PEMAKAIAN HUKUM ASING DALAM HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu
Mata
Kuliah:
Dosen
Pengampu :
Oleh:
Rudi
Hartono :8111410174
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
BAB 1
PENDAHULUAN
1.
Pengertian
Hukum Perdata Internasional
Untuk mengenal lebih jelas mengenai pengertian, ruang
lingkup, subyek dan obyek Hukum Perdata Internasional (HPI), maka perlu
diperhatikan beberapa definisi HPI menurut beberapa ahli hukum dibawah ini.
Istilah Hukum Perdata Internasional, dalam bahasa Belanda
disebut “Internationaal Privaatrecht” dan dalam bahasa Inggris adalah “Private
Internatonal Law” atau “Conflict of Law”.
Menurut Graveson dalam bukunya “Conflict of Laws -
Private Internatonal Law”, Conflict of Law atau Hukum Perdata Internasonal
adalah bidang hukum yang berkenaan dengan perkara-perkara yang di dalamnya
mengandung fakta relevan yang berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik
karena aspek teritorialitas atau personalitas, dan karena itu, dapat
menimbulkan masalah pemberlakuan hukum sendiri atau hukum lain (biasanya hukum
asing) untuk memutuskan perkara, atau menimbulkan masalah pelaksanaan
yurisdiksi pengadilan sendiri atau pengadilan asing.
Van Brakel mendefinisikan Internationaal Privaatrecht (HPI)
sebagai “hukum nasional yang ditulis (diadakan) untuk hubungan-hubungan
internasional”.
HPI adalah hukum yang mengatur hubungan-hubungan perdata
antara subyek hukum dari berbagai negara.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, HPI ialah keseluruhan kaidah
dan asas hukum yang mengatur hubungan hukum perdata yang melintasi batas
negara. Dengan perkataan lain hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara
para pelaku hukum yang ,masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang
berlainan.
Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong) menyebut HPI sebagai
Hukum Antar Tata Hukum Ekstern. HPI bukanlah Hukum Internasional, tetapi hukum
nasional. Selanjutnya dalam bukunya Pengantar Hukum Perdata Internasional,
mendefinisikan HPI adalah “keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang
menunjukkan setesel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antar warga (-warga)
negara pada suatu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan setelsel
dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih negara, yang berbeda dalam
lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-soal”.
Schnitzer berpendapat bahwa, HPI bukan sumber hukumnya yang
internasional, tetapi materinya yaitu hubungan-hubungan atau peristiwa-peristiwanya
yang merupakan obyeknya-lah yang internasional.
Menurut Sunaryati Hartono, HPI mengatur setiap peritiwa atau
hubungan hukum yang mengandung unsur asing, baik peristiwa itu termasuk bidang
hukum publik (seperti hukum tata usaha negara, hukum pajak, hukum pidana),
maupun termasuk bidang hukum privat (seperti hukum perkawinan, hukum waris, dan
hukum dagang).
HPI (Hukum Pergaulan Internasional) adalah seperangkat
kaidah-kaidah hukum nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang
mengandung unsur transnasional (unsur-unsur ekstra-teritorial).
Dari pendapat beberapa ahli hukum perdata internasional
tersebut, dapat disimpulkan bahwa, “HPI adalah segala peraturan atau norma
hukum atau asas-asas hukum yang mengatur hubungan hukum antara kepentingan
perseorangan atau badan pribadi yang subyek/ obyek hukumnya atau sistem
hukumnya mengandung unsur asing”.
2.
Sumber
Hukum Perdata Internasional
Sumber-sumber Hukum Perdata
Internasional antara lain :
a.
Undang-undang;
b.
Traktat
(Perjanjian);
c.
Asas-Asas
Hukum Umum;
d.
Hukum
Kebiasan;
e.
Yurisprudensi
Nasional maupun Internasional;
f.
Doktrin
Hukum (ajaran hukum umum).
3.
Materi
Hukum Perdata Internasional
Muatan atau materi yang diatur dalam
HPI adalah :
a.
HPI
material (substantive), memuat :
1)
Hukum
Pribadi;
2)
Hukum
Harta Kekayaan;
3)
Hukum
Keluarga;
4)
Hukum
Waris.
b.
HPI Formal
(ajektip) yang mengatur tentang :
1)
Klasifikasi;
2)
Persoalan
preliminer, persoalan pendahuluan;
3)
Penyelundupan
hukum;
4)
Pengakuan
hak-hak yang telah diperoleh;
5)
Ketertiban
Umum;
6)
Asas
timbal balik;
7)
Penyesuaian;
8)
Pemakaian
hukum asing;
9)
Renvoi;
10) Pelaksanaan keputusan Hakim asing.
4.
Masalah-Masalah
Pokok HPI
Masalah-masalah pokok HPI adalah :
a)
Hakim atau
badan peradilan manakah yang berwenang menyelesaikan persoalan-persoalan
yuridis yang mengandung unsur asing. Dalam hal ini menurut Graveson, bahwa
asas-asas HPI berusaha membentuk aturan-aturan yang digunakan antara lain untuk
membenarkan pengadilan secara internasional memiliki yurisdiksi untuk mengadili
perkara-perkara tertentu apapun (chois of yuridiction).
b)
Hukum
manakah yang harus diberlakukan untuk mengatur dan atau menyelesaikan
persoalan-persoalan yuridis yang mengandung unsur asing. Menurut Graveson,
bahwa HPI tidak berusaha menentukan kaidah-kaidah hukum intern mana dari suatu
sistem hukum yang akan digunakan hakim untuk memutus suatu perkara, melainkan
hanya membantu menentukan sistem hukum yang seharusnya diberlakukan (the
appropriate sistem).
c)
Bilamanakah
suatu pengadilan harus memperhatikan dan mengakui putusan-putusan hakim asing
dan atau mengakui hak-hak/kewajiban-kewajiban hukum yang terbit berdasakan
hukum atau putusan hakim asing.
Masalah ini berkaitan erat dengan persoalan apakah suatu
forum asing memiliki kewenangan yurisdiksional dalam memutus suatu perkara.
Tidak perlu dipermasalahkan juga, apakah forum asing ini telah menerapkan
sistem hukum atau aturan hukum yang tepat. Dalam hal ini, masalah-masalah pokok
yang dijawab oleh HPI banyak berkaitan dengan dasar-dasar bagi pengadilan untuk
mengakui atau menolak hukum asing/hak-hak asing di dalam yurisdiksinya.[10]
5.
Asas-asas
Umum HPI Material
1.1
Hukum
Pribadi (law of persons)
1.
Status
Personal (personal status)
Status personal adalah keadaan suatu pribadi dalam hukum
yang diberikan dan /diakui oleh Negara untuk melindungi masyarakat dan
lembaga-lembaganya. Status personel meliputi hak dan kewajiban, kemampuan dan
ketidak mampuan berbuat dalam bidang hukum. Status personel ini tidak dapat
diubah oleh pemiliknya.
Status personel menentukan “hukum mana” di antara berbagai
sistem hukum yang relevan mengenai status kewenangan (status personal)
subyek-subyek hukum harus diatur.
Ada dua asas untuk menentukan status personal seseorang,
yakni :
a.
Asas
personalitas/kewarganegaraan (lex patriae), artinya untuk menentukan
status personal suatu pribadi hukum adalah berdasarkan “hukum nasionalnya” (lex
patriae). Asas ini diikuti oleh Negara-negara Eropa kontinental yang
bersistem hukum sipil (civil law system);
b.
Asas
territorial/Domisili (lex domicili), artinya status personal suatu
pribadi (seseorang) berdasarkan “hukum” di negara mana ia berdomisili. Asas ini
berlaku di negara-negara Anglo Saxon (Common law system).
2.
Kewarganegaraan
(nationality)
Untuk menentukan kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh
asas-asas umum hukum internasional (convensi, kebiasaan, dan asas-asas umum)
mengenai kewarganegaraan seseorang.
Ada dua asas utama dalam menentukan kewarganegaraan
seseorang, yakni :
a.
Asas
tempat kelahiran (ius soli), yaitu kewarganegaraan seseoang ditentukan
berdasakan tempat kelahirannya;
b.
