TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN KARENA
PENGARUH LABEL DAN IKLAN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata
Kuliah: Hukum Perlindungan Konsumen
Dosen
Pengampu : Andry Setiawan, SH.,M.Hum
Oleh:
Rudi
Hartono :8111410174
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Permasalahan
Dalam era globalisasi saat ini perkembangan komunikasi
dan informasi berjalan sangat pesat sejalan dengan laju pembangunan di segala
bidang. Hal tersebut menuntut suatu gerak manusia yang cepat, efisien, dan
mudah agar segala kebutuhan dapat segera terpenuhi. Globalisasi informasi dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya berkembang dengan baik karena
cepatnya jaringan informasi. Pesatnya pembangunan disegala bidang mendorong
meningkatnya mobilitas gerak manusia yang cepat dan dinamis sehingga meminta
penyampaian informasi yang cepat dan dinamis pula. Media sebagai salah satu sarana dalam penyampaian
informasi mempunyai berbagai jenis seperti media cetak (koran, majalah, tabloid dan lain-lain)
dan media elektronik (televisi, radio,
dan lain-lain).
Media cetak
sebagai salah satu media merupakan
sarana penyampaian informasi yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, pelaku
usaha dalam memasarkan produknya dapat menggunakan media cetak untuk pemasangan iklan. Iklan merupakan
salah satu bentuk penyampaian informasi mengenai barang dan atau jasa dari
pelaku usaha kepada konsumennya, maka dari itu iklan tersebut sangat penting
kedudukannya bagi perusahaan sebagai alat untuk membantu memperkenalkan produk
atau jasa yang ditawarkannya kepada konsumen. Tanpa adanya iklan berbagai
produk barang dan atau jasa tidak dapat mengalir secara lancar ke para
distributor atau penjual, apalagi sampai ke tangan para konsumen atau pemakainya.
Agar produk yang
ditawarkan oleh pelaku usaha
memiliki nilai jual yang tinggi terkadang pelaku usaha menghalalkan
segala cara. Salah satunya dengan melalui iklan yang memuat janji yang
muluk-muluk mengenai kegunaan dan manfaat produk yang sesuai dengan kebutuhan
konsumen meskipun pada kenyataannya bahwa produk tersebut kegunaan dan
manfaatnya tidak sesuai dengan janji yang terdapat dalam iklan tersebut.
Sehingga iklan tersebut telah membohongi konsumen atau masyarakat. Untuk itu
maka konsumen perlu diberikan suatu perlindungan khusus terhadap iklan-iklan
yang menyesatkan. Perlunya peraturan yang mengatur perlindungan konsumen karena
lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi pelaku usaha, karena mengenai
proses sampai hasil produksi barang atau jasa yang telah dihasilkan campur
tangan konsumen sedikitpun. Sehingga kenyataannya konsumen selalu berada dalam
posisi yang dirugikan.
Dalam kode etik periklanan menegaskan bahwa iklan itu
harus jujur, harus dijiwai oleh rasa persaingan sehat. Iklan tidak boleh
menggunakan kata “ter”, “paling”, “nomor satu” dan atau seterusnya yang
berlebihan tanpa menjelaskan dalam hal apa keunggulan tersebut, dan harus dapat
membuktikan sumber-sumber otentik pernyataan itu. Jadi untuk mencegah iklan
yang merugikan konsumen perlu ada pengaturan yang mengatur mengenai periklanan.
Iklan sebagai sarana promosi seharusnya menyampaikan
kepada konsumen informasi atas suatu produk yang jelas, jujur dan bertanggung
jawab. Hal ini pun telah diatur secara jelas dan sama, secara garis besar,
dalam Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia ( TKTCPI ) yang disusun oleh Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia, dan masih banyak lagi peraturan perundang-undangan lain
yang mengatur mengenai periklanan.
Namun, hingga sekarang masih tetap beredar iklan-iklan
yang melanggar peraturan-peraturan di atas, dimana isinya menipu, mengelabui
dan menyesatkan konsumen. Tentu saja iklan-iklan seperti ini memberikan akibat
dan pengaruh buruk pada masyarakat, salah satu di antaranya adalah tumbuhnya
konsumerisme, dimana masyarakat terpengaruh oleh isi dan pesan iklan yang
dibuat begitu atraktif, hingga kadang menjadi berlebihan, dan membuat
masyarakat membeli barang yang seharusnya bukan menjadi kebutuhannya, dan tak
jarang dimana masyarakat pun mendapatkan barang yang mereka beli tidak sesuai
dengan yang diiklankan atau dalam keadaan yang tidak semestinya. Banyak
aturan-aturan yang dilanggar dalam rangka pembuatan iklan yang demikian kreatif
dan penyampaian pesan secara berlebihan kepada konsumen, seperti penggunaan
atribut profesi, melakukan perbandingan dengan produk sejenis dari produsen
yang berbeda, iklan-iklan yang menggunakan kekerasan, atau iklan-iklan yang
melanggar etika dan kesusilaan. Walaupun PPPI dan Undang-undang Perlindungan
Konsumen telah menetapkan sanksi terhadap iklan-iklan tersebut di atas, namun
hingga sekarang, iklan-iklan tersebut tetap beredar tanpa khawatir akan diberikan
sanksi atau mendapatkan teguran dari lembaga-lembaga yang berwenang.
Meskipun
ketentuan mengenai periklanan secara umum telah ada tetapi tidak diatur secara
khusus, namun pada kenyataannya masih banyak terdapat pelanggaran-pelanggaran
yang telah dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk
menuangkannya ke dalam sebuah makalah yang berjudul : “Tanggung Jawab Pelaku
usaha Terhadap Konsumen Karena
Pengaruh Label dan iklan”.
Makalah ini
bermaksud untuk menganalisa mengapa iklan-iklan yang melanggar aturan, atau
isinya yang menipu, mengelabui dan menyesatkan masyarakat itu masih sering
beredar. Apakah hal ini disebabkan karena lembaga-lembaga, seperti YLKI dan
PPPI yang tidak secara tegas dalam menerapkan aturan-aturannya, atau karena
aturan-aturan yang ditetapkan tersebut tidak dijalankan sesuai kehendak
undang-undang? Lalu dimanakah letak batasan tanggung jawab dari masing-masing
pihak yang terkait di dalamnya? Adakah perlindungan hukum di masyarakat
terhadap iklan-iklan semacam itu atau perlu dibuat peraturan baru apabila
aturan-aturan tersebut di atas tetap tidak diterapkan secara tegas? makalah
ini, berkesimpulan, bahwa Undang-undang Perlindungan Konsumen dan TKTCPI belum
berjalan sesuai kehendak undang-undang, karena para produsen dan biro iklan
yang tidak menerapkan peraturan-peraturan mengenai periklanan dengan tertib,
law enforcement di Indonesia yang yang kurang berjalan dengan baik dan
kurangnya kontrol di masyarakat
1.2 Permasalahan
1.2.a Bagaimana
asper-aspek hukum perlindungan konsumen?
1.2.b Apakah bentuk
perlindungan hukum yang dapat dilakukan terhadap konsumen akibat iklan yang
menyesatkan di media massa?
1.2.c Bagaimana
pertanggungjawaban pelaku usaha atas iklan yang menyesatkan di media massa
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.a. Untuk mempelajari dan memahami bentuk
perlindungan hukum apa yang dapat dilakukan oleh konsumen akibat iklan yang
menyesatkan di media massa.
1.3.b. Untuk mempelajari dan memahami pertanggungjawaban pelaku
usaha periklanan terhadap iklan yang menyesatkan di media massa dihubungkan
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Perumusan Masalah
2.1.a Aspek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen
A.
ASPEK KEPERDATAAN
Kaedah-kaedah
hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum PERDATA (KUH
Perdata). Disamping itu tentu saja juga kaedah-kaedah hukum perdata adat yang
tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara
tertentu. Kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukumantara
pelaku usaha penyedia barang dan atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing
termuat dalam :
1.
KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga dan keempat;
2.
KUHD, buku kesatu dan buku kedua;
3.
Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaedah-kaedah
hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum, dan masalah
antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa hal yang dinilai penting dalam
hubungan konsumen dan penyedia barang dan atau penyelenggara jasa antara lain
sebagai berikut :
1.
Hal-hal yang Berkaitan dengan Informasi
Bagi konsumen,
informasi tentang barang dan atau jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia
menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apapun nama lainnya) untuk
mengadakan transaksi konsumen tentang barang atau jasa tersebut. Dengan
traksaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hukum (jual beli, beli
sewa, sewa menyewa, pinjam meminjam, dsb) tentang produk konsumen dengan pelaku
usaha itu. Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang atau
jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya,
harga, tentang berbagai persyaratan dan atau cara memperolehnya, tentang
jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersedianya pelayanan jasa
purna jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Informasi dari
kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan,
penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi,
dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen.
Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu
termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus
dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau pembungkusnya
( antara lain label dari produk makanan dalam kemasan ). Sedang untuk produk
hasil industry lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk
standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar
lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Informasi dari
konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut
tentang suatu produk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai
siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen menyangkut
sesuatu produk konsumen.
2.
Beberapa Bentuk Informasi
Diantara
berbagai informasi tentang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen ,
tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber
dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa
mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.
Iklan adalah
bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir-akhir ini
termasuk juga yang diatur di dalam Undang-undang tentang perlindungan konsumen.
a.
Tentang Iklan
Menurut ketentuan dari UU No.8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat (1) berbunyi :
Pelaku Usaha
dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/ atau jasa
secara tidak benar dan/atau seolah-olah… dan seterusnya. Sayangnya dalam
undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan iklan. Yang
terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan
berkaitan dengan periklanan saja.
Dari hal-hal
terurai diatas tentang kedudukan periklanan dalam masyarakat usaha,
setidak-tidaknya terdapat dua batasan iklan, yang satu ditetapkan oleh
Departemen Kesehatan yang lainnya oleh sistem penyiaran nasional. Kedua batasan
iklan tersebut berjalan bersama masing-masing untuk bidang masing-masing.
Sampai saat ini tidak terdapat gangguanapapun baik terhadap masyarakat pembuat
maupun pengguna produk konsumen yang diiklankan berdasarkan masing-masing
rumusan yang bersangkutan. Bagi konsumen informasi produk konsumen sangat
menentukan sehingga haruslah informasi itu memuat keterangan yang benar, jelas,
jujur, dan bertanggung jawab.
Mengenai
perilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, adalah sebagai berikut:
1)
Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a) Mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tariff jasa serta
ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b) Mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c) Memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d) Tidak
memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e) Mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizing yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
f) Melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2)
Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah
melanggar ketentuan pada ayat (1).
Selanjutnya, berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha
periklanan ini diatur dalam Pasal 20, sebagai berikut Pelaku usaha periklanan
bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan
oleh iklan tersebut.
b.
Tentang label
Informasi
produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagi peraturan
perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai
istilah seperti penandaan, label, atau etiket. Ketentuan tersebut terdapat
dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
1.
UU Barang, UU No.10 Tahun 1961, memberikan informasi tentang barang,
Pasal 2 ayat (4) UU ini menentukan :
Pemberian nama
dan/atau tanda-tanda yang menunjukkan asal, sifat, susunan bahan, bentuk
banyaknya dan/atau kegunaan barang-barang yang baik diharuskan maupun tidak
diperbolehkan dibubuhkan atau dilekatkan pada barang pembungkusnya, tempat
barang-barang itu diperdagangkan dan alat-alat reklame, pun cara pembubuhan
atau melekatkan nama dan/atau tanda-tanda itu.
2.
Baik produk makanan, maupun obat diwajibkan mencantumkan label pada
wadah atau pembungkusnya. Permenkes No.79 Tahun 1978 tentang Label dan
Periklanan Makanan, Pasal 1 angka 2, menyebutkan :
Etiket adalah label yang dilekatkan,
dicetak, diukir atau dicantumkan dengan jalan apa pun pada wadah atau
pembungkus.
c.
Hal-hal yang Berkaitan dengan Perikatan
Dalam
KUHPerdata Buku ke-III tentang perikatan (Van Verbintenissen), termuat
ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hukum dari perikatan, syarat-syarat
perikatan, tentang risiko jenis-jenis perikatan tertentu, syarat-syarat
pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang diadakan (Pasal 1233). Perikatan
yang terjadi karena undang-undang, dapat timbul karena undang-undang, baik
karena undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang. Perbuatan itu
dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal) atau perbuatan yang melanggar
hukum (Pasal 1352, 1353, dan seterusnya).
B.
ASPEK HUKUM PUBLIK
1.
Hukum Pidana
Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebutkan kata “konsumen”. Meskipun demikian,
secara implicit dapat ditarik beberapa Pasal yang memberikan perlindungan hukum
bagi konsumen, antara lain :
a.
Pasal 204 : Barangsiapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau
mebagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan
orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
b.
Pasal 205 : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa
barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan
atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau
memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
c.
Pasal 382 : Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman atau
obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
d.
Dan lain-lain.
Diluar Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang
beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas
kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen terdapat pada bidang kesehatan.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Undang-undang No.7 Tahun 1996 tentang
pangan.
Selain itu juga
dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelektual, seperti hak cipta, paten,
dan hak atas merek, dewasa ini diberi perhatian yang cukup besar, khususnya
dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidana berupa pembajakan hak
cipta, misalnya sekarang diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.
2.
Hukum Administrasi Negara
Seperti halnya
hukum pidana, hukum administrasi Negara adalah instrument hukum publik yang
penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan
pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai saknsi administratif.
Sanksi
administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada
pengusaha, baik itu produsen maupun penyalur hasil-hasil produknya. Saknsi
administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Jika terjadi
pelanggaran, izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah. Pencabutan
izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur.
Produksi di sini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa.
Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen
pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan hak-hak
korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hukum administrasi
Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hukum
perdata dan/atau pidana.
Sanksi administrative seringkali lebih
efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana, ada beberapa alasannya:
Pertama, sanksi administratif dapat diterapkan secara
langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi
izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun.
Persetujuan, kalaupun itu dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi pemerintah
terkait. Kedua, sanksi perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa
efek “jera” bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin
tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan
negative produsen.
Walaupun secara
teoritis instrumen hukum administratif Negara ini cukup efektif, tetap ada
kendala dalam penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang tercantum dalam
Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi
administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan masih
teramat jarang dilakukan. Bahkan, untuk kasus-kasus tertentu, sperti pencemaran
oleh PT. Inti Indorayon Sumatera Utar, Pemerintah masih mengandalkan inisiatif
konsumen untuk mempersalahkannya. Pemerintah tampaknya menjadikan sanksi
administratif ini sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan
pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentu saja, kedua pertimbangan
tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan
konsumen tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang cukup.
3.
Hukum Transnasional
Sebutan “Hukum
transnasional” mempunyai dua konotasi. Pertama, hukum transnasional yang
berdimensi perdata, yang lazim disebut hukum perdata internasional. Kedua,
hukum internasional yang berdimensi public, yang biasanya dikenal sebagai hukum
internasional publik. Hukum perdata internasional sesungguhnya bukan hukum yang
berdiri sendiri, melainkan bagian dari hukum perdata nasional. Hukum perdata
internasional hanya berisi petunjuk tentang hukum nasional mana yang akan
diberlakukan jika terdapat kaitan lebih dari satu kepentingan hukum nasional.
Melalui petunjuk inilah lalu ditentukan hukum atau pengadilan mana yang akan
menyelesaikan perselisihan tersebut.
Hukum
internasional (publik) sering dinilai sebagai instrument yang “mandul” dalam
menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara. Kepentingan
nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus menjadi “macan kertas”
yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak mempunyai kekuatan memaksa.
Masalah
perlindungan konsumen merupakan salah satu bukti diantaranya. Gerakan ini memang
berkembang pesat di berbagai penjuru dunia, namun intensitas gerakan tersebut
tidka selalu sama pada tiap-tiap Negara. Kondisi suatu Negara sangat dominan
menentukan seberapa jauh gerakan ini mendapat tempat di masyarakatnya. Sumber
terpenting dari hukum internasional adalah perjanjian antarnegara dan
konvensi-konvensi internasional. Walaupun begitu, keberadaan sumber-sumber
hukum internasional itu tetap tidak banyak artinya jika belum diratifikasi oleh
Negara yang bersangkutan.
C.
PERANAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pada era
perdagangan bebas di mana arus barang dan jasa dapat masuk ke semua Negara
denga bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan jujur. Persaingan
jujur adalah suatu persaingan di mana konsumen dapat memiliki barang atau jasa
karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pola
perlindungan konsumen perlu diarahkan pada pola kerja sama antarnegara,
antarsemua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan
yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur. Sampai saat ini secra
universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan dihormati,
yaitu :
1.
Hak keamanan dan keselamatan ;
2.
Hak atas informasi;
3.
Hak untuk memilih;
4.
Hak untuk didengar, dan
5.
Hak atas lingkungan.
Aspek-aspek
hukum terhadap perlindungan konsumen di dalam era pasar domestic dan dbebas,
pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar dan dari
sisi pasar global. Keduanya harus diawali dan sejak barang dan jasa diproduksi,
didistribusikan/dipasarkan dan diedarkan samapi barang dan jasa tersebut
dikonsumsi oleh konsumen.
Bertolak dari
pemikiran di atas, pada dasarnya Negara dapat diketahui bahwa aspek hukum
public dan aspek hukum perdata mempunyai peran dan kesempatan yang sama untuk
melindungi kepentingan konsumen. Aspek hukum public berperan dan dapat
dimanfaatkan oleh Negara, pemerintah instansi yang mempunyai peran dan
kewenangan untuk melindungi konsumen.
2.1.b Bentuk
Perlindungan Hukum yang Dapat Dilakukan oleh Konsumen Akibat Iklan yang
Menyesatkan di Media Massa
Iklan merupakan
sarana bagi konsumen untuk mengetahui barang dan/jasa yang ditawarkan oleh
pelaku usaha dalam hal ini pengiklan, karena konsumen mempunyai hak, khususnya
untuk hak untuk mendapat informasi dan hak untuk memilih. Bagi perusahaan iklan
merupakan bagian dari kegiatan pemasaran produknya dan iklan dianggap berhasil
apabila terdapat peningkatan jumlah pembeli produk yang ditawarkannya. Iklan
adalah struktur informasi dan susunan
komunikasi nonpersonal yang biasanya
dibiayai dan bersifat persuasif, tentang produk-produk (barang, jasa, dan
gagasan) oleh sponsor yang teridentifikasi, melalui berbagai macam media. Menurut Sudarto dalam tulisannya berjudul “ Periklanan dalam Surat
Kabar Indonesia” mengungkapkan bahwa menurutnya (defenisi) iklan adalah salah
satu komunikasi yang harus memenuhi ke empat hal berikut:
1. Komunikasi tidak langsung
2. Melalui media komunikasi masa
3. Dibayar berdasarkan tarif tertentu
4. Diketahui secara jelas sponsor atau
pemasang iklannya
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata “menyesatkan” berasal dari kata “sesat” artinya “salah jalan; tidak
melalui jalan yang benar”. Namun apabila kata “sesat” ditambah awalan “me-“ dan
akhiran “kan” maka ia akan berubah menjadi kata “menyesatkan” yang mengandung
arti “membawa ke jalan yang salah; menyebabkan sesat (salah jalan)”. Sedangkan kata “iklan” menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengandung arti : 1) berita pesanan (untuk mendorong,
membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; 2)
pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang atau jasa yang dijual,
dipasang di dalam media massa seperti surat kabar atau majalah. Menurut
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengenai iklan
yang menyesatkan terkandung dalam Pasal 9, 10, 11, 12, 13 dan Pasal 17.
Jadi
berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa iklan menyesatkan
adalah suatu berita pesanan yang mendorong, membujuk khalayak ramai mengenai
barang atau jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar
atau majalah, namun isi berita yang disajikan belum diketahui kebenarannya yang
pasti sehingga dapat merugikan konsumen. Dari pengertian iklan menyesatkan di
atas, maka timbul pertanyaan, konsumen
yang mana dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut ?
Sebelum
membahas tentang siapa pihak yang dirugikan akibat iklan yang menyesatkan
tersebut. Tentunya perlu diketahui terlebih dahulu pengertian konsumen secara
umum. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amarika), atau
consument/konsument (Belanda). Pengertian consumer atau consument, secara
harfiah adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.
Tujuan penggunaan barang atau jasa itu
nanti menentukan termasuk konsumen mana pengguna tersebut.
Di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH-Perdata) tidak ditemukan
istilah konsumen, tapi berdasarkan pendirian Mahkamah Agung terdapat beberapa
istilah yang perlu diperhatikan, karena istilah ini agak dekat dengan istilah
konsumen. Istilah-istilah tersebut antara lain “pembeli” (Pasal 1460, Pasal
1513, jo 1457 KUH-Perdata), “penyewa” (Pasal 1550, jo Pasal 1548 KUH-Perdata),
“penerima hibah” (Pasal 1744 KUH-Perdata) dan sebagainya. Sedangkan di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) ditemukan istilah
tertanggung (Pasal 246), “penumpang” (Pasal 393, Pasal 394 jo Pasal 341).7
Pembeli barang
dan/atau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung,
atau penumpang pada satu sisi dapat merupakan konsumen (akhir) tetapi pada sisi
lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Kesemua mereka itu sekalipun
pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir (untuk non-komersial)
atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing
tersebut.
Menurut Kotler
konsumen adalah individu atau kaum rumah tangga yang melakukan pembelian untuk
tujuan penggunaan personal, produsen adalah individu atau organisasi yang
melakukan pembelian untuk tujuan produksi.
Pakar masalah
konsumen di Belanda, Hodius menyimpulkan, bahwa para ahli hukum pada umumnya
sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan
jasa. Dia ingin membedakan antara kosumen bukan pemakai akhir (konsumen antara)
dan kosumen terakhir.
Menurut AZ
Nasution dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perlindungan Konsumen Suatu
Pengantar”, pengertian konsumen itu terdiri dari:
a.
Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan
untuk tujuan tertentu.
b.
Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang/jasa untuk
digunakan dengan tujuan tertentu membuat barang/jasa lain untuk diperdagangkan
(tujuan komersial).
c.
Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya
pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Menurut UUPK
memberikan pengertian mengenai konsumen dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1
butir 2 yaitu:
”Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan untuk
diperdagangkan”.
Dalam penjelasan
Pasal 1 butir 2 UUPK tersebut dijelaskan bahwa: di dalam kepustakaan ekonomi
dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah
pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedang konsumen antara adalah
konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di
atas bahwa konsumen yang dimaksud dalam perlindungan konsumen adalah konsumen
akhir begitu pula dalam penulisan makalah ini.
Konsumen selalu
berada dalam posisi yang lemah, konsumen merupakan objek aktivitas bisnis untuk
meraup keuntungan sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara
penjualan serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Oleh
karena itu, konsumen harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus
tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.
Hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur dan melindungi
konsumen.
Menurut AZ
Nasution bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan bagian khusus dari hukum
konsumen, yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan
melindungi konsumen dan hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk
(barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan hukum konsumen adalah keseluruhan asas-asas
dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan
produk (barang/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan
bermasyarakat. Pada Pasal 1 UUPK dimaksud dengan Perlindungan konsumen adalah
segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen. Sedangkan konsumen yang dilindungi adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Setelah
diketahui tentang apa itu iklan yang menyesatkan dan siapa yang dirugikan, maka
timbul pertanyaan baru, bagaimana upaya konsumen untuk mempertahankan
hak-haknya yang telah dirugikan akibat iklan yang menyesatkan tersebut dan
bagaimana perlundungan Undang-undang Perlndungan Konsumen melindungi hak-hak
konsumen yang telah dirugikan tersebut. Undang-undang Perlindungan Konsumen
isinya adalah mengatur prilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen
terlindungi. Salah satunya melindungi konsumen atas iklan yang menyesatkan
konsumen.
Permasalahan akan
timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar membuat
iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik
periklanan . untuk itu pelaku usaha periklanan
harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk menawarkan
barang dan/jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk melindungi konsumen
dari tindakan-tindakan curang yang dilakukan pelaku usaha. Mengenai
pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur mengenai periklanan
walupun tidak secara khusus.
Perlindungan
hukum bagi konsumen atas iklan yang menyesatkan dalam Undang-undang
Perlindungan Konsumen, yaitu dengan adanya pengaturan dalam Bab III Pasal 4
sampai dengan Pasal 7 mengenai hak-hak dan kewajiban konsumen dan juga hak dan
kewajiban pelaku usaha yang telah disebutkan pada bab sebelumnya.
Dalam Bab IV
merupakan upaya Undang-undang Perlindungan Konsumen untuk melindungi konsumen,
yaitu terdapatnya aturan mengenai larangan-larangan bagi pelaku usaha yang
mengiklankan produknya larangan-larangan tersebut dapat dilihat dalam
Pasal-Pasal 9, 10, 12, 13 dan 17.
Dalam Pasal 20
Undang-undang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai tanggung jawab pelaku usaha periklanan yang telah
dijelaskan sebelumnya. Hal ini untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha
periklanan yang curang.
Sistem
pembuktian terbalik sebagaimana yang dikatakan dalam Pasal 22 dan Pasal 28 UUPK
juga merupakan upaya untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha yang curang.
Begitu pula adanya pengaturan mengenai tanggung jawab pelaku usaha yang
terdapat dalam Pasal 19 UUPK.
Bentuk lainnya
untuk melindungi konsumen, yaitu dengan dibentuknya Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN) yang diatur pada Bab VIII Undang-undang Perlindungan Konsumen
mulai dari Pasal 31 sampai dengan Pasal 43. Salah satu tugas BPKN adalah
menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pelaku usaha.
Undang-undang
Perlindungan Konsumen dalam rangka melindungi konsumen selain lembaga yang
resmi dibentuk oleh pemerintah, dalam Bab IX Pasal 44 memungkinkan di bentuknya
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). LPKSM ini mempunyai
tugas salah satunya adalah membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-haknya,
termasuk menerima keluhan atau pengaduan dari konsumen seperti YLKI dan YPKB.
Iklan yang
menyesatkan atau yang tidak sesuai dengan kebenarannya merugikan konsumen,
sehingga menimbulkan sengketa antara konsumen yang menuntut haknya terhadap
pelaku usaha yang mengiklankan produk yang dijualnya. Mengenai penyelesaian
sengketa ini diatur dalam Bab X tentang
penyelesaian konsumen. Upaya-upaya penyelesaian sengketa dapat ditempuh
dengan cara yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) yaitu penyelesaian sengketa
dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa.
Bentuk
perlindungan hukum yang diberikan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen
dapat dilakukan dengan cara:
1.
Penyelesaian di luar pengadilan.
2.
Penyelesaian melalui pengadilan
Ad. 1. Penyelesaian di luar pengadilan
Pasal 47 mengatur mengenai penyelesaian
sengketa di luar pengadilan yang diselenggarakan untk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak terutang kembali kerugian
yang diderita oleh konsumen.
Penyelesaian di luar pengadilan ini
dapat dilakukan dengan cara yaitu:
a.
Penyelesaian secara damai diantara mereka yang bersengketa.
b.
Penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Cara
penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2)
Undang-undang Perlindungan Konsumen ini, tidak menutup kemungkinan dilakukannya
penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak yang bersangkutan.
Penyelesaian sengketa secara damai yang dimaksud adalah penyelesaian yang
dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen)
tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), dan
tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan Konsumen ini.
Cara
penyelesaian secara damai ini merupakan bentuk penyelesaian yang mudah, murah
dan (relatif) lebih cepat apabila dapat berjalan dengan lancar. Tetapi
penyelesaian dengan cara ini membutuhkan kesabaran, saling pengertian dan
menghormati hak-hak dan kewajiban para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian
dengan cara damai membutuhkan kemauan dan kemampuan berunding untuk mencapai
penyelesaian sengketa secara damai.
Biasanya
penyelesaian dengan cara damai ini jarang tercapai karena pelaku usaha sering
mengelak karena mereka merasa mempunyai kekuatan yang lebih besar dari konsumen
yang dirugikan. Dasar hukum penyelesaian secara damai terdapat pula dalam KUH
Perdata Buku III, Bab 18, Pasal 1851-1854 tentang perdamaian (dading) dan dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat (2) jo, Pasal 47 seperti yang
telah diuraikan di atas.
Penyelesaian
sengketa melalui BPSK merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Bab XI dari Pasal 49 sampai dengan
Pasal 58. BPSK merupakan lembaga khusus yang dibentuk oleh pemerintah di setiap
daerah tingkat II untuk penyelesaian sengketa di luar pengadilan (Pasal 49 ayat
(1)).
Keanggotaan
BPSK terdiri dari unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Setiap unsur
tersebut diwakili sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang. Pengangkatan dan pemberhentian anggota BPSK ditetapkan oleh
Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
Tugas dan
wewenang BPSK menurut Pasal 52 UUPK adalah sebagai melaksanakan penanganan dan
penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi. Dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen BPSK membentuk
Majelis dengan jumlah anggota harus ganjil, yaitu terdiri dari sedikitnya 3
(tiga) orang yang mewakili semua unsur dibantu seorang panitera. BPSK
diwajibkan untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diserahkan kepadanya
dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak gugatan itu
diterima. Menurut Pasal 54 ayat (3) bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Majelis
BPSK bersifat final dan mengikat. Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan oleh
pelaku dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah putusan diterima.
Ad.2 Penyelesaian sengketa melalui
pengadilan
Dalam Pasal 48 Undang-undng
Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa “penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan
memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK
bersifat “final” diartikan tidak adanya upaya banding dan kasasi, yang ada
“keberatan”. Apabila pelaku usaha
keberatan atas putusan yang dijatuhkan oleh majelis BPSK, maka ia dapat
mengajukan keberatannya itu kepada Pengadilan Negeri, menurut Pasal 58 UUPK dalam jangka waktu 14
hari Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutus perkara
tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut.
Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi luang waktu 14
hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung
wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 hari sejak permohonan kasasi.
Cara mengajukan
gugatan atas pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha menurut Pasal 46 ayat (1)
UUPK dapat dilakukan oleh:15
a.
Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya.
b.
Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya;
d.
Pemerintah dan/atau instansi terkait.
Agar UUPK ini
dapat dipatuhi dan dilaksanakan dengan baik, maka terdapat sanksi-sanksi yang
dapat dikenakan pelaku usaha yang melanggar ketentuan ini. Sanksi-sanksi
tersebut diatur dalam Bab XIII UUPK dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal
63. Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terdiri dari:
a.
Sanksi administratif, diatur dalam Pasal 60. BPSK dapat menjatuhkan
sanksi administratif berupa ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
b.
Sanksi pidana pokok, yaitu diatur dalam Pasal 62. Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap:
1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e dan
Pasal 18 dapat dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar
rupiah).
2)
Ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13
ayat (1), Pasal 14, Pasal 16 dan Pasal 17 ayat (1) huruf d, huruf f dapat
dikenakan sanksi pidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
c.
Sanksi pidana tambahan yang diatur dalam Pasal 63. Terhadap sanksi
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan pidana tambahan
berupa:
1)
Perampasan barang tertentu.
2)
Pengumuman keputusan hakim.
3)
Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen.
4)
Kewajiban penarikan barang dari peredaran.
5)
Pencabutan izin usaha.
Berdasarkan
Pasal 31 UUPK dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen maka
dibentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Dalam rangka untuk melindungi
konsumen Badan Perlindungan Konsumen Nasional melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Memberikan
saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan
di bidang perlindungan konsumen;
2. Melakukan
penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di
bidang perlindungan konsumen;
3. Melakukan
penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen;
4. Mendorong
berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
5. Menyebarluaskan
informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan
sikap keberpihakan kepada konsumen;
6. Menerima
pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
7. Melakukan
survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
Dari uraian di
atas dapat ditarik suatu analisis bahwa dengan adanya UUPK ini maka sedikit
banyak konsumen dapat terlindungi haknya. Disebutkan dalam Bab IV UUPK merupakan
salah satu upaya dari undang-undang ini untuk menjangkau perlindungan tersebut.
Dengan adanya aturan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk mengiklankan
produknya. Dengan adanya aturan ini maka jelas diketahui pelaku usaha mana yang
mengiklankan produknya secara tidak benar atau menyesatkan. Lebih lanjut dalam
Pasal 20 UUPK dijelaskan tentang tanggung jawab pelaku usaha periklanan
keberadaan pasal ini untuk melindungi konsumen dari pelaku usaha periklanan
yang curang. Karena dalam pasal tersebut adalah usaha undang-undang ini untuk
menjerat pelaku usaha periklanan tersebut.
2.1.c Pertanggungjawaban
PU Periklanan yang Menyesatkan di Media Massa
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pertanggungjawaban itu terdiri dari dua kata yaitu kata “tanggung dan
jawab”jika digabung mengandung arti keadaan wajib menanggung segala sesuatunya
(kalu terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dsb)
kemudian jika kedua kata tersebut ditambah awalan per- dan akhiran -an, setelah
ditambah awalan dan akhiran tadi menjadi kata pertanggungjawaban. Kata
pertanggungjawaban mengandung arti 1) perbuatan (hal dsb) bertangung jawab; 2)
sesuatu yang dipertanggungjawabkan.
Permasalahan
akan timbul apabila pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar
membuat iklan yang bertentangan dengan asas-asas yang terdapat dalam kode etik
periklanan serta undang-undang lainnya yang terkait. Untuk itu pelaku usaha
periklanan harus mempertanggung jawabkan atas iklan yang dibuatnya untuk
menawarkan barang dan atau jasanya kepada konsumen. Hal ini dilakukan untuk
melindungi konsumen dari tindakan-tindakan yang curang yang dilakukan pelaku
usaha. Mengenai pertanggungjawaban ini terdapat undang-undang yang mengatur
mengenai periklanan walaupun tidak secara khusus.
Dalam kode etik
periklanan yang disebut dengan Tata
Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia pada Bab II bagian A butir 1
tentang asas-asas umum periklanan mengatakan bahwa iklan harus jujur,
bertanggungjawab dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Iklan bertanggungjawab
tersebut maksudnya iklan tersebut tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan
merugikan masyarakat.
Setiap komponen
pemasaran, yang terdiri dari; pengiklan, perusahaan periklanan dan media
periklanan mempunyai tanggung jawab menurut peran dan bobot keterlibatan
masing-masing dalam penciptaan dan penyebaran pesan-pesan iklan.
1. Pengiklan; bertanggung jawab atas benarnya informasi
tentang produk yang diberikan kepada Perusahaan Periklanan. Termasuk ikut
memberi arah; batasan dan masukan pada pesan iklan, sehingga tidak terjadi
janji yang berlebihan (overclaim) atas kemampuan nyata produk.
2. Perusahaan
Periklanan; bertanggungjawab atas ketepatan unsur persuasi yang dimasukkannya
dalam pesan iklan, melalui pemilahan dan pemilihan informasi yang diberikan
Pengiklan, maupun dalam upaya menggali dan mendayagunakan kreativitasnya.
3. Media
Periklanan; bertanggungjawab atas kesepadanan antara pesan iklan yang
disiarkannya dengan nilai-nilai sosial-budaya dari profil khalayak sasarannya.
Jadi bentuk tanggung
jawab tergantung pada bobotnya keterlibatannya. Pengiklan harus
mempertanggungjawabkan produk dan/atau jasa yang ditawarkan, sehingga
tanggungjawabnya berbentuk product liability dan profesional liability.
Perusahaan iklan yang hanya membantu membuatkan suatu iklan tanggung jawabnya
berbentuk profesional liablity. Begitu pula media periklanan sebagai penyedia
jasa untuk menayangkan iklan pengiklan tanggung jawabnya berbentuk tanggung
jawab profesional liability.
Undang-undang
Nomor 21 Tahun 1981 tentang Pokok Pers menyatakan bahwa periklanan termasuk
“keluarga pers”. Dalam Pasal 13 ayat (6) menegaskan bahwa ketentuan mengenai
periklanan akan diatur oleh Dewan Pers. Periklanan termasuk keluarga pers maka
sistem pertanggungjawaban menganut sistem water fall (sistem pertanggungjawaban
air terjun) atau seperti istilah yang digunakan oleh Oemar Seno Adji sebagai
pertanggungjawaban secara suksesi/berurutan. Sistem ini banyak memberi peluang
pada atasan membebaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul
dan membebankan tanggung jawab yang seharusnya mereka pikul dan membebankan
tanggung jawab kepada bawahan.
Sistem
pertanggungjawaban suksesif tersebut, kurang tepat bila diterapkan dalam bidang
periklanan, karena dalam bidang periklanan tidak ada hubungan atasan bawahan
antara pelaku usaha di bidang periklanan. Artinya semua pelaku usaha di bidang
periklanan (pengiklan, perusahaan periklanan dan media masa) memiliki kedudukan
yang sama dan berdiri sendiri serta tidak ada atasan dan bawahan.
Menurut Machtum
dari Majalah Gatra dalam Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan
tentang Periklanan tanggal 4 September 1995 di BPHN Jakarta bahwa mengenai
pertanggungjawaban materi iklan harus ada tanggung jawab renteng, artinya yang
membuat, yang mengedarkan dan yang menadah (pengiklan, perusahaan iklan, dan
media iklan) semuanya terkena tanggung jawab. Karena jika hanya yang membuat
saja atau yang mengedarkan saja yang terkena tanggung jawab tersebut tidak
adil. Jadi menurutnya Undang-undang Pers tidak sesuai untuk periklanan sehingga
harus dicabut mengenai ketentuan yang mengatur periklanan.
Dalam
Undang-undang Pers yang baru Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 diatur mengenai
larangan perusahaan iklan, yaitu terdapat dalam Pasal 13 seperti yang telah
disebutkan dalam bab sebelumnya. Mengenai pertanggungjawaban iklan tidak
disebutkan, namun di dalam penjelasan Pasal 12 Undang-undang Pers disebutkan
bahwa penanggung jawab adalah penanggung jawab meliputi bidang usaha dan bidang
redaksi. Pasal 12 mengatakan bahwa perusahaan pers wajib mengumumkan nama,
alamat dan penangung jawab secara terbuka melalui media bersangkutan.
Perusahaan pers
sebagai media pemasangan iklan, maka perusahaan pers bertanggungjawab atas
iklan yang dipasang dalam medianya. Tanggung jawab perusahaan pers yaitu
berbentuk profesional liability, karena dia bertanggung jawab atas jasa
pemasangan iklan pada medianya. Pasal 13 menyebutkan mengenai larangan-larangan
iklan yang dimuat oleh perusahaan pers. Apabila ketentuan tersebut dilanggar
maka akan dikenai pidana denda sebanyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sesuai dengan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Pers.
Dalam
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan mengenai
periklanan secara jelas, tetapi ada pasal yang terkait mengenai informasi atas
produk kesehatan yang akan dikonsumsi oleh masyarakat. Pasal yang terkait itu
adalah terdapat Pasal 41 ayat (2) yang berbunyi “penandaan dan informasi
sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektifitas dan
kelengkapan serta tidak menyesatkan”. Penjelasan pasal tersebut tampak bahwa
informasi produk bagi konsumen dapat ditemukan dalam penandaan atau informasi
lain, seperti iklan dalam segala bentuk dan/atau kreativitasnya, tetapi dengan
batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau menipu (iklan melawan
hukum). Tanggung jawab atas iklan sedia farmasi dan alat kesehatan ini
merupakan tanggung jawab seluruh pelaku usaha yang terlibat dalam pembuatan
iklan tersebut.
Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan iklan Pangan, mengenai iklan
terdapat dalam Bab III tentang Iklan Pangan Pasal 44 sampai Pasal 58. mengenai
pertanggung jawaban mengenai iklan pangan ini terdapat dalam Pasal 45 ayat (2)
yang mengatakan bahwa penerbit, pencetak, pemegang izin siaran radio atau
televisi, agen dan atau medium yang dipergunakan untuk menyebarkan iklan, turut
bertanggung jawab terhadap isi iklan yang tidak benar, kecuali yang
bersangkutan telah lebih dulu mengambil tindakan yang diperlukan untuk meneliti
kembali kebenaran isi iklan yang bersangkutan.
Jadi dalam
Peraturan Pemerintah tentang Label dan Iklan Pangan selain pengiklan (produsen,
distributor dan retailer) yang bertanggung jawab atas iklan pangan adalah
perusahaan iklan yang membuatkan iklan serta media periklanan yang menayangkan
iklan tersebut. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan
Rokok Bagi Kesehatan tidak terdapat mengenai bentuk pertanggungjawaban atas
iklan, tetapi pada dasarnya semua pelaku usaha yang terlibat dalam iklan rokok
tersebut mempunyai tanggung jawab atas iklan rokok yang dibuat sesuai dengan
bobot keterlibatannya.
Dalam ketentuan
pidana Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan
Rokok Bagi Kesehatan jika ketentuan dalam Pasal 18 dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan barang siapa melanggar ketentuan Pasal
15, Pasal 20 dan atau Pasal 21 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Jadi pada umumnya tanggung jawab atas
iklan yang menyesatkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat dalam
pembuatan iklan tersebut baik pengiklan, perusahaan iklan, media periklanan.
Mengenai bentuk tanggung jawab dapat berupa product liability atau profesional
liability atau kedua-duanya tergantung bobot dan sejauh mana pelaku usaha itu
terlibat dalam pembuatan iklan tersebut.
Proses
terjadinya suatu iklan, baik melalui media cetak atau elektronik, pada umumnya
inisiatifnya datang dari para pengiklan (produsen, distributor, suplier dan
retailer). Kemudian perusahaan iklan dan/atau media periklanan dengan
persetujuan pengiklan secara kreatif menerjemahkan inisiatif tadi dalam bahasa
periklanan untuk ditayangkan atau dimuat dalam media sebagai informasi produk
bagi konsumen luas. Masalah tanggung jawab muncul dalam hal:
1. Informasi produk yang disajikan iklan
sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
2. Menyangkut kreatifitas perusahaan
periklanan dan atau media periklanan ternyata bertentangan dengan asas-asas
etika periklanan.
Dalam butir 1
di atas, yang bertanggung jawab adalah pengiklan, karena sudah menyangkut
produk yang dijanjikan pada konsumen melalui iklan. Konsumen dapat meminta
pertanggungjawaban pelaku usaha didasarkan pada product liability.
Sebaliknya
dalam butir 2, yang bertanggung jawab adalah pengiklan serta perusahaan iklan
dan/atau media. Perusahaan dan media iklan ini tidak dapat begitu saja menolak
bertanggung jawab dengan dalih “kami hanya membuat dan menayangkan iklan,
materinya tanggung jawab pengiklan”. Ketiga pelaku usaha tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara renteng apabila iklan yang ditayangkan
menyesatkan konsumen, mengingat dalam peristiwa tersebut pelakunya tidak hanya
seorang atau satu pihak saja.
Pelaku usaha
dalam mengiklankan produknya di media cetak atau elektronik harus mempunyai
itikad yang baik dan memenuhi prestasinya secara baik. Jika kemudian konsumen
membeli produk yang diiklankan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan isi
kebenaran yang ditayangkan dalam iklan tersebut, maka pelaku usaha tidak melakukan
prestasi secara benar. Jadi dengan demikian dapat dikemukakan bahwa apabila
konsumen yang memakai barang yang diiklankan dan tidak sesuai dengan yang
ditawarkan oleh pelaku usaha dalam iklannya, maka konsumen dapat menggugat
pelaku usaha tersebut berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata dan Bab X Pasal 45 dan
Pasal 46 Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Upaya menggugat
pelaku usaha karena telah melakukan perbuatan melawan hukum tidak perlu adanya
hubungan langsung antara korban dan pelaku usaha, namun konsumen sebagai korban
harus mampu membuktikan bahwa pelaku usaha tersebut:
1. Telah melakukan perbuatan malawan
hukum.
2. Telah melakukan kesalahan.
3. Telah menimbulkan kerugian terhadap
konsumen.
4. Terdapat hubungan kausal antara
perbuatan hukum tersebut dengan kerugian yang diderita korban.
Dilihat dari
kepentingan konsumen sebagai korban untuk memperoleh ganti rugi, maka konstruksi
peraturan semacam ini jelas sangat memberatkan konsumen. Konsumen yang telah
menjadi korban dari kesalahan pelaku usaha, tetapi ketika ia akan menggugat
ganti rugi ia masih harus pula untuk membuktikan terlebih dahulu empat hal di
atas. Hal ini dirasakan tidak adil bagi konsumen, karena kedudukan konsumen
secara sosial ekonomi lebih lemah dibandingkan pelaku usaha. Oleh karena itu,
untuk memungkinkan tanggung jawab pelaku usaha diperkenalkan ide tentang
tanggung jawab pelaku usaha diperkenalkan ide tentang tanggung jawab mutlak
(strict liability), yang diikuti dengan beban pembuktian dari konsumen kepada
pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum. Artinya, apabila konsumen
akan menuntut pelaku usaha berdasarkan perbuatan melawan hukum, konsumen tidak
harus membuktikan kesalahan pelaku usaha karena dengan adanya strict liabiity
pelaku usaha langsung dianggap bersalah dan unsur kesalahan langsung dibebankan
pada pelaku usaha yang wajib membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
Undang-undang
Perlindungan Konsumen menganut prinsip tanggung jawab langsung (strict
liability), yaitu dengan adanya tanggung jawab produk (product liability) dan
tanggung jawab atas jasa (profesional liability) yang merupakan tanggung jawab
produk perdata yang didasarkan dari tanggung jawab secara langsung. Tanggung
jawab pelaku usaha tersebut tersirat dalam Pasal 7 sampai Pasal 11 dan lebih
tegas dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (1) undang-undang Perlindungan Konsumen.
Hal ini membuka peluang bagi konsumen agar dapat memperoleh suatu produk
(barang dan/atau jasa) yang sesuai dengan yang dijanjikan dan sekaligus
melahirkan tanggung jawab di pihak pelaku usaha (produsen) untuk memberikan
ganti kerugian apabila produk yang diiklankan menjadi penyebab timbulnya
kerugian di pihak konsumen.
Tanggung jawab
tersebut timbul karena adanya kesalahan di pihak pelaku usaha (based on fault),
karena karakter dasar strict liability pada dasarnya adalah perbuatan melawan
hukum, maka unsur-unsur yang dibuktikan konsumen, yaitu:
1. Unsur perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pelaku usaha.
2. Unsur kerugian yang dialami konsumen
dan ahli waris.
3. Unsur adanya hubungan kausal antara
perbuatan melawan hukum dengan unsur kerugian tersebut.
sedangkan unsur
kelalaian atau kesalahan tidak menjadi kewajiban konsumen untuk membuktikannya
tetapi pelaku usahalah (produsen) yang harus membuktikan kerugian yang diderita
konsumen dan bukan diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya. Hal ini
menyebabkan konsumen tidak lagi direpotkan oleh kewajiban untuk membuktikan
kesalahan atau kelalaian pelaku usaha dan kepentingan pelaku usaha tetap
terlindungi apabila kerugian yang dialami oleh konsumen benar-benar bukan
diakibatkan oleh kesalahan atau kelalaiannya.
Di dalam
Undang-undang Perlindungan Konsumen ketentuan yang mengisyaratkan adanya
tanggung jawab produk tersebut dimuat dalam Pasal 7-Pasal 11, Pasal 19 ayat (1)
UUPK secara lebih jelas dan tegas merumuskan mengenai tanggung jawab produk ini
dengan menyatakan bahwa “pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi
atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan”. Hal ini menunjukkan
bahwa undang-undang tersebut menganut strict liability without false atau
pertanggung jawaban tanpa pembuktian. Artinya jika konsumen akan menuntut
kepada pelaku usaha, maka pelaku usaha langsung dianggap bersalah dan unsur
kesalahan tersebut langsung dibebankan kepada pelaku usaha. Prinsip tanggung
jawab langsung (strict libility) ini merupakan dasar dari bentuk tanggung jawab
produk (product liability) dan profesional libility.
Undang-undang
Perlindungan Konsumen menganut juga sistem pembuktian terbalik. Hal ini berarti
bahwa beban pembuktian (ada atau tidak adanya kesalahan) berada pada pelaku
usaha. Pasal 22 menegaskan beban pembuktian pada pelaku usaha dalam perkara
pidana pelanggaran Pasal 19 ayat (4), Pasal 20 dan Pasal 21 dengan tidak
menutup kemungkinan jaksa untuk melakukan pembuktian. Selanjutnya begitu pula
dalam perkara perdata ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 28 menyangkut
pelanggaran Pasal 19, Pasal 22 dan Pasal 23.
Mengenai
tanggung jawab pelaku usaha periklanan dalam Undang-undang Perlindungan
Konsumen terdapat dalam Pasal 20 yang mengatakan bahwa “pelaku usaha periklanan
bertanggung jawab atas iklan tersebut”. Semua pelaku usaha periklanan
bertanggung jawab atas kebenaran isi dari iklan mengenai produk yang
dipromosikan untuk memasarkan dan menawarkannya kepada konsumen, perusahaan
iklan harus bertanggung jawab atas iklan yang dibuatnya atas hasil
kreatifitasnya dan media periklanan bertanggung jawab atas penayangan iklan
tersebut. Berdasarkan Pasal 22 dan Pasal 28 bahwa tanggung jawab untuk
membuktikan adanya kesalahan atas iklan yang dibuat oleh pelaku usaha
periklanan dan segala akibat yang ditimbulkannya adalah tanggung jawab pelaku
usaha periklanan sendiri. Jadi pelaku usaha dianggap telah bersalah kecuali ia
mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan. Seandainya ia gagal
membuktikannya, maka ia harus bertanggung jawab mengganti rugi atas kerugian
yang dialami pihak lain karena mengkonsumsi produknya.
Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik suatu analisis bahwa pada umumnya tangung jawab
atas iklan yang menyesatkan merupakan tanggung jawab semua pihak yang terlibat
dalam pembuatan iklan tersebut baik pengiklan, perusahaan iklan, media
periklanan. Mengenai bentuk tanggung jawab dapat berupa product liability atau
profesional liability atau kedua-duanya tergantung bobot dan sejauh mana pelaku
usaha itu terlibat dalam pembuatan iklan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Simpulan
Berdasarkan uraian pada Bab Pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Pertanggungjawaban pelaku usaha terhadap iklan yang menyesatkan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
khususnya terdapat dalam Pasal 20. Sistem pembuktiannya adalah sistem
pembuktian terbalik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 28. Prinsip
pertanggungjawaban yang terdapat dalam UUPK adalah strict liability atau tanggung
jawab secara langsung/mutlak. Tanggung jawab secara langsung tersebut tersirat
dalam Pasal 7 sampai dengan pasal 11 dan lebih tegas dinyatakan dalam Pasal 19
ayat (1) UUPK.
Pelaku usaha periklanan terdiri dari pengiklan,
perusahaan iklan, dan media massa iklan. Semua pelaku usaha periklanan harus
bertanggung jawab sesui dengan bobot keterlibatannya dalam proses pembuatan
iklan.
2. Upaya-upaya yang dapat
dilakukan oleh konsumen atas iklan yang menyesatkan adalah dengan cara
mengajukan gugatan. Mengajukan gugatan dapat dilakukan dengan :
a. Seorang konsumen yang atau
ahli warisnya.
b. Sekelompok konsumen yang
mempunyai kepentingan yang sama (clas action).
c. Lembaga Perlindungan Swadaya
Masyarakat yang memenuhi syarat.
d. Pemerintah dan/atau instansi
terkait.
Mengenai upaya penyelesaian sengeketa menurut UUPK dapat dilakukan dengan
cara :
a. Penyelesaian di luar
pengadilan, yang dapat dilakukan dengan cara :
1) Penyelesaian secara damai,
yaitu penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa
(pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen, dan tidak bertentangan dengan Undang-undang Perlindungan
Konsumen ini.
2) Penyelesaian melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK
b. Penyelesaian melalui
pengadilan sesuai dengan undang-undang tentang lembaga peradilan.
3.2. Saran
Perlu adanya kerjasama antara konsumen, pelaku usaha,
lembaga-lembaga konsumen dan pemerintah agar UUPK dapat diterapkan dengan baik
sesuai dengan tujuannya serta perlunya kegiatan mensosialisasikan UUPK yang
dapat dilakukan oleh siapapun baik pemerintah, pelaku usaha, lembaga-lembaga
konsumen, Perguruan Tinggi, maupun instansi pemerintah dilingkungan
masing-masing dengan melakukan penyuluhan kepada konsumen mengenai hak dan
kewajiban yang dimilikinya dan pelaku usaha supaya mengetahui batas-batas
aturan yang tidak boleh dilanggar. Peranan lembaga lembaga konsumen harus lebih
ditingkatkan dalam melayani pengaduan, keluhan dan memberikan informasi kepada
konsumen. Pemerintah atau instansi yang berwenang harus bertindak secara cepat
dan konsisten sesuai dengan undang-undang yang berlaku dalam menanggapi
pengaduan atas permasalahan konsumen.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Depdikbud, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta.
Liliweri, Alo, 1996, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan,
Balai Citra Aditya Bakti, Bandung.
Nasution, Az., 1995, Konsumen dan Hukum, Pusaka
Sinar Harapan, Jakarta.
___________, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu
Pengantar, Daya Wedya, Jakarta.
Noviani, Ratna, 2002, Jalan Tengah Memahami Iklan, Pustaka
Pelajar Yogyakarta.
Sidharta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia,
Grasindo, Jakarta.
Sofie, Yusuf, 2003, Perlindungan Konsumen dan
Istrumen-Instrumen Hukumnya, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Suherman, 2002, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global,
Ghalia Indonesia, Jakarta.
Transkrip Rapat Tim Naskah Akademis Peraturan
Perundang-Undangan tentang Periklanan, BPHN, Jakarta, 1995.
Undang-Undang :
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Lembaran Negara Nomor 42 Tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3821 Tahun 1999.
Makasih sudah berbagi informasinya pak...
BalasHapusbermanfaat juga
kebetulan sedang nyari-nyari referensi neh
Hai, apakah Anda mencari pemberi pinjaman yang legal dan andal? Apakah Anda memerlukan pinjaman? Apakah Anda memerlukan bantuan keuangan yang mendesak? Apakah Anda memerlukan pinjaman mendesak untuk melunasi hutang Anda atau apakah Anda memerlukan pinjaman modal untuk meningkatkan bisnis Anda? Kami menawarkan semua jenis pinjaman kepada individu dan perusahaan dengan tingkat bunga 2% dengan ketentuan yang jelas dan mudah dipahami. Kami akan mengirimkan jumlah berapapun ke lokasi mana pun, jika Anda tertarik dengan pinjaman dari perusahaan kami, silakan hubungi kami untuk informasi lebih lanjut
BalasHapus(E-MAIL) globalfinanceloancompany1@gmail.com
terima kasih