
TUGAS KELOMPOK
HUKUM SEBAGAI INSTITUSI SOSIAL
Untuk
Memenuhi Tugas Kelompok.
Mata
Kuliah: Pengantar Ilmu Hukum
Oleh:
Rudi
Hartono 8111410174
Ibnu
Jalal 8111410180
Ferry
Rizky P 8111410190
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012
Roscoe Pound dalam sebuah
pernyataannya menyatakan bahwa fungsi hukum adalah social engineering
atau rekayasa atau lembaga sosial. Dalam pemikirannya ia menyatakan bahwa
putusan hukum yang dijatuhkan oleh hakim diharapkan mampu merubah perilaku
manusia. Pendapat Roscoe Pound tersebut benar ketika ia memandang hukum sebagai
sebuah putusan-putusan hakim dalam sistem hukum anglo saxon atau common law.
Pernyataan Roscoe Pound tersebut
pada awal orde baru dibawa ke Indonesia oleh pakar-pakar hukum saat itu dengan
pemikiran bahwa hukum merupakan lembaga serta alat rekayasa sosial. Dalam sistem
hukum sipil (civil law system) yang diterapkan di Indonesia, yang
menganut model hukum Eropa, hukum adalah sebuah aturan Undang-undang yang
notabene merupakan produk kekuasaan penguasa. Dalam konteks ini, maka hukum
diterapkan oleh penguasa yang memiliki kewenangan membentuk hukum, dan demi
hukum siapapun harus tunduk terhadap aturan hukum tersebut.
Pada
kondisi yang demikian maka hukum menjadi alat pengendali penguasa terhadap
rakyatnya. Hukum menjadi alat legitimasi penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya.
Ketika kekuasaan berada di tangan orang-orang yang zalim maka hukum
akan begitu ditakuti. Penguasa yang zalim akan menggunakan hukum untuk berbuat
sesuai dengan kehendaknya nyaris tanpa kendali, hal ini terjadi di banyak
negara berkembang yang mengadopsi teori Roscoe Pound tersebut. Ketika fenomena
Reformasi menyeruak di Indonesia, maka teori ini dijadikan sebagai salah satu
kesalahan besar bidang hukum yang telah melahirkan penguasa yang out of
control. Pertanyaan sederhana adalah apakah Roscoe Pound begitu gegabah
mengeluarkan teori yang melahirkan penguasa yang sangat otoriter?
Dalam
hal ini rupanya telah terjadi kesalahpahaman atas konsep berfikir Roscoe Pound
tersebut. Teori Roscoe Pound yang sangat fenomenal tersebut lahir dari sebuah
sistem yang berbeda dengan sistem yang kita pakai. Ia lahir dari sebuah sistem
hukum common law yang menganggap bahwa hukum adalah putusan yang dijatuhkan
oleh hakim (Hukumnya Hakim). Roscoe Pound lahir dalam dunia hukum yang
menganggap bahwa hukum itu dibentuk oleh kekuasaan hakim, bukan penguasa
eksekutif!
Hukum
dalam sistem common law, dibentuk oleh hakim, para pihak yang mengajukan
masalah kepada pengadilan memohon keadilan agar diputuskan mana yang benar dan
adil oleh para hakim. Hakim kemudian akan memeriksa kasus tersebut dan kemudian
akan memutuskan apa yang seharusnya dipatuhi oleh para pihak. Hakim membentuk
hukum berdasarkan putusan hakim yang diharapkan akan merubah perilaku para
pihak yang awalnya tidak mengetahui yang benar menurut hukum, dan kemudian akan
bertindak serta berperilaku menurut hukum. Sehingga hukum mendidik ia untuk
faham akan hukum.
Secara
langsung dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan tersebut (law) diharapkan
telah mampu merekayasa atau merubah perilaku (engineering) masyarakat. Dalam
hal ini tidak ada unsur power penguasa untuk menekan kehendaknya
terhadap rakyat, melainkan hakim yang faham hukum mendidik masyarakat bagaimana
berperilaku yang sepatutnya. Hakim mendidik para pihak untuk berperilaku yang
awalnya diluar hukum menjadi manusia yang sadar hukum di tengah masyarakat.
Konsep
pemikiran Roscoe Pound ini menjadi salah kaprah ketika dimasukkan dalam siistem
hukum yang berbeda yaitu sistem civil law yang memandang hukum yang utama
adalah putusan penguasa dan bukan putusan hakim dalam sidang pengadilan! Ketika
diterapkan dalam sistem yang berbeda ternyata menghasilkan makna yang sangat
berbeda dari makna penerapan hukum yang dimaksud oleh Roscoe Pound! Roscoe
Pound tentunya tidak pernah membayangkan bahwa teorinya akan melahirkan
penguasa yang absolut, karena ia hanya berfikir bahwa hukum itu hakim bukan
penguasa.
Secara
sederhana dapat saya ilustrasikan seperti halnya orang yang hendak meletakkan
ikan di kolam yang berbeda, ikan yang hidup di "kolam" common law
ketika letakkan di "kolam" civil law yang tentu saja air,
suhu, serta cuacanya sama sekali berbeda. Bukan ikan dan kolam itu yang salah
tetapi orang yang meletakkan ikan itu yang salah.
Rekayasa Perubahan lembaga Sosial Hukum sebagai alat social engineering adalah cirri
utama Negara modern.
(Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective,
1975) Jeremy Bentham bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun
1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe Pound
memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin
sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan
perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya
sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal
itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan
pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan
pengadilan. Misalnya keputusan MA.
Di Amerika, sering anggota kongres dan senat menghindari membuat
produk-produk legislasi untuk masalah-masalah yang kontroversial,
karena khawatir akan dampak politisnya. Mereka berharap, US Supreme
Court yang memutuskan. Perlu diketahui bahwa peran MA Amerika dalam
membentuk hukum jauh lebih besar dari peran MA Indonesia. Karena,
Amerika menganut common law, sedang Indonesia menganut sistem civil law.
MA sebagai pembentuk salah satu sumber hukum formal yakni
jurisprudensi dapat berperan besar dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Agar keputusan-keputusan MA sebagai jurisprudensi dapat
menjadi stimulator dan menyumbang bagi pembangunan dan perkembangan
hukum di Indonesia. Karena itu, keputusan-keputusan itu harus dapat
mewujudkan setidak-tidaknya satu dari tiga fungsi hukum yang disebut diatas.
Bagaimana yang terjadi di negeri kita? Ketua MA Soerjono mengusulkan
kepada Presiden agar Ketua Muda Bidang Pidana Umum Adi Andojo Sucipto
diberhentikan dengan hormat. Sebagai anggota masyarakat yang masuk
dalam barisan "intelek-tual", kita tentu akan bertanya bagaimanakah
sebenarnya sistem kekuasaan kehakiman kita di Indonesia ini?
Walaupun pengusulan pemecatan itu memang dimungkinkan oleh UU, namun
sangat terkesan bahwa Ketua MA seperti mencari-cari celah agar bisa
memecat Adi Andojo. Alasannya, seperti kita sudah dengar, sangat tidak
kuat.
Ketua MA sebaiknya menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat alasan
pemilihan pasal 11 huruf D dari UU No 14 tahun 1985 tentang MA yang
dipakai dalam kasus Adi Andojo itu. Jika dikatakan bahwa Adi Andojo
sebagai Hakim Agung sudah tidak mampu menjalankan tugasnya, berarti ia
sudah tidak mampu mengambil keputusan berdasarkan UU dan
peraturan-peraturan yang berlaku. Atau sudah tidak bisa mengambil
keputusan dengan rasa seadil-adilnya, sehingga menimbulkan gejolak di
masyarakat. Jika memang ketentuan itu dikenakan kepada Adi Andojo,
sebaiknya Ketua MA memberikan penjelasan lebih lanjut kepada
masyarakat.
Rasanya telah terjadi kemerosotan wibawa hukum lembaga MA sebagai
benteng terakhir dan penegak keadilan. Hasil kerja Korwasus
(Koordinator Pengawasan Khusus) MA tentang isu kolusi di MA perlu
ditindaklanjuti, terutama temuan tentang adanya penyimpangan prosedur dalam pembagian perkara.
Dalam hal ini DPR perlu segera mengambil inisiatif dalam menelusuri
isu kolusi itu. Kenyataannya, masalah tersebut belum final. Sebaliknya
justru berkembang menjadi pembicaraan yang panjang dan rumit.
Landasan hukum bagi DPR untuk mengatasi masalah itu antara lain karena
sistem yang dianut Indonesia adalah check and balance system, sehingga
kekuasaan yang terbagi dapat saling mengontrol. Kalau presiden yang
mengangkat orang-orang di MA belum mengambil inisiatif, DPR pada
dasarnya dapat membentuk tim pencari fakta yang tujuannya menuntaskan
masalah terkait. Sebab, masalah yang satu ini mendapat sorotan dari
sebagian besar masyarakat.
(Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective,
1975) Jeremy Bentham bahkan sudah mengajukan gagasan ini di tahun
1800-an, tetapi baru mendapat perhatian serius setelah Roscoe Pound
memperkenalkannya sebagai suatu perspektif khusus dalam disiplin
sosiologi hukum. Roscoe Pound minta agar para ahli lebih memusatkan
perhatian pada hukum dalam praktik (law in actions), dan jangan hanya
sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam buku (law in books). Hal
itu bisa dilakukan tidak hanya melalui undang-undang, peraturan
pemerintah, keppres, dll tetapi juga melalui keputusan-keputusan
pengadilan. Misalnya keputusan MA.
Di Amerika, sering anggota kongres dan senat menghindari membuat
produk-produk legislasi untuk masalah-masalah yang kontroversial,
karena khawatir akan dampak politisnya. Mereka berharap, US Supreme
Court yang memutuskan. Perlu diketahui bahwa peran MA Amerika dalam
membentuk hukum jauh lebih besar dari peran MA Indonesia. Karena,
Amerika menganut common law, sedang Indonesia menganut sistem civil law.
MA sebagai pembentuk salah satu sumber hukum formal yakni
jurisprudensi dapat berperan besar dalam pembangunan hukum di
Indonesia. Agar keputusan-keputusan MA sebagai jurisprudensi dapat
menjadi stimulator dan menyumbang bagi pembangunan dan perkembangan
hukum di Indonesia. Karena itu, keputusan-keputusan itu harus dapat
mewujudkan setidak-tidaknya satu dari tiga fungsi hukum yang disebut diatas.
Bagaimana yang terjadi di negeri kita? Ketua MA Soerjono mengusulkan
kepada Presiden agar Ketua Muda Bidang Pidana Umum Adi Andojo Sucipto
diberhentikan dengan hormat. Sebagai anggota masyarakat yang masuk
dalam barisan "intelek-tual", kita tentu akan bertanya bagaimanakah
sebenarnya sistem kekuasaan kehakiman kita di Indonesia ini?
Walaupun pengusulan pemecatan itu memang dimungkinkan oleh UU, namun
sangat terkesan bahwa Ketua MA seperti mencari-cari celah agar bisa
memecat Adi Andojo. Alasannya, seperti kita sudah dengar, sangat tidak
kuat.
Ketua MA sebaiknya menjelaskan secara terbuka kepada masyarakat alasan
pemilihan pasal 11 huruf D dari UU No 14 tahun 1985 tentang MA yang
dipakai dalam kasus Adi Andojo itu. Jika dikatakan bahwa Adi Andojo
sebagai Hakim Agung sudah tidak mampu menjalankan tugasnya, berarti ia
sudah tidak mampu mengambil keputusan berdasarkan UU dan
peraturan-peraturan yang berlaku. Atau sudah tidak bisa mengambil
keputusan dengan rasa seadil-adilnya, sehingga menimbulkan gejolak di
masyarakat. Jika memang ketentuan itu dikenakan kepada Adi Andojo,
sebaiknya Ketua MA memberikan penjelasan lebih lanjut kepada
masyarakat.
Rasanya telah terjadi kemerosotan wibawa hukum lembaga MA sebagai
benteng terakhir dan penegak keadilan. Hasil kerja Korwasus
(Koordinator Pengawasan Khusus) MA tentang isu kolusi di MA perlu
ditindaklanjuti, terutama temuan tentang adanya penyimpangan prosedur dalam pembagian perkara.
Dalam hal ini DPR perlu segera mengambil inisiatif dalam menelusuri
isu kolusi itu. Kenyataannya, masalah tersebut belum final. Sebaliknya
justru berkembang menjadi pembicaraan yang panjang dan rumit.
Landasan hukum bagi DPR untuk mengatasi masalah itu antara lain karena
sistem yang dianut Indonesia adalah check and balance system, sehingga
kekuasaan yang terbagi dapat saling mengontrol. Kalau presiden yang
mengangkat orang-orang di MA belum mengambil inisiatif, DPR pada
dasarnya dapat membentuk tim pencari fakta yang tujuannya menuntaskan
masalah terkait. Sebab, masalah yang satu ini mendapat sorotan dari
sebagian besar masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Dibuat Tanggal 26 Nopember 2008 00:53:24 |
oleh: Fokky Fuad, S.H., M.Hum
Lawrence M. Friedman,
The Legal System: A Social Science Perspective,
1975
1975
Tidak ada komentar:
Posting Komentar