
TUGAS INDIVIDU
PENGGOLONGAN PENDUDUK
dan
PERADILAN INDONESIA PADA MASA HINDIA BELANDA
Untuk Memenuhi Tugas Harian
Mata Kuliah: Pengantar Hukum
Indonesia
Oleh :
Rudi Hartono 8111410174
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM,S1
FAKULTAS : FAKULTAS HUKUM
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“das recht wird nicht gemacht, aber ist und wird dem Volke” maksudnya
hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh bersama masyarakat, seperti yang
dikatakan oleh Friedrich Karl von Savigny mengenai hukum.1 Hukum berasal dari
jiwa masyarakat/volkgeist yang kegunaannya adalah seperti yang diungkapkan oleh
Mochtar Kusumaatmadja, yaitu : Hukum adalah seperangkat azas dan kaidah yang
mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan meliputi juga lembaga
(institusi) dan proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam
kenyataan.
Selanjutnya hukum memerlukan perangkatnya untuk dapat menegakkan hukum
itu sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Friedman dalam bukunya The Legal
System, yaitu3 :
- Substansi hukum adalah norma-norma hukum (peraturan- peraturan) yang dihasilkan dari produk hukum;
- Struktur hukum adalah kelembagaan yang diciptakan sistem hukum yang memungkinkan pelayanan dan penegakan hukum; dan
- Budaya hukum adalah ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai- nilai yang berhubungan dengan hukum (bisa positif/ negatif). Yang akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai struktur hukum itu sendiri atau disebut juga dengan perangkat hukum di Indonesia terdiri dari : badan peradilan, badan penegak hukum yaitu kepolisian, dan kejaksaan. Peradilan di Indonesia berfungsi untuk mendapatkan keadilan setelah tidak berhasil menempuh atau menggunakan jalur-jalur atau upaya-upaya hukum lainnya.
B.
Metode Penulisan
Pendekatan yang dilakukan dalam
penulisan “Perkembangan Peradilan Indonesia dari Zaman Kolonial sampai dengan
Kemerdekaan” adalah menggunakan pendekatan desktriptifnormatif.
C.
Permasalahan
Permasalahan yang timbul dalam
penulisan makalah ini, adalah bagaimana perkembangan peradilan Indonesia sejak
masa kolonial sampai dengan masa kemerdekaan.
BAB II
PERKEMBANGAN PERADILAN INDONESIA SEJAK MASA
HINDIA BELANDA SAMPAI DENGAN MASA
KEMERDEKAAN
Masa
Kerajaan Jika berbicara mengenai peradilan Indonesia maka kita tidak terlepas
dari hukum itu sendiri dan perkembangannya. Pertama sekali yang akan dibahas
adalah mengenai sejarah hukum yang berlaku di Indonesia. Masa Kerajaan di
Indonesia, peradilan dipegang sepenuhnya oleh raja dikarenakan tidak adanya
pemisahan kekuasaan seperti yang dimaksud oleh Montesquieu dalam “trias
politica” – nya. Seluruh badan negara seperti : eksekutif sebagai penyelenggara
pemerintahan; legislatif sebagai pembuat undang-undang/ peraturan; dan yudikatif
sebagai badan peradilan, dipegang oleh kekuasaan raja yang absolut.
Sebelum abad ke-7, Indonesia pada
saat itu menggunakan hukum adat asli pada daerah masing-masing. Dengan pengetua
adat yang menjadi hakim pada saat itu. Kepala Adat/ Suku, kampung, desa atau
apapun juga namanya berkewajiban untuk menyelesaikan perselisihan dan
menjatuhkan hukuman, yang pada umumnya didampingi oleh beberapa orang yang
disegani pada daerah tertentu sebagai penasehatnya. Pada abad VII sampai dengan
abad XIV, Indonesia pada saat itu menggunakan hukum adat yang ditambah dengan
hukum agama Hindu. Dikarenakan Hindu sudah mulai masuk ke Indonesia.
Dalam hal peradilan Indonesia telah
terjadi pemisahan di antara peradilan raja dengan peradilan yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat tertentu, yang terdiri dari : perkarapradata (perkara yang
menjadi urusan peradilan raja); dan perkarapadu (perkara yang tidak menjadi
urusan peradilan raja). Perkara pradata pada umumnya adalah perkara yang dapat
membahayakan mahkota, membahayakan keamanan dan ketertiban negara, sedangkan
perkarapadu yaitu perkara yang mengenai kepentingan rakyat perseorangan. Hukum
agama Hindu merupakan hukum yang melegitimasi kekuasaan raja. Raja adalah
penjelmaan dari paham negara. Perkara-perkara yang tidak ditangani oleh raja
diadili oleh pejabat negara yang disebut dengan jaksa. Menurut filsafat hukum
Hindu, raja bukan saja merupakan lambang negara, akan tetapi negara sendiri.
Pada
abad XIV sampai dengan abad XVII, hukum di Indonesia dipengaruhi oleh hukum
agama Islam selain agama Hindu dan hukum adat. Dengan masuknya agama Islam ke
Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan juga. Hukum Islam
pada akhirnya tidak saja menggantikan kedudukan hukum Hindu. Peradilan pada
masa ini terletak di serambi Mesjid Agung. Perkara-perkara pada urusan
pengadilan ini disebutkisas. Pimpinan pengadilan, meskipun pada prinsipnya
masih di tangan raja tetapi dilakukan peralihan oleh raja ke tangan Penghulu,
yang dibantu oleh beberapa alim ulama sebagai anggotanya. Hal ini menyimpang
dari hukum Islam dimana menurut hukum Islam yang menjadi hakim itu hanya satu
orang saja disebut dengankadhi. Pengadilan Surambi ini merupakan suatu majelis
yang mengambil keputusan dengan cara musyawarah.
Musyawarah
untuk mencapai mufakat adalah hukum asli. Pemutusan perkara diputuskan oleh
Raja yang berdasarkan usulan dari Pengadilan Surambi tadi. Namun, dalam hal ini
raja tidak pernah mengambil keputusan yang menyimpang atau bertentangan dengan
nasehat tersebut, dimana Pengadilan Surambi mempunyai kewibawaan di mata
rakyat. Pada abad XVII – 1819, sistem peradilan Indonesia berubah dari sistem
hukum agama Islam ke sistem hukum agama Hindu yang tidak terlepas dari hukum
adat masing-masing daerah. Terjadinya perebutan kekuasaan inilah yang menyebabkan
perubahan sistem peradilan tersebut berubah juga.
A.
Masa Kolonial Belanda Pada
masa zaman pemerintah Hindia – Belanda (1600-an – 1942), Indonesia dibagi
menjadi 2 (dua) daerah, yaitu :
1. Daerah langsung; dan Daerah langsung yang diperintah oleh Belanda
lebih sempit daerahnya dibandingkan dengan daerah yang tidak langsung yang
diperintah oleh raja-raja. Pada daerah tidak langsung terdapat peradilan,
sebagai berikut :
a. Landraad;
b. Raad van Justitie;
a. Hooggerechtshof(HGH)
2. Daerah tidak langsung. Pada daerah tidak langsung terdapat
peradilan, sebagai berikut :
a.
Peradilangubernemen;
b. Peradilanswapraja (oleh Raja).
Ada tiga pengadilan pemerintah untuk orang Indonesia : Pengadilan Distrik
(kewedanan) untuk perkara ringan; Pengadilan Kabupaten untuk perkara-perkara
lebih besar; dan akhirnyaLandraad di setiap ibukota kabupaten. Ke landraad –
lah semua perkara pidana dan perdata yang penting-penting di antara orang
Indonesia dan orang-orang yang dimasukkan ke dalam status Indonesia diajukan.
Pada akhirnya semua ketuaLandraad adalah ahli hukum yang berpendidikan, tetapi
sampai tahun 1920 – an mereka semuanya juga orang Belanda,
Suatu unsur yang sebenarnya mencerminkan pemerintahan langsung. Dengan
kata lainLandraad bertindak sebagai Pengadilan Negeri. Raad van Justitie juga
bertindak sebagai pengadilan pada tingkat banding sedangkanHooggerechtshof,
bertindak sebagai pengadilan pada tingkat kasasi untuk perkara-perkara orang
pribumi yang diadili oleh Landraad. PengadilanS wapraja yang ada dan dikelola
oleh raja-raja, sultan- sultan dan atau pangeran-pangeran. Untuk daerah-daerah
yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda juga didapati
beragam bentuk beda penyelesaian sengketa lain seperti yang lazim disebut
Pengadilan Desa (DesaRechtspraak). Landraad merupakan pengadilan tingkat
pertama bagi Golongan Bumiputera dan Raad van Justitie merupakan tingkat kedua,
sedangkan bagi Golongan Eropa pengadilan tingkat pertamanya adalah Raad van
Justitie. Pada pengadilan RvJ (Raad van Justitie) itu dipekerjakan seorang
advokat-fiskal, yang dalam perkara pidana menjadi penuntut umum, akan tetapi di
dalam perkara sipil bertindak sebagai anggota biasa. Jadi, badan pengadilan
dalam tingkat pertama dan terakhir untuk pegawai-pegawai Belanda dilakukan pada
pengadilan ini; badan pengadilan appel buat penduduk kota yang minta bandingan
atas keputusan-keputusan dari schepenbank17 dilakukan juga pada pSengadilan
ini.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari penulisan
ini, sebagai berikut : -Pada zaman kerajaan, peradilan dilaksanakan oleh raja
yang berkuasa yang dibantu dengan para pejabat kerajaan yang berkuasa di
daerah-daerah; -Pada zaman kolonial Belanda, peradilan dilaksanakan dengan
keberpihakan kepada Belanda yang memiliki kepastian hukum, keadilan, dan
kemanfaatan tetapi dalam hal ini Belanda-lah yang berkuasa. Pemberlakuan hukum
belum merata karena hukum positif tidak diterapkan untuk seluruh masyarakat
tetapi hanya kepada orang-orang Eropa dan Pribumi yang melakukan tunduk
sukarela;
B.
Saran
Hukum
yang baik adalah hukum yang berasal dari jiwa masyarakat (volkgeist) seperti
apa yang dikatakan oleh Friedrich Karl von Savigny mengenai hukum. Menurut
penulis akan lebih baik apabila peradilan di Indonesia tetap dilaksanakan
dengan menggunakan sistem hukum adat. Dengan demikian perkara yang masuk ke
pengadilan dapat berkurang secara signifikan. Dikarenakan sudah diselesaikan
oleh Ketua Adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar