, namun perlu diambil jalan tengah oleh para ahli hukum
yang berkompeten dibidangnya sehingga tersusunlah suatu kitab undang-undang
hukum perdata (BW) untuk daerah jajahan Hindia Belanda sehingga masih berlaku
di Indonesia hingga kini sesuai aturan peralihan yang terdapat dalam UUD 1945.
Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Perdata Barat / BW dan Hukum Islam
Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII KUH
Perdata (BW) pasal 139 s/d 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan
berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan.
Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami
isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan
undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak
menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara
lain :
- Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
- Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
- Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
- Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.
Sedangkan hukum Islam seperti yang tercantum pada
Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya terdiri atas satu pasal
saja tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 29 menyatakan :
“Pada
waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut”.
Pembahasan dan Analisis
Setelah mengetahui dasar yuridis yang terdapat dalam hukum
Perdata Barat (BW) dan hukum Islam tentang Perjanjian Perkawinan, maka sekarang
tibalah pada pembahasan dan analisis sebagai berikut :
Tentang Kedudukan Sistem Hukum
Perdata Barat dan Sistem Hukum Perdata Islam di Indonesia.
Bahwa untuk melihat Sistem Hukum Perdata Barat dan Sistem
Hukum Perdata Islam dalam suatu perbandingan, maka dapat diketahui berdasarkan
sejarah pembentukannya dari masa ke masa sehingga kini dapat dipakai dan
tetap eksis oleh sebagian penduduk Indonesia berdasarkan penundukan diri mereka
terhadap sistem hukum barat tersebut, disamping sejarah pembentukan hukum Islam
yang memenuhi kepentingan umat Islam di Indonesia seperti halnya Undang-undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam merupakan
akumulasi sistem hukum Islam yang materinya sudah tersusun baik dan sudah
dianggap dapat memenuhi kebutuhan umat Islam di Indonesia.
Bagi mereka yang telah menundukkan diri terhadap Hukum Barat
tentu juga mempunyai alasan tersendiri secara pribadi terlepas dari penundukan
diri mereka secara diam-diam, secara sebagian maupun secara
keseluruhannya, namun yang jelas berdasarkan kajian buku yang ditulis
oleh Soetandyo Wignjosoebroto dipaparkan bahwa pengaruh perkembangan pendidikan
hukum atau kehakiman pada masa kolonial itu dibagi dalam 3 suasana sosio
politik yang dialami oleh pelajar Indonesia pada waktu itu yakni sebagai
berikut :
1.
Suasana pendidikan Rechtsschool di awal dasawarsa 1910-an, dimana ketika itu
anak-anak pelajar pribumi tidak mempunyai cita-cita apapun selain untuk menjadi
anak asuh yang baik dibawah perwalian pejabat-pejabat Belanda yang
paternalistik, dan kelak bisa bekerja sebagai Rechtsambtenaren yang
profesional.
2.
Suasana yang dialami para mahasiswa hukum ketika menempuh pendidikannya di
Universitas Leiden sekitar tahun 1920-an, yakni semasa mereka-sebagaimana dan
bersama-sama mahasiswa pribumi yang menempuh bidang-bidang kajian lain mulai
sadar pada pemikiran ideologi politik dan kenegaraan modern dan karena itu pula
lebih menyadari eksistensi mereka sebagai warga bangsa yang memiliki kebudayaan
yang unggul dan sejarah politik yang sangat bermakna.
3.
Suasana yang dialami dalam lingkungan Rechtshoogeschool selepas tahun 1925-an,
yakni semasa selapisan kaum terpelajar elit pribumi yang telah mulai marak
dengan ide-ide nasionalisme dan melahirkan pikiran-pikiran yang serba kritis
yang cenderung menolak kendali-kendali perwalian paternalistik yang pada waktu
itu tak hanya terpandang kolonial akan tetapi juga kolot.
Rechtsschool sebagaimana diharapkan semula didirikan untuk
menyiapkan tenaga-tenaga kehakiman landraad yang berkecerdasan tinggi untuk
memahami hukum yang berkembang atau hukum yang hidup (living law) menurut
konsep-konsep dan prosedur yang ditradisikan dalam budaya Eropa, yang
berintegritas tinggi untuk dapat menerapkannya secara jujur dan adil, tetapi
sekalipun demikian tetap juga masih berkemampuan dan berkepekaan untuk
mengenali dengan penuh penghayatan alam budaya simbolik bangsanya sendiri yaitu
bangsa pribumi. Namun kenyataannya tuntutan untuk lebih mengenali
formalitas-formalitas dan sistem nilai yang dijunjung tinggi dalam peradilan
model Eropa sangat nyata atau tampak lebih dominan dari waktu ke waktu,
sedangkan substansi-substansi normatif pribuminya agak dikesampingkan sehingga
dalam perkembangannya Rechtsschool tidak lagi setaraf sekolah dengan tingkat
yang sederhana untuk penyelenggaraan peradilan bagi orang pribumi melainkan
terkesan pada taraf yang kian tinggi, apalagi dengan dibukanya kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan ke Universitas Leiden, tidak hanya ke pendidikan khusus
yang sengaja distrukturkan untuk kepentingan kolonial pada saat itu sehingga
mendorong mahasiswa pribumi mengetahui dunia kehidupan hukum eropa dan
peradilan-peradilan lain yang tak terbatas hanya setaraf peradilan landraad
yang untuk orang pribumi itu.
Kenyataan ini sangat jelas menunjukkan bahwa gerak
perkembangan intelektual anak-anak pribumi menuju kepada dunia pemikiran barat
semakin bertambah untuk menghasilkan yuris-yuris akademisi yang dapat
diharapkan berfungsi di dalam sistem hukum kolonial. Akan tetapi yuris-yuris
muda pribumi lebih suka mengidentifikasikan dirinya sebagai orang-orang
yang netral dari kepentingan sebuah kekuasaan kolonial. Namun oleh sebab
pecahnya perang Pasifik sekolah tinggi hukum ini ditutup tetapi wawasan
falsafah pendidikannya yang liberal sedikit banyak berpengaruh memaksa dualisme
hukum di Indonesia tetap bertahan dan dipertahankan hingga sekarang ini.
Sekarang tibalah pada pembahasan pembentukan sistem hukum
Islam di Indonesia yang tentu saja tidak lepas dari pengertian syariat dan fiqh
yang dikembangkan berdasarkan pendapat ulama yang terkenal dengan 4 madzhab
yaitu Syafi’i, Maliki, Hanafi dan Hambali. Bahwa ulama madzhab sepakat tentang
pengertian Syariat, yakni nama umum yang diberikan kepada peraturan-peraturan
dalam agama Islam dan oleh ahli-ahli dirumuskan sebagai sesuatu yang tidak akan
diketahui seandainya tidak ada wahyu Ilahi. Definisi dari syariah
ini cukup luas dan termasuk ke dalamnya wahyu-wahyu Ilahi yang diturunkan pada
nabi-nabi bangsa Ibrani dan Nabi Isa dengan ketentuan, bahwa wahyu-wahyu mereka
itu hanya berlaku selama dikuatkan atau dibenarkan lagi oleh wahyu-wahyu yang
disampaikan pada Nabi Muhammad. Karena itu yang terakhir ini menjadi syari’ah
yang terutama. Kesimpulan kedua dari definisi tersebut adalah bahwa hanya apa
yang dengan jelas dicantumkan dalam wahyu Ilahi atau yang boleh dimasukkan ke
dalamnya secara analogi, yang sebetulnya termasuk syari’ah. Hal-hal yang
ditentukan oleh perkembangan kecerdasan terletak diluar syari’ah, karena hal
itu ditetapkan dengan akal.
Oleh karena ketentuan-ketentuan yang ada dalam syari’ah
dalam memakai analogi hukum itu berguna sebagai bukti-bukti dalam menetapkan
hukum syari’ah, maka para ahli menamainya bukti-bukti syari’ah. Tentang
sumber-sumber dari mana di dapat bukti-bukti tersebut, maka ahli-ahli
menentukan 4 macam bukti syari’ah itu yakni Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Hukum syari’ah atau hukum syar’i diartikan sebagai ketentuan
yang ditetapkan sebagai hasil dari wahyu Ilahi, misalnya, perbuatan berdusta
yang dilakukan oleh seseorang, yang dilarang menurut syari’ah, itulah yang
menjadi hukum syari’ahnya.
Ilmu yang memancarkan hukum syari’ah itu dari pada
bukti-bukti syariah adalah “ilmu fiqh” atau fiqh dan orang yang ahli dalam ilmu
ini adalah faqih. Fiqh itu diartikan juga secara khusus sebagai deduksi dari
hukum syari’ah mengenai amal atau perbuatan, masing-masing dari sudut pandang
bukti-bukti khusus. Dengan memakai istilah syari’ah dimaksudkan untuk
meninggalkan nilai-nilai akal dan pancaindra seperti beriman kepada Allah dan
Nabi-Nabi. Kata amal memisahkan teori yang misalnya mengatakan, bahwa
Ijma itu adalah suatu bukti yang sah untuk menetapkan hukum syari’ah. Dalam
kesimpulan itu tidak termasuk pengetahuan yang di dapat dari seorang Mujtahid
dan sebagai gantinya adalah penyelidikan langsung terhadap bukti-bukti. Maka
menurut ini seseorang tidak dinamai Faqih, apabila dia hanya mengetahui
hukum syari’ah. Dia hanya dinamai Faqih apabila dia sendiri dengan
penyelidikan dan pemikiran langsung (olehnya sendiri) menyimpulkan hukum-hukum
itu. Demikian definisi menurut ahli-ahli Syafi’i, sedangkan menurut Hanafi
adalah pengetahuan tentang hukum syari’ah itu saja adalah fiqh dan orang
yang mempunyai pengetahuan ini adalah faqih. Dengan kata l.ain,
seorang faqih itu tidak semestinya seorang mujtahid. Akhirnya istilah
khusus itu menunjukkan bahwa lapangan fiqh itu tidak langsung diperdapat dari
keempat bukti-bukti syari’ah yaitu Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Bukti-bukti
ini sebagaimana adanya, adalah terlalu umum (Ijmali) dan tidak sesuai dengan
maksud fiiqh sebelumnya disimpul;kan lagi oleh suatu ilmu khusus kepada
dalil-dalil yang masuk akal, masing-masing mengenai satu kumpulan hukum yang
khusus.
Pengetahuan yang khusus ini, yang mempersiapkan fiqh itu
dinamai penghetahuan tentang ushul fiqh atau menurut apa yang tertulis
dinamai ilmu tentang dasar-dasar fiqh. Dinamai begitu, karena keempat bukti
syari’ah yang tersebut di atas itu yang merupakan hal yang dibicarakan, menurut
analisa terakhir, adalah keempat dasar pada mana disandarkan
kesimpulan-kesimpulan fiqh. Ilmu ushul fiqh itu dirumuskan oleh ahli-ahli
sebagai pengetahuan tentang dasar-dasar untuk mendapatkan fiqh itu menurut
aturan yang sewajarnya atau sebenarnya. Ushul fiqh itu hanya membahas
dasar-dasar yang segera diperlukan untuk mendapatkan fiqh itu dengan kata lain,
ia tidaklah mengenai hal-hal yang kurang langsung seperti bahasa, ilmu nahwu
atau kalam, walaupun hal-hal ini perlu juga. Sebaliknya pernyataan menurut
aturan yang sewajarnya itu dimaksudkan untuk memisahkan hal-hal yang
berlawanan.
Fungsi ushul fiqh adalah untuk mempersiapkan
pendirian-pendirian yang digunakan dalam fiqh untuk menetapkan hukum syari’ah pada
kejadian atau peristiwa yang khusus. Jadi ushul fiqh itu menyelenggarakan
keterangan umum (qawaid kulliyah) bagi fiqh sebagai pendirian-pendirian yang
digunakan oleh fiqh dalam mendapatkan hukum yang berguna untuk kejadian atau
peristiwa yang khusus. Dengan singkat dikatakan bahwa ushul fiqh itu membahas
bukti-bukti syari’ah yakni dasar-dasar fiqh sepanjang yang boleh dipergunakan
sebagai bukti-bukti untuk menetapkan hukum syari’ah dan hukum syari’ah itu
sepanjang yang disimpulkan dari bukti-bukti syari’ah, namun tidak membahas apa
yang dinamai hukum syari’ah itu dalam peristiwa atau kejadian yang khusus,
yaitu fungsi dari fiqh. Bagian-bagian yang menjadi ushul fiqh dan fiqh itu
maupun kedudukan dari keduanya ini dalam lapangan ilmu pengetahuan secara umum
menurut madzhab Hanafi adalah :
1.
Akal (aqliyah) yang diperoleh melalui atau menggunakan akal pikiran dan
pancaindra.
2.
Naluri (naqliyah) yang diperoleh melalui kebiasaan yang turun temurun, yang
terbagi lagi menjadi 2 macam ilmu yaitu : ilmu kesusasteraan dan ilmu syari’ah.
Sedangkan ilmu syari’ah itu terbagi lagi atas 2 hal yakni :
a.
Asal (asliyah), termasuk :
-
Pembacaan al-Qur’an,
-
Penafsiran atau interpretasi al-Qur’an,
-
Hadist atau kebiasaan Nabi (sunnah).
b.
Yang disimpulkan (mustanbatah) , termasuk :
-
Itiqad, ilmu tentang ke-Esaan dan sifat-sifat Allah (kalam atau ushuludin).
-
Yang praktis (amaliyah) atau ilmu fiqh, yang terdiri atas ilmu tentang
dasar-dasar fiqh (ushul fiqh) dan ilmu pemakaian fiqh (furu’al fiqh atau fiqh).
Akhirnya fiqh itu dapat dimaknai secara luas yang meliputi :
1.
Perbuatan-perbuatan seseorang yang kesemuanya termasuk hak-hak Allah, seperti
shalat, puasa, zakat, berhaji ke Mekah, berjuang di jalan Allah dalam konteks
melawan kebatilan, dan hubungan negara dengan kafir dzimmi.
2.
Perbuatan-perbuatan seseorang yang kesemuanya termasuk hak-hak perseorangan,
terbagi lagi atas :
a.
Perbuatan dari yang hidup :
-
Perkawinan dan perceraian (munakahat).
-
Hukum sipil atau perdagangan (mu’amalat).
-
Pelanggaran-pelanggaran (uqubat)
b.
Perbuatan dari yang wafat/mati, yakni mengenai pusaka dan harta peninggalan
(faraid).
3.
Perbuatan-perbuatan seseorang dalam bentuk campuran dari hak-hak Allah dan
hak-hak perseorangan, disinilah dimungkinkan adanya ijtihad hukum dari seorang
mujtahid dan masuknya pendapat para ulama berdasarkan istimbath hukum
yang digunakan terhadap peristiwa/kejadian hukum yang terdapat dalam masyarakat
yang belum jelas hukumnya dari Al-Qur’an dan As-sunnah/Hadits.
Dengan demikian jika ingin diambil persamaannya maka antara
Hukum Perdata Barat dan hukum Islam itu sama-sama mempunyai kontribusi yang
sama terhadap Hukum Nasional Indonesia. Demikian pula antara Hukum Islam dengan
Hukum Adat mempunyai titik pertalian yang sama tergantung dari sudut mana
pandangan diarahkan dengan memperhitungkan kecenderungan pengaruh yang lebih
besar dari Hukum Eropa Barat (BW) ataukah hukum Islam murni (syariat).
Asas
Hukum Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Perdata Barat (BW) dan Hukum Islam
Setelah diketahui kedudukan Hukum Perdata Barat (BW) dan
Hukum Islam di Indonesia maka tibalah pada pembahasan yang lebih fokus yaitu
berkaitan dengan perikatan Perjanjian Perkawinan yang terdapat dalam BW maupun
hukum perdata Islam.
Dalam Hukum Perdata Barat atau kitab Undang-undang Hukum
Perdata (BW) sudah ada pasal-pasal yang mengatur tentang Perjanjian Perkawinan
secara khusus, namun ada kalanya perlu penafsiran secara umum terhadap
peristiwa dan hubungan hukum yang baru apabila pada ketentuan yang khusus belum
ditemukan peraturannya sehingga diperlukan asas hukum yang berlaku umum,
seperti halnya dengan perjanjian perkawinan ini maka akan mengacu pada buku
ketiga tentang perikatan yaitu pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat
yang diperlukan untuk sahnya suatu perjanjian dengan memenuhi 4 unsur :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.
Suatu hal tertentu.
4.
Suatu sebab yang halal.
Unsur kesepakatan para pihak dan kecakapan para pihak (no.1
dan 2) di atas merupakan syarat subjektif, sedangkan unsur suatu hal tertentu
dan suatu sebab yang halal (no.3 dan 4) merupakan syarat objektif.
Kemudian untuk isi suatu perjanjian ada asas kebebasan
berkontrak yang bisa dipakai untuk memperjanjikan apa saja dan tentang apa saja
perbuatan hukum yang perlu bagi suami isteri ketika perkawinan berlangsung.
Selanjutnya untuk pelaksanaan perjanjian perkawinan setelah
terjadinya suatu perkawinan antara suami isteri tersebut maka tergantung pada
itikad baik kedua belah pihak terhadap apa isi dari hal-hal yang diperjanjikan
tersebut.
Perjanjian perkawinan ini lebih sempit dari pada perjanjian
secara umum karena bersumber pada persetujuan saja dan pada perbuatan yang
tidak melawan hukum, tidak termasuk pada perikatan / perjanjian yang bersumber
pada Undang-undang.
Sungguh pun tidak ada definisi yang jelas tentang perjanjian
perkawinan ini namun dapat diberikan batasan bahwa hubungan hukum tentang harta
kekayaan antara kedua belah pihak, yang mana dalam satu pihak berjanji atau
dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan dipihak lain berhak
menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa mereka yang
mengikatkan diri dalam perjanjian perkawinan tersebut akan memperoleh jaminan
selama perkawinan berlangsung maupun sesudahnya sehingga untuk memutuskan
perkawinan berarti pula melanggar perjanjian maka merupakan hal yang sangat
jarang terjadi mengingat akibat-akibat hukum yang akan ditanggung / resiko bila
salah satu pihak ingkar terhadap perjanjian perkawinan tersebut, biasanya ada
sanksi yang harus diberlakukan terhadap pihak yang melanggar perjanjian
perkawinan tersebut.
Sedangkan menurut hukum Islam mengutip pendapat Gatot
Supramono : Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon
suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,
perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.
Persamaannya antara hukum BW dan hukum Islam adalah
dilakukan secara tertulis, sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan
perjanjian perkawinan tersebut, kalau menurut BW harus dilaksanakan dihadapan
notaris sedangkan menurut hukum Islam cukup dihadapan Pegawai Pencatat Nikah.
Kemudian berlaku mengikat terhadap pihak ketiga jika sudah didaftarkan pada
kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat dimana perkawinan dilangsungkan, demikian
menurut BW, sedangkan menurut hukum Islam berlaku mengikat terhadap pihak
ketiga sepanjang termuat dalam klausula / diperjanjikan dalam perjanjian
perkawinan tersebut.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
- Sistem Hukum Perdata Barat adalah apa yang termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dengan nama Burgerlijk Wetboek (BW) sebelum dinasionalisasikan, dan sistem hukum Islam adalah apa yang termuat dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Perdata Barat (KUH Perdata) dengan Hukum Islam mempunyai persamaan yaitu dilakukan secara tertulis, sedangkan perbedaannya terletak pada keabsahan dan kekuatan mengikatnya terhadap pihak ketiga.
SARAN
- Perlu diadakan penelitian / pengkajian lebih lanjut tentang kekuatan mengikat Sistem Hukum Perdata Barat (BW) dengan Sistem Hukum Islam di Indonesia.
Perlu diadakan penelitian / pengkajian lebih lanjut tentang
institusi Perjanjian Perkawinan berkaitan dengan tingkat perceraian di suatu
Yuridiksi Pengadilan Agama di seluruh Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
I. Peraturan /
Undang-undang :
-
Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
-
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1320.
II. Buku-buku
Iskandar, J. Eddy. Tt. Pengantar
Ilmu Hukum. Banjarmasin : Universitas Lambung Mangkurat.
P. Aghnides, Nicolas. (trans). 1956.
Pengantar Ilmu Hukum Islam. Solo : Sitti Sjamsijah.
Prodjohamidjodjo, Martiman. 2002. Hukum Perkawinan
di Indonesia. Jakarta : Indonesia Legal Center Publising.
Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Cet. III.
Jakarta : Citra Aditya Bakti
Shrode, William. Et.al. 1974. Organization and Management
: Basic Systems Concepsts. Malaysia : Irwin Book Co.
Supomo, R. 1965. Sistem Hukum di Indonesia.
Jakarta : Pradnjaparamita.
Supramono, Gatot. 1998. Segi-segi Hukum Hubungan
Luar Nikah. Jakarta : Djambatan.
Syaukani, Imam.
Et.al. 2003. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : Citra Aditya Bakti.
Wignjosoebroto, Soetandyo. 1994. Dari Hukum
Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
III. Kamus
Simorangkir,
J.C.T. Et.al. 1980. Kamus Hukum. Jakarta : Aksara Baru.
1.
R. Supomo. 1965. Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta : Pradnjaparamita.
Hal : 107.
2.
Satjipto Rahardja. 1991. Ilmu Hukum Cet.III. Jakarta : Citra Aditya
Bhakti. Hal : 48.
3.
William A. Shrode - Dan Voich, Jr. 1974. Organitation and Management : Basic
systems consepts. Malaysia : Irwin Book Co. Hal : 121.
4.
J. Eddy Iskandar. Tahun. Pengantar Ilmu Hukum (Badan Hukum).
Banjarnasin : Unlam. Hal : 10.
5.
Ibid. Hal : 11
6.
Imam Syaukani. et.al. 2003. Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta : Citra
Aditya Bakti. Hal : 66
7.
J.C.T. Simorangkin, Et.al. 1980. Kamus Hukum. Jakarta : Aksara Baru. Hal : 95
8.
Pencetusnya Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van Den Berg (1845 – 1927).
Ahli Hukum Islam dari Belanda .
9.
Pencetusnya Christian Snouck Horgrnje (1857 – 1936). Penasehat Pem. Hindia
Belanda tentang soal Islam.
10.
Soetandyo Wignjosoebroto. 1994. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada. Hal : 144.
11. Nicolas
P. Aghnides. 1956. Pengantar Ilmu Hukum Islam (trans). Solo : Sitti
Syamsiyah. Hal : 11-12.
12.
Martiman Prodjohamidjodjo. 2002. Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta
: Indonesia Legal Center Publising.
Hal : 29.
13. Gatot Supramono. 1998. Segi-segi Hukum Hubungan Luar
Nikah. Jakarta : Djambatan. Hal : 39.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar