Klausula
Eksonerasi Pada Karcis Parkir Dan
Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata
Kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen
Oleh:
Rudi Hartono :8111 410 174
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Permasalahan
Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pada tahun 1999 telah lahir
Undang-Undang perlindungan konsumen, yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun tahun
1999 tentang perlindungan konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum kepada konsumen. dalam undang undang ini juga dijelaskan mengenai
tanggung jawab pelaku usaha yang tentunya hal ini di atur untuk memberikan
kepastian hukum serta melindungi hak para konsumen tersebut. Hal demikian
memang perlu di atur karena untuk menghindari sikap negatuf pelaku usaha
terhadap konsumen.
Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh
para konsumen atas setiap produk bahan makanan yang dibeli dari produsen atau
pelaku usaha. Namun dalam kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianggap
sebagai sasaran utama para pelaku usaha dengan tidak memrhatikan efek baiknya
dengan kata lain konsumen merupakan faktor yang sering mendapat perlakuan
negatif dari pelaku usaha. Undang-undang tentang perlindungan konsumen ini
memanag telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari
undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain peraturan yang
ada dalam undang-undang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam beberapa kasus
banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan para konsumen yang
tentunya berkaitan dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam
tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para konsumen.
contohnya adalah, Makanan kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan
produk-produk kadaluarsa pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi
ditumbuhi jamur dan bakteri yang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Peristiwa peristiwa seperti itu tentunya sangat merugikan konsumen, maka
seharusnya pelaku usaha bertanggung jawab dengan kejadian tersebut sebagai
implementasi dari undang undang nomor 8 tahun 1999.
Perlindungan konsumen adalah
jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan
makanan yang dibeli maupun dalam bentuk barang maupun jasa. Namun dalam
kenyataannya saat ini konsumen seakan-akan dianak tirikan oleh para produsen.
Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang merugikan
para konsumen dalam tingkatan yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa
dari para konsumen.
Beberapa contohnya adalah :
Ø
Makanan
kadaluarsa yang kini banyak beredar berupa parcel dan produk-produk kadaluarsa
pada dasarnya sangat berbahaya karena berpotensi ditumbuhi jamur dan
bakteriyang akhirnya bisa menyebabkan keracunan.
Ø
Masih ditemukan
ikan yang mengandung formalin dan boraks, seperti kita ketahui bahwakedua jenis
cairan kimia ini sangat berbahaya jika dikontaminasikan dengan bahan
makanan,ditambah lagi jika bahan makanan yang sudah terkontaminasi dengan
formalin dan borakstersebut dikonsumsi secara terus-menerus akibat
ketidaktahuan konsumen makakemungkinan besar yang terjadi adalah timbulnya
sel-sel kanker yang pada akhirnya dapatmemperpendek usia hidup atau menyebabkan
kematian.
Ø
Daging sisa
atau bekas dari hotel dan restoran yang diolah kembali, beberapa waktu lalu
public digemparkan dengan isu mengenai daging bekas hotel dan restoran yang
diolahkembali atau dikenal dengan sebutan daging limbah atau daging sampah.
Mendengar namanya saja kita akan merasa jijik dan seakan-akan tidak percaya
pada hal tersebut, namunfakta menyebutkan bahwa dikawasan cengkareng, Jakarta
Barat telah ditemukan sertaditangkap seorang pelaku pengolahan daging sampah.
Dalam pengakuannya pelakumenjelaskan tahapan-tahapan yang ia lakukan, yaitu ;
Limbah daging dibersihkan lalu dicucidengan cairan formalin, selanjutnya diberi
pewarna tekstil dan daging digoreng kembalisebelum dijual dalam berbagai bentuk
seperti sup, daging empal dan bakso sapi. Dan halyang lebih mengejutkan lagi
adalah pelaku mengaku bahwa praktik tersebut sudah ia jalaniselama 5 (lima)
tahun lebih.
Ø
Produk susu China yang mengandung melamin. Berita yang sempat menghebohkan
publik China dan juga Indonesia adalah ditemukannya kandungan melamin di dalam
produk- produk susu buatan China. Zat melamin itu sendiri merupakan zat yang
biasa digunakandalam pembuatan perabotan rumah tangga atau plastik. Namun jika
zat melamin inidicampurkan dengan susu maka secara otomatis akan meningkatkan
kandungan protein padasusu. Walaupun demikian, hal ini bukan menguntungkan para
konsumen justru sebaliknyahal ini sangat merugikan konsumen. Kandungan melamin
yang ada pada susu inimenimbulkan efek samping yang sangat berbahaya.
Faktanya banyak
bayi yang mengalami penyakit-penyaktit tidak lazim seperti, gagal ginjal,
bahkan tidak sedikit dari mereka yangmeninggal dunia. Dari keempat contoh
diatas dapat kita ketahui bahwa konsumen menjadi pihak yang paling dirugikan.
Selain konsumen harus membayar dalam jumlah atau harga yang boleh dikatakan
semakin lama semakin mahal, konsumen juga harus menanggung resiko besar
yangmembahayakan kesehatan dan jiwanya hal yang memprihatinkan adalah
peningkatan harga yang terus menerus terjadi tidak dilandasi dengan peningkatan
kualitas atau mutu produk. Hal-hal tersebut mungkin disebabkan karena kurangnya
pengawasan dari Pemerintah serta badan-badan hukum seperti Dinas kesehatan,
satuan Polisi Pamong Praja, serta dinasPerdagangan dan Perindustrian setempat.
Eksistensi konsumen tidak sepenuhnya dihargai karena tujuan utama dari penjual
adalah memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dalam jangka pendek bukan untuk
jangka panjang.
Lebih
luas dari hal itu para warga masyarakat yang sering meninggalkan
kendaraan bermotornya dalam ruang tempat parkir juga termasuk dalam kategori
konsumen, maka dengan kata lain pengguna lahan parkir adalah termasuk dari
salah satu pengguna jasa yaitu tempat parkir, diharapkan pelaku usaha atau
penggelola parkir dapat menjamin dari segala kerugian yang diderita oleh
pengguna jaa parkir, akan tetapi konsumen tempat parkir juga kerap kali menjadi
pihak yang dirugikan jika terjadi kehilangan atas kendaraannya maupun barang
yang dalam kendaraan maupun kerusakan-kerusakan yang terjadi selama waktu
penitipan dalam tempat parkir. Hal ini dikarenakan sering adanya eksoneri atau
klausa baku pada kartu parkir. Oleh karena itu, menarik untuk saya susun
masalah ini dalam bentuk makalah yang berisi tentang Perlindungan
konsumen. Dalam makalah ini saya akan
menjelaskan lebih lanjut tentang lahan parkir di Indonesia, apakah yang harus
dituntut konsumen parkir maupun bagaimana upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh
pengguna lahan parkir jika terjadi kerusakan maupun kehilangan kendaraan selama
diparkir, serta membuat solusi yang mungkin akan berguna bagi pembaca khususnya
mahasiswa/i maupun khalayak umum dimasa
mendatang.
1.2
Permasalahan
1.2.a
Bagaimana
asas-asas dalam hukum perlindungan konsumen ?
1.2.b Bagaimana
tindakan pelaku usaha jika terdapat kasus adanya kerugian yang diderita oleh
konsumen sebagai pengguna barang dan atau jasa?
1.2.c Apakah
tanggung jawab pelaku usaha terhadap kasus telah terlaksana dengan baik atau
belum, bagaimana intervensi pemerintah dengan adanya klausa
baku parkir serta hubungan pengguna jasa dengan konsumen ?
1.3
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah :
a. Untuk
mengetahui Bagaimana tanggung jawab pelaku usaha pada kasus eksonerasi atau
Klausula Baku Perlindungan Konsumen
Parkir, dan Hak-hak Konsumen yang di Perlakukan Tidak Adil ;
b.
Untuk mengetahui apakah tanggung jawab pelaku usaha ;
c.
Untuk mengetahui kasus mengenai perlindungan konsumen dan analisis hukumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perumusan Masalah
2.1.a Pengguna jasa lahan parkir merupaka salah satu
bentuk konsumen yang dijelaskan lebih rinci pada penggertian konsumen yaitu
setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan.
Perlindungan konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yakni :
1. Asas manfaat
Harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku secara keseluruhan.
2. Asas keadilan
Memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku
usaha untuk melaksanakan kewajiban dan haknya secara adil.
3. Asas keseimbangan
Memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan
Memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau
jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum
Baik pelaku maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen serta negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan dari
perlindungan konsumen adalah untuk meningkatan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri; mengangkat harkat dan martabat
konsumen; meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; menetapkan sistem perlindungan
konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta
akases untuk mendapat informasi; menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen, sehingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung
jawab dalam berusaha; meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa kesehatan, kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan konsumen.
2.1.b Adapun jika
terdapat kerugian yang diderita oleh pengguna jasa parkir, maka Undang-undang
menggatur adanya upaya-upaya yang dapat
dilakukan olehnya untuk menuntut dari
kerugiannya tersebut.
Dalam Pasal
19 mengatur tanggung jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang
dihasilkan atau diperdgangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan,
pencemaran, kerusakan, kerugian konsumen.
Bentuk kerugian konsumen dengan ganti rugi dengn pengembalian uang,
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya,
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
ü Contoh kasus :
Bagaimana jika Motor Hilang di Parkiran, Siapa yang
Bertanggung Jawab?
Kehilangan
kendaraan di lokasi parkir pasti tidak diinginkan pemiliknya. Dalam praktik,
memang umum ditemui pengelola parkir yang memasang tulisan ”kehilangan
barang bukan menjadi tanggung jawab pengelola parkir” di lokasi parkir
sebagai bentuk pengalihan tanggung jawabnya atas kendaraan yang hilang atau
barang yang hilang dalam kendaraan.
Pencantuman tulisan seperti di atas pada karcis atau lokasi parkir yang
berisi pernyataan bahwa tidak bertanggung jawab atas kehilangan dikenal dengan
eksoneri atau klausula baku. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) pencantuman
klausula baku oleh pelaku usaha yang menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha adalah dilarang, dan berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UUPK
klausula tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Dalam hal hilangnya kendaraan milik konsumen, pemilik tempat
parkir tidak bisa melepaskan tanggung jawab begitu saja. Pemilik tempat
parkir dapat digugat secara perdata karena Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal
1365, 1366, dan 1367 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUHPer”).
Pasal 1365
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.
Pasal 1366
Setiap orang bertanggung jawab,
bukan hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan, melainkan juga
atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya
Pasal 1367
Seseorang tidak
hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan-perbuatan orang-orang
yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya.
Selain itu, dalam Putusan MA No 3416/Pdt/1985, majelis hakim
berpendapat bahwa perparkiran merupakan perjanjian penitipan barang. Oleh
karena itu, hilangnya kendaraan milik konsumen menjadi tanggung jawab
pengusaha parkir. Di sisi lain, secara pidana, ada Pasal 406 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menentukan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan,
membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.”
Akan tetapi, dalam pasal tersebut ada unsur “dengan sengaja” yang harus
dipenuhi. Sehingga, jika pemilik tempat parkir tidaklah sengaja menghilangkan
kendaraan (dalam hal ini motor), melainkan lalai, maka tidak dapat dituntut
atas dasar Pasal 406 ayat (1) KUHP. Tentunya unsur kelalaian atau
kesengajaan ini kemudian harus dibuktikan dalam proses pembuktian di
pengadilan. Umumnya, pemilik kendaraan
atau pengguna jasa tempat parkir lebih mengutamakan untuk memperoleh ganti
kerugian atas kerugian yang dialaminya, yakni hilangnya kendaraannya. Oleh
karena itu, penyelesaian melalui jalur perdata lebih banyak dipilih untuk
memperoleh ganti kerugian. Hal ini tidak menutup kemungkinan bagi para pihak
untuk menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan.
Jadi, pemilik
atau pengelola tempat parkir harus bertanggung jawab terhadap kendaraan yang
telah dititipkan kepadanya, dan konsumen parkir yang dirugikan karena
kendaraannya hilang di lokasi parkir dapat menggugat pemilik atau pengelola
tempat parkir secara perdata.
2.1.c Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Tanggung jawab pelaku usaha tercantum dalam UU perlindungan konsumen pasal
19 yaitu :
UU No.8 tahun
1999 Pasal 19,
1). Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2). Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3). Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4). Pemberian ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya
tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur
kesalahan.
5). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa
kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Inti dari pasal di atas adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala
kerugian yang timbul dari hasil produk/jasanya. Seperti yang di sebutkan pada
pasal 19 ayat 1, Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang
dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
Berdasarkan ayat 2 pasal yang sama, Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pemberian ganti rugi tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan.
Hubungan antara pemilik kendaraan yang diparkir dengan pihak pengelola
parkir sesungguhnya adalah hubungan antara konsumen dengan produsen (jasa).
Konsumen menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(“UUPK”) pasal 1 butir 2 adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang
lain, maupun makhluk hidup dan tidak untuk diperdagangkan.
Sebagaimana umum terjadi, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha
seringkali bersifat subordinat. Kedudukan produsen/pelaku usaha yang lebih kuat
salah satunya dilakukan dengan menetapkan syarat-syarat sepihak yang harus
disetujui dan diikuti oleh konsumen.
Syarat sepihak ini dikenal pula dengan istilah ”klausula baku”. Bisnis
perparkiran sendiri sebenarnya adalah bisnis yang menjanjikan keuntungan besar
bagi pengelolanya. Karena itu jaminan perlindungan hukum kepada konsumen parkir
harus lebih diseimbangkan.
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 UUPK yang
menyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Sesungguhnya pencantuman klausula baku ini telah dilarang oleh UUPK.
Mengenai larangan pencantuman klausula baku, Pasal 18 UUPK menyatakan bahwa
pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian, di antaranya apabila klausula tersebut menyatakan
pengalihan tanggungjawab pelaku usaha dan menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berwujud sebagai aturan baru, tambahan, lanjutan atau pengubahan
lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan
jasa yang dibelinya. Pelaku usaha juga dilarang mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan tersebut dinyatakan batal demi hukum.
Dalam penjelasan UUPK dinyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak, di satu sisi, memang
seolah-olah mengesahkan keberadaan klausula baku tersebut.
Selama para pihak yang terlibat setuju-setuju saja maka tidak ada yang
perlu dipermasalahkan. Namun di sisi lain asas kebebasan berkontrak tidaklah
adil bila diterapkan pada dua pihak yang memiliki posisi tawar yang tidak
seimbang.
Dalam kasus ini kedudukan konsumen memang lebih rendah jika d bandingkan
pelaku usaha yang seharusnya adalah tidak demikian. Dalam pasal 9 ayat 1 UUPK
jelas di sebutkan bahwa Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen diantaranya
adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan atau
jasa; hak untuk memilih
barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila
barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
- Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33.
- Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42 Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
- Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
- Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
- Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
- Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
- Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen
Asas-asas dalam perlindungan konsumen terbagi atas
beberapa asas, diantaranya yaitu :
- Asas manfaat.
- Asas keadilan
- Asas keseimbangan
- Asas keamanan dan keselamatan, dan
- Asas kepastian hukum.
UU No.8 tahun
1999 Pasal 19, tanggung jawab pelaku usaha:
a. Pelaku usaha bertanggung jawab
memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,dan/atau kerugian konsumen
akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
b. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang
sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Pemberian ganti rugi dilaksanakan
dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
d. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan
pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
e. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
3.2. Saran
Berdasarkan
pembahasan diatas bahwa hingga saat ini
perlindungan konsumen masih menjadi hal yang harus diperhatikan. Konsumen
sering kali dirugikan dengan pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau
penjual. Pelanggaran- pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran
dalam skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini
seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan. Pemerintah harus
segera menangani masalah ini sebelum akhirnya semua konsumen harus menanggung
kerugian yang lebih berat akibat efek samping dari tidak adanya perlindungan
konsumen atau jaminan terhadap konsumen.
Saran yang dapat penulis berikan
adalah, dalam pelaksanaannya Undang-Undang perlindungan konsumen di Indonesia
saat ini harus lebih di tegakkan lagi agar tujuan dari pada undang undang itu
sendiri dapat terlaksana dengan baik. Sehingga undang undang ini betul betul
dapat menengkat harkat dan mmartabat konsumen serta dapat memberikan kepastian
hukum yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Dalam Seminar
Nasional : Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, Horison Hotel, Bandung. 8 April 2000.
Dasar hukum:
1. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad
1847 No. 23);
2. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad
1915 No.732);
Putusan:
Putusan MA No 3416/Pdt/1985
Tidak ada komentar:
Posting Komentar