Asas
keturunan (ius sanguinis), yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan
berdasarkan keturunannya.
3.
Domicilie.
Domisili adalah tempat seseorang menetap secara permanen
yang menurut hukum dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang (center of his
life). Berdasarkan asas domisili, status dan kewenangan personal seseorang
berdasarkan hukum domisili (hukum tempat kediaman tetap) orang yang
besangkutan.
Ada
tiga macam konsep domisili, yaitu :
1)
Domicile
of origin,
yaitu tempat kediaman tetap seseorang berdasarkan tempat kelahirannya. Bagi
anak sah, “domiscile of origin” adalah Negara dimana ayahnya berdomisili
saat si anak lahir. Bagi anak tidak sah, domisili ibunya yang menjadi “domicile
of origin” si anak.
2)
Domicile
of dependence (by operation of the law), yaitu tempat kediaman tetap
seseorang tergantung pada domisili orang lain. Anak yang belum dewasa mengikuti
domisili ayahnya. Domisili isteri mengikuti domisili suaminya.
3)
Domicile
of choice,
yaitu tempat kediaman seseorang berdasarkan pilihannya atau atas kemauanya.
Dalam sistem hukum Inggris, untuk memperoleh “domisile of
choice”, harus dipenuhi 3 (tiga) syarat yaitu:
a.
mempunyai
kemampuan bersikap atau bertindak dalam hukum (capacity);
b.
harus
mempunyai tempat kediaman (residence) tertentu dalam kehidupan
sehari-hari (habitual residence);
c.
mempunyai
hasrat atau itikad (intention) untuk terus menetap di tempat yang baru.
4.
Badan
Hukum (Corporations)
Pribadi hukum (corporations), adalah suatu badan yang
mempunyai kekayaan yang terpisah dari anggotanya, dianggap sebagai subyek hukum
karena mempunyai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai hak dan
kewajiban atau tanggung jawab seperti halnya orang. Pribadi hukum (badan hukum)
ini mempunyai pengurus dapat mengelola kekayaannya dan melakukan perbuatan
hukum (perjanjian).
Ada 4 (empat) asas hukum untuk menentukan sistem hukum mana
yang dapat digunakan untuk menetapkan atau mengatur status dan kewenangan
yuridis badan hukum yang mengandung unsur hukum asing, yakni:
1)
Asas
kewarganegaraan/domisili pemegang saham (lex patriae atau lex domicile);
2)
Asas
centre of administration/(business) yang beranggapan bahwa status dan kewenangan yuridik suatu
badan hukum mengikuti hukum dari tempat kegiatan administrasi/manajemen bisnis
badan hukum tersebut;
3)
Asas place
of incorporation,
beranggapan bahwa status dan kewenangan badan hukum ditetapkan berdasarkan
hukum dari tempat badan hukum secara resmi didirikan/dibentuk;
4)
Asas
centre of exploitation atau centre of operations, artinya bahwa status dan kedudukan
badan hukum diatur berdasarkan hukum dari tempat badan hukum itu memusatkan
kegiatan operasional, eksploitasi, atau memproduksi barang.
1.2
Hukum
Harta Kekayaan (law of property)
Hukum harta kekayaan (law of property), terdiri dari:
pertama, kekayaan materiel, meliputi : (a) benda-benda tetap/benda tidak
bergerak (immovables property), (b) benda-benda lepas/bergerak (movables
property), kedua, kekayaan imaterial, dan ketiga, perikatan (obligations).
1.
Kekayaan
Materiel
Ad.a. Status benda tetap/benda tidak bergerak
(immovables property)
Bahwa
status benda tetap/tidak bergerak ditetapkan berdasarkan ”asas lex rei sitae/lex
situs” atau hukum dari tempat letaknya benda tetap berada.
Ad.b. Status benda lepas/bergerak (movables)
Untuk
menentukan status hukum benda bergerak /lepas (movables) ditetapkan berdasarkan
sebagai berikut:
a.
hukum dari
tempat pemegang hak atas benda lepas/bergerak (bezitter/eigenaar)
berkewarganegaraan (asas nasionalitas);
b.
hukum dari
tempat pemegang hak atas benda berdomisili (asas domicile);
c.
hukum dari
tempat benda diletakkan (lex situs/lex rae sitae).
Untuk
benda bergerak, sebelumnya berlaku asas “mobilia personam sequntuur”
(benda mengikuti status orang yang menguasainya).
2.
Kekayaan
Immateriel
2.a. Status benda
tidak berwujud
Status benda-benda tidak berwujud (surat-surat piutang
(surat-surat berharga), HAKI (merk, paten, hak cipta dsb) ditentukan
berdasarkan:
a.
hukum dari
tempat kreditur atau pemegang hak atas benda berkewarganegaraan atau
berdomisili (asas lex patriae/atau lex domicili);
b.
hukum dari
tempat benda-benda itu diakan gugatan (lex fori);
c.
hukum dari
tempat pembuatan perjanjian hutang piutang (lex loci contractus);
d.
hukum yang
sistem hukumnya dipilih oleh para pihak dalam perjanjian yang menyangkut
benda-benda tidak berwujud (choisce of law);
e.
yang
memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap transaksi yang
menyangkut benda tersebut (the most substatantial connection);
f.
pihak yang
prestasinya dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan tampak
paling khas dan karakteristik (the most characteristic connection).
2.b. Hukum jaminan
Untuk hukum jaminan, status hukum yang berlaku adalah,
sebagai berikut:
a.
hukum dari
tempat si pemegang jaminan (kreditur) menjadi warganegara atau domisili (lex
patriae atau lex domicile);
b.
hukum dari
tempat yang memiliki kaitan yang paling substantial dengan perjanjian induknya,
atau
c.
hukum yang
dipilih oleh para pihak sebagai the applicable law dalam perjanjian
induk, atau hal yang tidak ada pilihan hukum, hukum yang merupakan “the
proper law of contract” dari perjanjian induk.
3.
Hukum Perikatan
(obligation)
Hukum perikatan (obligation) meliputi : (a) Perjanjian
(contracts); (b) Perbuatan melanggar hukum (torts).
3.a. Perjanjian
(contracts)
Perjanjian HPI adalah suatu persetujuan antara dua orang
atau lebih berisi janji-janji secara timbal balik yang diakui oleh hukum, atau
pelakanaannya diakui sebagai kewajiban hukum dan mempunyai unsur asing.
Unsur asing yang dimaksud adalah subyeknya atau obyek yang
diperjanjikan, atau sistem hukumnya.
Dalam Perjanjian (kontrak) perdata Internasional, kedua
belah pihak berhak menentukan atau memilih sistem hukum tertentu yang menguasai
atau sebagai dasar suatu perjanjian.
Pilihan hukum harus dinyatakan secara tegas di dalam
perjanjian, termasuk klausula apabila terjadi sengketa di antara para pihak
diselesaikan melalui lembaga peradilan ataukah lembaga arbitrase.
Pilihan hukum yang dimaksud tidak boleh bertentangan atau
mengganggu ketertiban/kepentingan umum.
Apabila belum dilakukan pilihan hukum pada saat membuat
perjanjian (kontrak), maka dapat menggunakan asas-asas yang berlaku dalam
perjanjian HPI.
Asas-asas dan teori tentang penentuan hukum “the proper
law contract, adalah sebagai berikut :
1.
Asas dai
teori lex loci contactus. Ini merupakan teori klasik yang berlandaskan “asas locus
regit actum, Berdasarkan asas ini “the proper law of contract”, hukum
yang berlaku adalah hukum Negara/tempat; kontrak/perjanjian
dibuat.
2.
Asas lex
loci solutionis,
yaitu menggunakan hukum dari tempat/negara dilaksanakannya/ pelaksanaan suatu
perjanjian;
3.
Asas
kebebasan para pihak (party autonomy), artinya para pihak mengadakan
kesepkatan untuk menentukan sistem hukum mana yang dipakai untuk menyelesaikan
sengketa mereka. Asas ini merupakan asas pilihan hukum dan berlaku adanya
pembatasan-pembatasan, misalnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum
dan asas-asas hukum umum perjanjian.
Selain berdasarkan asas-asas tersebut, ada teori-teori untuk
mengatasi kelemahan yang terdapat pada ketiga asas-asas tersebut. Teori yang
dimaksud adalah :
1)
Teori
Pengiriman
(theory of expedition/mail box theory/post box theory). Dalam perjanjian
HPI pada umumnya para pihak yang melakukan perjanjian tidak saling bertemu,
perjanjian dilakukan dalam jarak jauh (melalui sarana electronic), dalam
hal ini hukum yang berlaku terhadap perjanjian demikian adalah “hukum dari
Negara si penerima tawaran yang mengirimkan/ menyampaikan pernyataan
penerimaannya”;
2)
Teori
pernyataan
(theory of declaration/theory of arrival). Menurut teori ini hukum yang
berlaku adalah dari Negara/tempat”pernyataan penawaran diterima” (hukum dari
Negara/tempat yang menawarkan).
3.b. Perbuatan
Melanggar Hukum (tort)
Ada tiga asas mengenai hukum yang dipergunakan dalam
perbuatan melanggar hukum (tort), yaitu :
a)
Hukum dari
tempat terjadi perbuatan melanggar hukum (lex loci delicti commissi);
b)
Hukum dari
tempat dimana perbuatan melanggar hukum diadili (lex fori);
c)
Dipakai
teori “the proper law of the tort” (lex propria delicti), yaitu
digunakan sistem hukum yang memiliki kaitan yang paling signifikan dengan
rangkaian peristiwa/perbuatan dan situasi kasus yang dihadapi.
Asas
atau teori “the proper law of the tort (Inggris) di Amerika Serikat
dikenal dengan “The most significant relationship theory”.
1.3
Hukum
Keluarga
1.
Perkawinan
Hukum yang dipergunakan untuk perkawinan HPI (yang ada unsur
asing) adalah:
a.
hukum dari
Negara/tempat dilangsungkannya perkawinan (lex loci celebrations);
b.
hukum
masing-masing pihak berwarga negara;
c.
hukum
masing-masing pihak berdomisili.
Dari
ketiga asas tersebut yang paling valid adalah “lex loci celebrationis”
yakni hukum dari tempat pekawinan dilangsungkan.
2.
Hubungan
orang tua dengan anak
Ada dua macam status anak, yakni:
1)
Anak sah,
adalah anak yang lahir dari pekawinan kedua orang tuanya;
2)
Anak tidak
sah, terdiri dari:
(a) anak lahir dari hubungan incest;
(b) anak yang lahir dari perzinahan;
(c) anak yang lahir di luar nikah.
Anak incest dan anak zinah tidak dapat disahkan.
Anak luar nikah, dapat disahkan (tanpa perkawinan)
asal diakui oleh ayahnya dengan memakai hukum si ayah (asas lex
patriae atau asas lex domicili si ayah). Dapat juga disyahkan dengan
perkawinan kedua orang tuanya.
Hubungan hukum antara anak dengan ibu dipergunakan hukum si
ibu bekewarganegaraan atau berdomisili (lex patriae atau lex domicile)
Hubungan antara anak dengan orang tuanya, hukum yang
dipergunakan adalah:
a.
hukum
domisili orang tua, waktu perkawinan dilangsungkan (common law);
b.
hukum
nasional ayah pada saat perkawinan atau pengakuan (civil law);
c.
hukum
nasional atau domisili anak (lex patriae atau lex domicile);
d.
hukum
tempat diajukan pengesahan/pengakuan terhadap anak (lex fori).
3.
Adopsi
Untuk mengadopsi anak dari Negara asing, hukum yang dipakai
adalah hukum kewarganegaraan si anak (adoptant) atau hukum sang
hakim (lex fori) dimana diajukannya adopsi.
4.
Perceraian
dan akibat perceraian
Beberapa asas HPI, bahwa berakhirnya perkawinan karena
perceraian dan akibat-akibat perceraian harus diselesaikan berdasarkan sistem
hukum dari tempat:
a)
lex loci
celebrationis;
b)
joint
nationality
(tepat suami-isteri menjadi warganegara);
c)
joint
recident/lex domicile (tempat suami-isteri berkediaman/berdomisili setelah
perkawinan);
d)
lex fori (tempat diajukannya gugatan).
1.4
Hukum
Waris (successions)
Untuk menentukan hukum waris dalam HPI, ada beberapa asas
yang digunakan antara lain adalah :
a)
lex situs, yaitu hukum dari Negara tempat
benda tetap berada (terletak);
b)
berdasarkan
kewarganegaraan si pewaris (asas lex patriae);
c)
hukum
domisili si pewaris (lex domicile).
Dalam hal warisan dengan testamen (wasiat), untuk menentukan
kecakapan pewaris (legal capacity) pembuat testamen dipergunakan asas:
a)
hukum
tempat pewaris berdomisili (lex domicile), atau menjadi warganegara (lex
patriae) saa testamen dibuat;
b)
hukum dari
tempat pewaris berdomisili atau menjadi warga Negara saat meninggal dunia;
c)
hukum dari
tempat pembuatan testamen (lex loci actus).
Persyaratan formal untuk menentukan sahnya testamen yang
esensi validitasnya (essential validity) adalah berdasarkan hukum
kewarganegaraan atau domisili pewaris saat testamen dibuat (lex patriae atau
lex domicili), atau hukum dari tempat pembuatan testamen (asas lex loci
actus).
2.
HPI Formal
(Ajektif)
HPI Formal (Ajektif) meliputi :
a)
Kualifikasi
Kualifikasi adalah tindakan “penerjemahan” fakta-fakta
atau menata sekumpulan fakta yang dihadapi dan mendefinisikannya serta
menempatkannya dalam kategori tertentu.
Macam-macam kualifikasi dalam HPI, yaitu : (a)
kualifikasi hukum (classification of law), yaitu penggolongan seluruh
norma hukum ke dalam bagian-bagian hukum tertentu yang sebelumnya telah
ditetapkan; (b) kualifikasi fakta (classification of facts), yaitu
kualifikasi yang dilakukan terhadap fakta-fakta hukum untuk ditetapkan dan
disimpulkan ke dalam satu atau lebih permasalahan hukum berdasarkan norma atau
sistem hukum yang berlaku.
Ada 5 (lima) macam teori kualifikasi, yakni :
a.
kualifikasi
lex fori,
artinya kualifikasi yang didasarkan pada hukum sang hakim/ hukum dari
pengadilan pemeriksa perkara (lex fori).
Kualifikasi lex fori ada dua
macam, yakni:
1)
kualifikasi
primer,
yaitu kualifikasi untuk menentukan hukum mana yang harus diberlakukan. Untuk
menentukan hukum (asing) yang harus diberlakukan, dipergunakan kualifikasi
menurut norma-norma hukum HPI lex fori;
2)
kualifikasi
sekunder, yaitu bila sudah diketahui hukum asing yang harus diberlakukan,
hukum inilah yang digunakan untuk melakukan klasifikasi selanjutnya dalam
menyelesaikan kasus tersebut.
b.
kualifikasi
lex causae,
adalah hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan HPI adalah
kesluruhan sistem hukum yang besangkutan dengan kasus;
c.
kualifikasi
secara bertahap,
artinya kualifikasi yang dilakukan dengan bantuan titik-titik taut dan secara
bertahap berdasarkan lex fori lebih dahulu kemudian lex cause dan sebaliknya;
d.
kualifikasi
analitis (otonom), artinya dengan menggunakan metoda perbandingan dan
analytical jurisprudence, yaitu kualifikasi didasarkan pada pengertian umum
HPI;
e.
kualifikasi
HPI,
yaitu bahwa setiap kaidah HPI harus dianggap memiliki tujuan yang hendak
dicapai, tujuan yang hendak dicapai harus didasarkan pada kepentingan HPI yang
mencakup ( keadilan, kepastian hukum, ketertiban dan kelancaran)
dalam pergaulan internasional.
b)
Persoalan
Pendahuluan (Preleminer/incident question)
Bila dalam suatu persoalan pokok (main issue) yang
diajukan kepada hakim telah dipastikan hukum yang akan dipergunakan untuk
menyelesaikan persoalan pokok, dan ternyata hukum asing, maka perlu diselidiki
lebih dahulu mengenai sah tidaknya atau mengenai isi dari hubungan hukum lain (subsidiary
question) yang erat dengan persoalan pokok tersebut.
Persoalan preliminer (pendahuluan) baru muncul apabila
dipenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu:
1)
dalam
peristiwa HPI yang bersangkutan harus dipergunakan hukum asing;
2)
pemakaian
HPI asing tersebut menghasilkan keputusan yang berbeda daripada norma-norma HPI
sang hakim;
3)
norma-norma
substantif/material dari kedua stelsel, juga harus berbeda.
Hukum yang dipergunaan untuk persoalan pendahulan
(preliminer) adalah (lex fori, lex cause atau campuran), hal ini tergantung
dari setiap kasus.
c)
Penyelundupan
hukum (fraus legis/fraudulent creation of point of contant)
Penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang atau
pihak-pihak yang mempergunakan berlakunya hukum asing dengan cara-cara yang
tidak benar, dengan maksud untuk menghindari berlakunya hukum nasional.
Akibat
penyelundupan hukum asing, adalah batal demi hukum.
d)
Pengakuan
hak yang telah diperoleh, pelanjutan keadaan hukum ( vested right/ acquired right)
Artinya bahwa suatu hak yang telah diperoleh menurut
ketentuan hukum asing, akan diakui dan dilaksanakan seperlunya dalam suatu
Negara, sepanjang hak-hak itu tidak bertentangan dengan konsep “ketertiban
umum” Negara yang bersangkutan. Dengan demikian perubahan fakta-fakta tidak
akan mempengaruhi berlakunya suatu norma yang semula telah dipakai.
e)
Ketertiban
umum (Public Policy)
Ketertiban umum (Public policy) berfungsi sebaga pembatas
atau pencegah berlakunya hukum asing yang menurut norma HPI Negara yang
bersangkutan seharusnya dipergunakan. Bila pemakaian hukum asing ini berakibat
akan dilanggarnya sendi-sendi asas hukum nasional, maka hakim dapat
mengesampingkan pemakaian hukum asing.
f)
Asas
timbal balik (reciprocity)
Asas timbal balik (reciprositas) merupakan
pencerminan dari asas persamaan hak, persamaan penilaian, dan persamaan
perlakuan yang berlaku dalam pergaulan internasional.
Asas timbal balik menjadi dasar suatu tindakan
mengesampingkan berlakunya hukum asing yang menurut norma HPI si hakim sendiri
seharusnya dipergunakan. Di kesampingkannya hukum asing tersebut, adalah
akibat sikap Negara asing yang mengesampingkan hukum nasional sang hakim yang
seharusnya dipergunakan.
Penggunaan asas resiprositas dalam HPI boleh dilakukan
karena hal tersebut merupakan keharusan. Asas ini boleh dilakukan kalau sikap
Negara asing tersebut sangat merugikan Negara sang hakim sendiri.
Sikap Negara asing yang merugikan Negara sang hakim dapat
bersifat melanggar hukum maupun tidak melanggar hukum.
Tindakan timbal balik balik digolongkan ada dua macam, yaitu
timbal balik formal dan material.
Timbal balik formal adalah apabila orang asing di suatu
Negara sendiri mendapat perlakuan yang sama dengan warganegara sendiri
apabila di Negara orang asing tersebut, warga Negara sendiri diperlakukan
sama dengan warga Negara dari Negara asing tersebut.
Timbal balik material, adalah apabila dalam peraturan
perundang-undangan yang menentukan hak-hak yang diberikan kepada orang asing
dalam suatu Negara, sama dengan hak-hak yang diperoleh warganegaranya Negara
yang bersangkutan. Ini merupakan tindak lanjut dari kebijaksanaan suatu Negara
yang berupa “national treatment”.
g)
Penyesuaian
(Adaptation/Adjustment)
Penyesuain adalah suatu kegiatan meliputi suatu pengertian
hukum asing ke dalam pengertian hukum//terminology hukum sendiri.
Penyesuaian itu meliputi (transposition, substitution,
adaptation, dan berdasarkan suatu ketentuan/peraturan).
Transposition, adalah pemindahan (transfer) dari
hubungan-hubungan hukum, perbuatan-perbuatan hukum atau pernyataan kehendak
menurut suatu sistem hukum tertentu ke dalam pengertian-pengertian hukum lain.
Substitution, adalah pengertian hukum sendiri (intern)
digantikan dengan pengertian hukum asing yang sama nilainya. Dalam hal
ini dilakukan perbandingan hukum.
Adaptation, adalah penghalusan hukum dengan mengkombinasikan
pengertian-pengertian hukum yang saling berkaitan.
Penyesuaian harus dilakukan berdasarkan suatu
ketentuan atau peraturan.
h)
Pemakaian
Hukum Asing
Yang dimaksud pemakaian hukum asing tidak hanya hukum asing
yang tertulis (perundang-undangan) saja, melainkan juga hukum tidak tertulis,
yaitu hukum (kebiasaan, yurisprudensi, dan doktrin /pendapat para ahli hukum)
dari Negara yang bersangkutan.
Pemakaian hukum asing pada HPI, dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1.
hukum
asing dianggap sebagai hukum (regulation);
2.
hukum
asing dianggap sebagai fakta (regularity);
3.
hukum
asing dianggap sebagai bagian hukum nasional (treaty/convention).
i)
Renvoi
Renvoi adalah penunjukkan hukum asing oleh hukum nasional
(sendiri). Bila sistem HPI suatu Negara, menunjuk berlakunya suatu hukum asing,
hal tersebut data diartikan bahwa yang dimaksud sebagai hukum asing adalah :
(a) ketentuan hukum intern Negara yang bersangkutan yaitu “sachnormen”
atau (b) seluruh sistem hukum Negara tersebut, termasuk norma HPI atau kollision
normennya.
Di Jerman, penunjuk pertama disebut “sachnorm verweissung”,
penunjukan kedua disebut “gesamt verweissung”.
j)
Pelaksanaan
putusan Hakim asing
Bila seorang hakim nasional mengadili perkara suatu kasus
(tantra/pidana/perdata) internasional, maka ia menyelenggarakan peradilan
internasional (de doublement functionell) dan putusannya merupakan Hukum
Internasional (konkrit), walaupun ia bukan Hakim Internasional dan lembaganya
tetap Pengadilan Nasional.[14]
Permasalahannya, apakah hakim Negara lain mengakui dan
melaksanakan putusan hakim asing yang bersifat (Hukum) Internasional?
Pengakuan, berarti bahwa pengadilan suatu Negara menyatakan
menerima suatu putusan hakim asing tetapi tidak melaksanakannya.
Pelaksanaan, berarti bahwa pengadilan suatu Negara
memberlakukan putusan hakim asing dan menyediakan segenap kemampuannya agar
putusan tersebut mempunyai daya laku.[15]
Beberapa asas dasar pengakuan putusan hakim asing, yakni :
1.
Prinsip
penghargaan. Hal ini mempunyai hubungan yang sangat erat dengan asas timbal
balik (reciprocity), juga perwujudan saling pengertian dan persahabatan
antar Negara untuk menghormati sistem hukum Negara lain dan hak-hak yang timbul
daripadanya.
2.
Pengakuan
terhadap hak-hak yang telah diperoleh. Hal ini berdasarkan pemikiran hak
para pihak yang diperoleh atau diakui oleh putusan hakim asing yang selayaknya
dipertahankan pelaksanaannya di Negara lain.
3.
Teori
kewajiban, bahwa putusan hakim asing wajib ditaati oleh para pihak, dan harus
dilaksanakan dimanapun para pihak berada.
Putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan apabila :
1.
putusan
diperoleh melalui kecurangan;
2.
putusan
hakim asing bertentangan dengan ketertiban umum;
3.
putusan
hakim asing bertentangan dengan prinsip keadilan;
4.
pengadilan
asing tidak memiliki yurisdiksi terhadap kasus yang diperiksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar